Halaman

Minggu, 19 Oktober 2014

TALU: REFLEKSI KEHIDUPAN MANUSIA DI ALAM JANALOKA


Sunyi senyap di sekeliling kumpulan wadhitra. Para pradangga penabuh wadhitra, duduk bersila, diam terpekur dalam ruang angan masing-masing. Seakan berharap Sang Penguasa Jagat Raya mengijinkan mereka memutar jantra kehidupan dan mengetahui ceritanya barang sedikit. Tiba-tiba, mereka merasa sesak dan sendu di dalam dada. Perasaan galau yang tak terkendali merasuk hati. 


Ramyang-ramyang lir anglayang kang rinasa, 
Sumebyar nuturaken rasaning nala,
O, Gusti kula panguwasaning jagat,
Pangucaping rasa kang cinatur ing nala,
Rumangsa yen kadi wus lampus,
Mangka aneng alam janaloka kang rinengga,
Karsa myang karyaning manungsa,
Kaya-kaya tan ana pigunane,
Apepanjang punjung dedongane,
Dhuh Gusti paringa agunging pangaksami.




Gendhîng Cucûr Bawûk, yang melambangkan pertemuan sejoli manusia, yang dilanjutkan Paré Anôm, yang melambangkan dimulainya kehidupan muda manusia, kemudian disambut Ladrang Sri Katôn, yang mewakili kehidupan cemerlang masa muda manusia lalu berpindah menjadi Ketawang Sûkmâ Ilang, saat manusia dewasa telah menjadi renta. Dan, pada saat semuanya hendak berakhir, Ayak-ayak Talu digemakan melambangkan proses penyesalan manusia saat nyawanya hendak menghadap Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya). Lalu datanglah Sang Kâlâ menjemput, diiring Srepegan Manyurâ yang serba terburu-buru. Dan bersama dengan gema Sampak Manyurâ yang menyentak dan melonjak seketika berakhirlah seluruh kehidupan manusia di alam jânâlokâGendhîng-gendhîng yang dirangkai menjadi suatu kesatuan itu, semuanya menceritakan seluruh filosofi kehidupan ritual manusia di alam jânâlokâ. Ini semua, merupakan rangkaian gendhîng yang bersifat sakral, dan juga merupakan suatu rangkaian gendhîng yang bersifat ritual, yang dalam waktu relatif singkat, menceritakan seluruh proses kehidupan manusia, sejak dilahirkan sampai mati. Sejak dari tiada, kembali menjadi tiada. Menyadarkan manusia yang masih hidup, bahwa ia tak lebih dari setitik debu tanpa arti di hadapan Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya).

Bagai melayang-layang yang terasa. Merebak mengikuti rasa hati. O Gusti, junjungan hamba Sang Penguasa Jagat. Inilah ucapan perasaan yang terucap di dalam hati. Rasanya seakan seperti telah mati. Pada hal kita masih ada di dalam alam fana yang serba penuh hiasan kehendak dan nafsu manusia. Semua itu, bagai tak berguna lagi. Panjang dan bertumpuk-tumpuk doa yang dipanjatkan. Duh Gusti, ampunilah hamba.

Istilah bawûk, di kalangan masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa, juga dikenal sebagai panggilan kesayangan untuk anak perempuan atau anak gadis. Seorang anak perempuan yang sangat disayangi oleh orang-tuanya, biasanya dipanggil dengan sebutan bawûk atau wûk. Panggilan atau sebutan ini, juga setara artinya dengan ndhûk atau nîng. Sedangkan istilah cucûr, kucûr, atau ngucûr mewakili hakekat peristiwa yang dilaksanakan oleh alat reproduksi yang dimiliki oleh kaum pria, pada saat dilakukan proses reproduksi kehidupan manusia. Istilah cucûr, kucûr, atau ngucûr mempunyai pengertian: mengucur, menetes, atau mengalir perlahan-lahan. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah cucuran atau tetesan kehidupan baru yang diberikan oleh pria kepada wanita, dalam proses reproduksi kehidupan manusia. Dalam istilah sehari-hari, istilah ini mewakili proses bersenggama atau bersetubuh, antara pria dan wanita yang kemudian membuahkan adanya janin (bayi). Hakekat kehidupan pria dan wanita yang terikat perkawinan dan cinta yang penuh kesucian adalah pria memberikan dan wanita menerima benih kehidupan manusia masa depan. Mereka itu, berdua pada hakekatnya adalah sepasang manusia yang melayarkan biduk kehidupan, menempuh badai di dalam samodra kehidupan di alam jânâlokâ.

Urutan pola Gendhîng Talu yang lazim dimainkan orang secara lengkap (pada pagelaran wayang kulît pûrwâ), jika diurutkan, akan membentuk pola urutan sebagai berikut: pola gendhîng – pola ladrang – pola ketawang – pola ayak-ayak – pola srepegan – pola sampak. Ini, merupakan urutan pola yang bersifat baku. Namun demikian, pada masa sekarang seringkali pada saat memasuki pola srepegan, seringkali disisipi permainan gamelan yang berpola palaran, misalnya: Palaran Pangkûr atau, disisipi permainan gamelan yang berpola srepegan lainnya, misalnya, disisipi Srepegan Peksi Manyurâ.

Begitulah, seakan terasa bagai sembilu menyayat hati. Perasaan galau dan sedih, bercampur baur dengan penyesalan, saat mengetahui segalanya hendak berakhir. Saat waktu yang kita miliki, dihentikan putaran jantra-nya oleh Sang Penguasa Jagat Raya.

Beberapa saat hanya terjadi keheningan. Tak ada seorang pun yang bersuara. Tak ada suara apapun. Lalu, perlahan terdengar sesaat suara senggrèngan rebab menyayat hati dibunyikan, memberikan tanda kepada para panjak untuk bersiap memasuki dunia yang baru. Bersiap memainkan permainan hidup dan mati manusia. Hening sesaat, lalu terdengar nada-nada awal bukâ gendhîng, perlahan mulai dimainkan oleh panjak rebab. Terdengar suara gông ageng berbunyi penuh getar-getar kehidupan, bersamaan dengan saat nada-nada bukâ gendhîng mencapai akhir bait permainan. Gendhîng Talu mulai menggema perlahan, irâmâ-nya semula cepat, secepat detik-detik awal permulaan kehidupan manusia di alam janaloka, saat turun ke alam janaloka, saat untuk pertama kali keluar menjelma ke alam janaloka. Lalu perlahan-lahan melambat, seakan hendak menceritakan mulai mapannya putaran jantra kehidupan manusia.

Suara sulîng (seruling) melengking tinggi, bersambut dengan tembang pesindhèn yang sendu, ditingkah desah suara rebab, seakan-akan mengalunkan cerita tentang awal dan akhir kehidupan manusia. Pahit-getir dan manisnya madu kehidupan manusia di alam jânâlokâ, di-tembang-kan dalam gendhîng. Menggetarkan gunungan, hakekat pelindung seluruh alam kehidupan manusia.

Talu bercerita peristiwa jantra kehidupan manusia, sejak manusia dilahirkan, sampai ia meninggal dan kembali ke pangkuan Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya). Cucûr Bawûk telah bergetar, mengalir perlahan, mengisi keheningan malam. Mempertemukan dua manusia, bagaikan lelananging jagat dan wanodyaning jagat. Seakan tak ada dua sejoli lain di alam janaloka ini. Cucûr Bawûk mengalun perlahan-lahan, seakan menapak dan mempertemukan perjalanan manusia saat awal kehidupan mulai.

Lalu kedua sejoli ini saling merengkuh dalam kedamaian dan cinta yang tiada tara. Seakan dunia ini telah menjadi milik mereka. Cucûr Bawûk mengawali permainan seluruh rangkaian Gendhîng Talu. Gendhîng ini, merupakan salah satu gendhîng yang paling banyak dimainkan para panjak sejak ratusan tahun yang lalu, untuk mengawali pagelaran wayang. Istilah cucûr bawûk, mewakili sebutan untuk proses reproduksi kehidupan manusia, yang dilakukan oleh pria dan wanita. Jika ditilik dari makna sesungguhnya, istilah cucûr, mewakili hakekat proses kerja alat repoduksi kehidupan (alat kelamin) yang dimiliki kaum pria. Istilah cucûr, pada dasarnya berarti: mengucur, mengalir, tetesan, atau aliran. Sedangkan istilah bawûk mewakili hakekat sifat alat reproduksi kehidupan manusia (alat kelamin), yang dimiliki oleh wanita. Dengan demikian, istilah cucûr bawûk, jelas mengandung maksud hendak menceritakan hakekat proses awal kehidupan manusia. Kehidupan manusia, pada hakekatnya, selalu dimulai dari ritual pertemuan dua manusia, yaitu pria dan wanita yang diikat oleh tali cinta dalam suatu perkawinan.

Keinginan hati untuk dapat menimang seorang anak, seringkali mengakibatkan kepahitan hidup atau kesengsaraan bagi seorang ayah atau seorang ibu. Bayang-bayang kebahagiaan seorang ibu untuk menimang bayinya, sering disertai kerelaan untuk menghadapi kesengsaraan, kesakitan, bahkan kematian pada saat melahirkan. Dapatkah seorang laki-laki (bagaimanapun tegarnya ia pada saat menghadapi badai kehidupan) bersikap tegar dan tega pada saat menghadapi dan mendampingi wanita yang menjadi garwâ-nya (istilah garwâ, merupakan singkatan sigaraning nyâwâ yang artinya: belahan jiwa) saat harus meregang nyawa menghadapi kesengsaraan, kesakitan, bahkan mungkin kematian pada saat melahirkan bayi dambaan hatinya? Dapatkah seorang pria membayangkan bagaimana isteri tercintanya itu meregang tubuh, menantang maut hanya untuk melahirkan seorang bayi yang selalu dimimpikan ayahnya? Apakah seorang pria terbayangkan bahwa keselamatan dan kelahiran bayinya, manusia muda dambaan yang seringkali diceritakannya atau dimimpikannya itu seringkali harus ditebus dengan kesengsaraan dan bahkan mungkin kematian isteri tercintanya? Seorang pria, tidak akan pernah bisa membayangkannya, karena ia ditakdirkan untuk tidak pernah mengalami peristiwa ini.

Ritual pertemuan antara pria dan wanita, pada akhirnya akan melahirkan manusia-manusia muda. Mereka itu, manusia yang akan mengarungi samodra kehidupan masa depan. Anak-anak mereka yang baru lahir itu, lemah dan tak berdaya sama sekali menghadapi dunia yang penuh rintangan dan mara bahaya, dalam menempuh kehidupan yang ganas dan tak kenal belas kasihan. Tetapi bagi ayah dan ibunya, mereka ini merupakan permata hati yang tak terkirakan nilainya. Seorang ayah atau ibu, bahkan rela ‘tôh pati’ atau ‘ngetôhi pati’ (bertaruh nyawa atau bersabung nyawa mempertaruhkan keselamatan diri sendiri), demi keselamatan, kebahagiaan, dan kehidupan anak-anak mereka.

Kelucuan, kerinduan, kelembutan anak-anak manusia yang telah dilahirkannya itu, dan juga kenakalannya tak akan pernah merintangi ayah dan ibunya, untuk mencintai dan menyayanginya. Kesulitan demi kesulitan yang harus dihadapi oleh seorang ayah atau seorang ibu, untuk mempertahankan hidup, membesarkan, menyenangkan, dan membahagiakan anak-anak permata hati tercintanya itu bahkan sering membuat kehidupan ayah dan ibu menjadi sengsara. Mereka berdua, sepasang manusia berjuang menempuh badai lautan kehidupan, demi permata hatinya, demi anak-anaknya biarpun kehidupan mereka sendiri seringkali penuh dengan kepahitan sepahit rasa buah paré anôm (buah paria muda) yang biarpun terasa pahit, tetapi tetap juga dimakan.[1] Di dalam kesengsaraan dan kepahitan hidup ayah dan ibu, kelucuan anak-anaknya seringkali menjadikan kehidupan yang pahit itu terasa manis. Makna filosofis buah paria muda inilah yang dikandung dalam gendhîng Paré Anôm yang merupakan kelanjutan gendhîng Cucûr Bawûk karena memang begitulah hakekat ritual kehidupan manusia di alam jânâlokâ ini. Kesulitan dan kepahitan hidup, seringkali harus dialami manusia jika ia hendak menggapai cita-citanya.

Saat anak-anak telah mulai menjadi remaja, maka mulailah suatu dunia yang baru yang ‘asri’ (indah) dan ‘moncèr’ (penuh kecemerlangan, dan penuh gemerlap). Ayah dan ibu anak-anak itu, akhirnya hanya bisa melihat dari kejauhan dan seringkali tidak lagi bisa berbuat apa-apa atau, tidak bisa berbuat banyak lagi. Anak-anaknya mulai berubah menjadi remaja yang tampan dan cantik. Mereka mulai meninggalkan pangkuan dan rengkuhan orang-tuanya. Mereka itu memulai proses meninggalkan kehidupan bergantung kepada ayah dan ibu. Mereka itu, adalah manusia masa depan, yang berbekal ‘kawrûh, kasantosan, lan ilmu’ (pengetahuan, keteguhan hati, dan ilmu) akan menyongsong masa depan. Anak-anak yang mulai menginjak remaja itu, bagi orang-tua yang telah membesarkannya dengan segala kesulitan mereka itu sangat katôn asri (terlihat sangat indah), seperti realitas yang mereka tampilkan. Jika anak-anak mereka itu pria, maka akan terlihat sebagai manusia yang muda, tampan bagai satriyâ (ksatria), narpati mudhâ atau râjâ mudhâ (raja muda), atau bagaikan déwa (déwa) turun dari kahyangan. Atau, jika anak-anak mereka itu perempuan, maka akan terlihat sebagai manusia yang cantik rupawan, belia, jelita, bagaikan dèwi, bagaikan puteri kahyangan, bathari, atau bagaikan ratu. Mereka itu, seakan menjadi intan permata bagi orang-tua, yang dengan segala kecermerlangannya, menyongsong kehidupan masa depan, untuk kemudian menjadi manusia-manusia dewasa, panuh pamôr kehidupan, dan akhirnya akan menggantikan segala peran ayah ibu mereka.

Itulah kandungan makna filosofis Gendhîng Ladrang Sri Katôn yang merupakan nama gendhîng lanjutan dari Gendhîng Paré Anôm. Dan, memang begitulah cerita kehidupan kita sebagai manusia. Masa-masa yang penuh kesulitan akhirnya berganti dengan masa penuh kecemerlangan dan gemerlap, paling tidak dalam bentuk cita-cita atau mimpi. Masa dewasa yang penuh dengan keberhasilan dan penuh gebyar gemerlap duniawi. Manusia memetik ‘wôhîng penggawé’ yakni memetik karma, buah dari perbuatan dan peri-lakunya. Mencapai puncak kejayaan, puncak segala cita-cita kehidupan yang dimimpikannya.

Dinâ (hari) berganti minggu minggu berganti wulan (minggu) wulan berganti warsâ (tahun) warsâ berganti windu dan seterusnya. Sang Kâlâ berjalan terus menuruti takdirnya, me-mângsâ seluruh isi kehidupan di alam jânâlokâ. Maka, datanglah akhir masa katôn asri, akhir masa gemerlap dan kegemilangan meninggalkan kenangan yang indah dan penuh mimpi. Manusia-manusia dewasa itu, kini telah mulai berubah menjadi manusia-manusia yang tua renta. Kehilangan segala keperkasaan masa mudanya, kehilangan semua kejelitaan masa gemerlapnya. Menyongsong masa akhir, saat hidup hendak berhenti, saat datang masanya hendak menghadap Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya). Dan, akhirnya datang jua waktu yang sudah ditakdirkan dan dijanjikan itu. Jiwa manusia, bersiap pergi meninggalkan raganya. Sûkmâ Ilang, menghadap ke pangkuan Sang Penguasa Hidup dan Mati. Manusia, tak bisa menolak takdir yang telah berlaku terhadapnya.

Begitulah kandungan makna filosofis Gendhîng Ketawang Sûkmâ Ilang, yang berkisah tentang saat akhir kehidupan manusia di alam jânâlokâ. Manusia meragukan kembali, berbagai hal yang baik dan buruk tentang dirinya. Ia bimbang kepada seluruh kehidupannya. Segala yang sudah terjadi itu disesali, meskipun ia tahu hal itu tak lagi berguna. Segalanya sudah menjadi bubur. Sang Kâlâ telah memburunya, untuk segera menghadap Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya) mempertanggung-jawabkan segala perbuatan dan kehidupan duniawinya. Seperti irâmâ Gendhîng Ayak-ayak yang tak menentu kadang-kadang cepat dan kadang-kadang melambat, serba terbata-bata, serba tak jelas lagi irâmâ-nya. Seakan-akan hidup ini masih panjang, tetapi seringkali terasa bahwa kehidupan seakan tinggal beberapa detik lagi. Manusia, secara terburu-buru menimbang kembali segala perbuatan dan peri-lakunya di alam jânâlokâ. Sang Kâlâ semakin dekat dengan janjinya. Dalam irâmâ yang semakin nyrepeg (terburu-buru) dan melonjak-lonjak, tergesa-gesa manusia berusaha menebus segala keburukan duniawinya meskipun sering terlambat dan kehabisan waktu. Tak ada lagi kesempatan, tak ada lagi yang bisa menolong dan menyelamatkannya dari kematian.

Sang Kâlâ sudah tak sabar lagi. Dengan nyrepeg, dijemputnya manusia, untuk mempertanggung-jawabkan hidup dan peri-lakunya. Lalu sampak-pun tiba-tiba bertalu-talu melonjak-lonjak ganas, menyentak, merenggut nyawa manusia dan seluruh kehidupan manusia seketika! Manusia meregangkan tubuhnya dalam satu sentakan terakhir. Jiwa manusia lepas dari râgâ-nya dijemput Sang Kâlâ. Lalu seketika hening, segala berakhir di sini. Semuanya, tiba-tiba kembali ke keadaannya semula. Semua yang semula ada, tiba-tiba kembali menjadi tiada. Kembali dalam keheningan abadi.

Gendhîng Talu, biasanya dimainkan sesaat menjelang pagelaran wayang purwa. Jika dimainkan secara lengkap, seluruh rangkaiannya akan memakan waktu sekitar satu jam. Karenanya, pada saat dimainkan, harus diatur waktunya sedemikian rupa, sehingga pada saat berakhirnya permainan Gendhîng Talu waktu menunjukkan saat yang tepat untuk memulai pagelaran wayang purwa, yaitu sekitar pukul sembilan malam (jika pagelaran wayang dilakukan malam hari) atau, pukul sembilan pagi (jika pagelaran wayang dilakukan pada siang hari).

Gendhîng Talu, selalu berupa suatu rangkaian komposisi yang disusun atas beberapa gendhîng yang berlainan pola. Rangkaian komposisi Gendhîng Talu yang paling banyak dimainkan orang sejak ratusan tahun yang lampau, adalah pola gendhîng yang disusun atas Gendhîng Cucûr Bawûk, minggah (dipindahkan/dilanjutkan) ke Paré anôm lalu minggah (dipindahkan/dilanjutkan) ke Ladrang Sri Katôn kemudian lalu minggah (dipindahkan/dilanjutkan) ke Ketawang Sûkmâ Ilang disambut minggah (dipindahkan/dilanjutkan) ke Ayak-ayak Talu kemudian minggah (dipindahkan/dilanjutkan) ke Srepegan Manyurâ dan seterusnya minggah (dipindahkan/dilanjutkan) ke Sampak Manyurâ secara mendadak dan tiba-tiba diakhiri dengan digunakannya nada-nada yang monoton selama beberapa saat.

Pada pagelaran wayang lainnya, misalnya pada pagelaran wayang wông (wayang orang), seringkali rangkaian Gendhîng Talu hanya dimainkan sebagian saja. Hal ini, biasanya lebih disebabkan adanya kebutuhan akan pemendekan waktu permainan. Bahkan, seringkali dimainkan secara sangat pendek, yaitu menggunakan pola urutan ayak-ayak – pola srepegan – pola sampak. Ini merupakan urutan pola yang paling pendek.

Pola garap Gendhîng Talu, sangat berbeda dengan pola garap gendhîng pambukâ pagelaran yang mengawalinya. Pada garap Gendhîng Talu, meskipun permainan wayang belum dimulai, tetapi pola garap-nya sudah menggunakan pola khas garap wayangan. Misalnya, menggunakan pola permainan kendhang kosèk wayangan menggunakan moda irâmâ kosek wayangan, yang merupakan irâmâ khas wayangan yaitu ber-irâmâ tanggûng (agak cepat) menggunakan ricikan kecèr wayangan (ricikan kecèr kombali) pada saat permainan gendhîng-gendhîng-nya. Karena Gendhîng Talu pada dasarnya bermakna sangat filosofis dan sakral, maka sewaktu memainkannya, biasanya dilakukan secara sangat khusuk.

Pada saat permainan Gendhîng Talu dimulai, biasanya semua lampu penerangan panggûng pagelaran, umumnya masih dinyalakan secara terang benderang. Namun, pada saat permainan Gendhîng Talu mencapai puncaknya, yakni saat dimainkan Sampak Manyurâ yang ber-irâmâ sesegan (sangat cepat), biasanya seluruh lampu penerangan akan dipadamkan dan hanya lampu geber/kelîr wayang atau penerangan dhalang saja yang tetap menyala. Sesaat kemudian, jika dhalang sudah duduk di tempatnya rangkaian akhir Gendhîng Talu akan dihentikan secara mendadak dalam nada-nada yang monoton selama beberapa detik. Suasana, akan menjadi hening tanpa suara sedikitpun selama beberapa saat. Lalu dhalang akan memberikan âbâ-âbâ bersiap diri, menggunakan cempâlâ disahut dengan kethekan ricikan kendhang. Bunyi gedhôg yang dilakukan menggunakan cempâlâ, kemudian memberikan tanda bukâ, diikuti bunyi kendhang. Gendhîng Ayak-ayak Manyurâ berbunyi. Pagelaran-pun dimulai. Menceritakan sepersejuta kehidupan manusia di alam jânâloka.

[1]      Sayur yang menggunakan bahan buah paria muda meskipun sudah dimasak, akan tetap terasa sangat pahit. Meskipun terasa pahit, sayur buah paria muda ini tetap memiliki rasa sedap yang luar biasa jika dimakan. Sayur paria muda, merupakan salah satu sayur yang sangat disukai oleh kalangan masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa dan Sunda. Makanan bakso tahu, yang umumnya sangat disukai dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia misalnya, seringkali juga menggunakan paria muda sebagai salah satu kelengkapan sayurnya selain menggunakan sayur kol dan kentang rebus.

Kamis, 02 Oktober 2014

SUSTER MARIA DAN POHON PINUS....












Ini adalah dua cerita kenangan indah tak terlupakan, saat saya masih anak-anak dan tinggal di Kota Jember. Menyenangkan sekali saat saya mengenang kembali masa-masa indah pada waktu yang lalu, 52 tahun yang lampau. Pada masa kecil itu, saya mempunyai lima orang sahabat kecil. Semuanya laki-laki. Salah satu dari kelima sahabat kecil saya itu, berasal dari keluarga Tionghoa. Ia tinggal di sebelah rumah dinas orang-tua saya, di Jl. Arjuna, dekat stasiun kereta-api Jember. Empat orang sahabat kecil saya, berasal dari suku Jawa sebenarnya, hanya mereka dan seluruh keluarganya sudah lama tinggal di Jember. Empat orang sahabat kecil saya itu, semuanya lahir dan besar di Kota Jember. Karena tinggal di Kota Jember, maka kita semua fasih berbahasa Madura. Bahasa sehari-hari penduduk Kota Jember adalah bahasa Madura dan Jawa-Timuran. Kemana-mana, kami selalu pergi berenam. Ya begitulah...., kami termasuk 'gerombolan' anak-anak kecil, yang sebenarnya nakal, jail, tapi semuanya selalu kompak dan bersikap riang gembira....

Dua cerita ini, merupakan secuil kisah indah di jaman saya masih kecil dulu. Terjadi di sekitar tahun 1962. Pada masa itu,  saya menyelesaikan kelas 5 dan 6 di SR (Sekolah Rakyat) Katholik Maria Fatima, di Kota Jember. Dulu, ada seorang suster cantik dan masih muda, yang jadi wali kelas kami. Namanya suster Maria. Dan, suatu ketika, entah siapa yang mulai dan dari mana asalnya, saya tiba-tiba saja ingin sekali melihat apakah rambut suster nan cantik itu pendek, gundul, atau panjang. Entah dari mana asalnya, di kalangan kami, murid-murid kecilnya yang nakal, tersebar gosip, bahwa suster nan cantik ini kepalanya gundul. Kita, lalu bersepakat dengan sejumlah sahabat-sahabat kecil saya, memberanikan diri untuk menanyakan kepada suster cantik wali kelas kita itu. Dia, sambil tersenyum manis, lalu menjawab: "Yuk kita ke susteran ya. Ikut saya....."

Bangunan 'susteran' yang dimaksud, berada di sebelah gereja Katholik. Jadi, sebagai gambaran, jika kita melihat ke arah jajaran bangunannya, maka paling kanan adalah bangunan sekolah kami, di tengahnya ada gereja, lalu paling kiri adalah bangunan biara atau asrama biarawati, yang kami kenal dengan sebutan 'susteran'. Kita, lalu ramai-ramai mengikuti suster cantik itu ke susteran. Sesampainya di susteran, di suatu ruang yang sepi dan agak luas, di bagian depan bangunan susteran itu, sang suster cantik itu berhenti, membuka sedikit bagian samping kerudung (seperti "jilbab') kepalanya, dan menunjukkan kepada kami semua, bahwa dia punya rambut yang tak terlampau panjang, tetapi juga bukan amat sangat pendek (bukan gundul). Kita semua terbengong-bengong, saat melihat betapa suster nan cantik wali kelas kami itu, ternyata punya rambut yang cukup panjang. Kita semua serentak berteriak amat sangat keras: "Waaaaaaaa.......... ternyata gosip itu bohong.....! Bohooooong.....!"

Sang suster nan cantik itu terkejut. Tapi, segera ia membisikan: "Ssttttttt...... jangan berisik....!" sambil meletakkan telunjuknya di depan bibir, memberi tanda supaya jangan berisik. Lalu, ia bertanya pelan-pelan kepada kami semua: "Memangnya ada gosip apa....?" Lalu, beramai-ramai kami semua membuat 'pernyataan resmi' sambil tertawa-tawa: "Itu lo suster...., selama ini beredar gosip...., yang mengatakan katanya suster nggak punya rambut...." Sang suster nan cantik itu, masih sambil tersenyum berkata: "Ya sudah. Sekarang sudah tahu kan, bahwa gosip itu tidak benar. Sudah...., sudah..., sekarang kamu semua kembali ke kelas ya...." Saya dan sahabat-sahabat kecil saya, mengucapkan terima-kasih dan berlarian kembali ke kelas, sambil teriak-teriak: "Ternyataaaaaa..... gosipnya bohoooooong....!"


Peristiwa lain, yang menurut saya juga indah untuk dikenang, dan sampai sekarang masih saya ingat, adalah saya bersama-sama dengan sahabat-sahabat kecil saya, pernah memenangkan lomba Hari Natal. Padahal, saya beragama Islam dan bukan Kristen atau Katholik. Menjelang Hari Natal, di sekolah kami itu dilakukan lomba, membuat diorama suasana kelahiran Nabi Isa (Yesus Kristus). Temanya, 'Yesus di Palungan'. Saya waktu itu, punya kebiasaan ikut truk milik PN Perhutani, pergi ke hutan Sempolan, lalu pulangnya membawa arang kayu hutan. Di wilayah Sempolan itu, hutannya sebagian ada yang merupakan hutan pohon 'Pinus Merkusi', yang sudah tumbuh menjadi pohon pinus yang besar dan rindang. Nah, di hutan Sempolan itu, saya mencari buah pohon pinus yang sudah kering. Itu saya lakukan atas permintaan suster wali kelas saya (namanya suster Maria) dan seorang suster lain (namanya saya lupa, dia seorang wanita Belanda). Saya membawa sekeranjang besar buah pinus kering. Mungkin sekeranjang isinya ada sekitar lima-ratusan buah. Lalu, saya membawa serta juga beberapa tebangan pohon pinus hasil proses penjarangan hutan. Batang pohon pinus sisa hasil penjarangan ini sesuai permintaan suster, ada yang pendek (sekitar dua meter) ada juga yang panjang (sekitar 3 meter). Selain itu, saya juga membawa sekeranjang potongan kulit phon pinus. Semuanya diangkut pakai truk PN Perhutani ke sekolah. Sesampai di sekolah, seluruhnya diturunkan dan ditaruh di dalam ruang pertemuan.


Hari berikutnya, seluruh anak-anak dan beberapa orang-tua yang datang, pada berkumpul di ruang pertemuan besar itu. Di lantai, semuanya pada sibuk membuat diorama 'Yesus di Palungan' memakai bahan-bahan dari hutan itu. Tak terasa, pekerjaan itu dilakukan sampai siang hari. Menjelang sore hari, semua pekerjaan sudah selesai. Dan, mulailah kita semua menata hasil kerja kita di atas meja-meja panjang, berjajar-jajar. Semuanya menurut saya cantik-cantik dan indah. Sementara, di ujung dalam ruangan pertemuan itu, para suster beramai-ramai menyesaikan pembuatan pohon natal, memakai batang pohon pinus yang ukurannya sekitar tiga meter. Dari jauh, kelihatan indah sekali. Apalagi, pohon natal itu setelah selesai, dihias dengan bermacam ragam hiasan natal, berbentuk bintang kecil, bola-bola kristal warna-warni, lampu kedip, serta pita-pita berwarna.

Besok harinya, pas hari Minggu. Semua peserta dan orang-tuanya, berkumpul di ruang pertemuan yang sudah berubah menjadi ruang pameran. Ruang itu sekarang penuh dengan pengunjung, orang-tua dan anak-anak. Semarak sekali. Saya dan sahabat-sahabat kecil saya, seperti biasa, dengan gembira berjalan berkeliling melihat-lihat hasil kerja kami semua, sambil sibuk membincangkan karya masing-masing. Menurut saya, yang paling bagus adalah pohon natal besar hasil karya para suster guru-guru sekolah kami. Begitu pula kata sahabat-sahabat kecil saya. Jadi, kami semua lalu bersepakat menemui para suster itu, dan memberi selamat: "Suster... suster... Selamat ya. Pohon natal besarnya cantik sekali......" Para suster itu dengan tersenyum manis menjawab: "Yaaaaa.... terima-kasih yaaa anak-anak.... Tapi, pohon natal besar itu, tidak akan diikut-sertakan dalam lomba. Karena, pembuatnya bukan anak-anak lagi...." Begitu, jawab para suster-suster cantik itu sambil tertawa beramai-ramai. "Jadi, yang bisa dinilai adalah, yang buatan anak-anak..... Lagian, pohon natal itu kan tak sesuai dengan tema lomba. Temanya kan 'Yesus di Palungan'. Sedangkan pohon natal besar itu kan tidak menampilkan seperti tema itu....." Saya dan sahabat-sahabat kecil saya, saling melihat dan memandang karya masing-masing lalu berganti melihat pohon natal yang besar dan indah itu. Jadi, selama kita membuat dan mengerjakan karya masing-masing itu, kita sebenarnya sama sekali tak ingat lagi, tema yang digunakan sebagai syarat lomba....

"Ya sudahlah....," beberapa sahabat kecil saya nyeletuk. "Terima-kasih suster.....!" kami semua bersama-sama meneriakkan kalimat itu, lalu berlari-lari menuju pintu dan keluar dari ruang pertemuan itu. Lalu, kami seperti biasa, kembali kepada kebiasaan lama, yaitu bermain di sekitar gereja dan bangunan susteran. Minggu siang, saat saya dan sahabat-sahabat kecil saya sedang sibuk bermain di sekitar gereja, tiba-tiba seorang suster memanggil kami. Di dalam ruang pertemuan, ternyata telah dilakukan proses penilaian. Sebenarnya, saya dan sahabat-sahabat kecil saya, sama sekali tidak perduli dengan soal penilaian itu. Karena, kami semua lebih sibuk dengan permainan di luar gereja, yang tiba-tiba saja terpotong. Lagi pula, ada banyak kriteria penilaian yang dibacakan para suster. Kami semua tak begitu memperhatikan, sampai suatu saat saya dan 'tim kerja' kami dipanggil untuk tampil ke depan. Semula, kami semua saling melihat saja, tak tahu apa yang terjadi. Tapi, beberapa orang-tua lalu menarik tangan-tangan kecil kami, dan berkata: "Ayo cepetan ke depan.... itu dipanggil suster....." Kami, lalu beramai-ramai berjalan ke depan. Semua mata pengunjung, melihat dan mengikuti jalan kami. Ada sekitar lima orang yang bersama-sama saya saat itu. Sesampai di depan, kami berenam berdiri berjajar menghadap ke seluruh pengunjung. Lalu, seorang suster menyampaikan pengumuman, yang menyatakan bahwa tima kami menjadi pemenang lomba 'Yesus di Palungan'..... Saat mendengar pengumuman itu, kami semua terkejut dan hanya berdiam saja, karena benar-benar tidak siap. Tapi tiba-tiba saja, entah apa yang terjadi, kami berenam mendadak sontak berteriak gembira: "Horeeeeee..... kita menang....! Hoooorreeee....menaaaaang.....!" sambil berloncatan di tempat. Setelah diberi salam oleh para suster dan para penunjung, kami semua dengan masih tetap berloncatan, berlari-lari keluar ruang dengan gembira. Di depan pintu besar ruang pertemuan itu kami semua berteriak-teriak: "Kita menaaaaang....! Kitaaaa menaaaaang...!" Hari Minggu itu, tiba-tiba saja menjadi hari gembira yang tak pernah lagi terlupakan sepanjang hayat saya......




Saat semuanya usai, pas saya pulang bersama-sama sahabat-sahabat kecil saya, barulah saya terpikir dan menanyakan kepada sahabat-sahabat kecil saya: "Bagaimana bisa yaaa....? Di antara kita berenam, yang beragama Kristen kan hanya seorang. Lima orang di antara kita, kan beragama Islam. Kok kita bisa memenangkan lomba 'Yesus di Palungan' itu ya....?" Pertanyaan itu akhirnya tenggelam begitu saja ke dalam rutinitas kegiatan sehari-hari sebagai anak-anak yang menyenangkan....


Selasa, 30 September 2014

GAMELAN PERUNGGU WULUNG, KYAI SEKAR GANESA LOKANANTA

Perangkat kempul, gong suwukan, dan gong ageng yang merupakan kelengkapan gamelan wulung 'Kyai Sekar Ganesa Lokananta'


Pagi-pagi buta, menjelang sekitar pukul empat, beberapa hari yang lampau, tiba-tiba saja saya bertemu dengan seorang sahabat kinasih saya, Mas Asep Nata melalui media ‘chatting’  di facebook.  Sebuah pertemuan di facebook yang tak terduga-duga, tiba-tiba saja menyeruakkan kembali segala ingatan dan kenangan masa lampau, saat saya masih berstatus mahasiswa dan sedang menyelesaikan skripsi tentang pembuatan gamelan. Seakan-akan seperti memutar ulang waktu, seperti kembali melakukan perjalanan kembali menapaki desa-desa pedalaman di sekitar Jatiteken dan Kadhokan (kedua desa ini berada di sebelah timur Kota Surakarta). Masih terbayang, bagaimana embun pagi dengan kabut tipis menggantung di wilayah persawahan dan kebun tebu yang luas di wilayah sebelah timur Bengawan Solo. Sementara saya melakukan perjalanan kembali setiap pagi, ke desa-desa itu, untuk menemui para 'panji' pembuat gamelan yang menjadi guru saya. Saat Mas Asep Nata bercerita tentang perjalanan hidupnya, yang ternyata sangat mirip saya, yaitu belajar membuat gamelan, seakan-akan semuanya membayang kembali seperti baru terjadi hari kemarin saja.....

Lalu, mendadak topik pembicaraan menyinggung soal 'gamelan wulung' atau 'gamelan cemengan'. Ingatan saya, tiba-tiba saja bagaikan tersambar halilintar, saat Mas Asep Nata menanyakan kepada saya nama julukan gamelan wulung milik PSTK-ITB. Apa ya nama julukannya? Saat itu, selintas yang saya ingat gamelan hitam itu dijuluki 'Kyai Ganesa Lokananta'. Tetapi beberapa hari kemudian, setelah saya periksa di ruang latihan PSTK-ITB, ternyata julukan lengkapnya adalah 'Kyai Sekar Ganesa Lokananta'. Salah satu bagian dari gamelan itu, yang selalu saya ingat, adalah bentuk ular naga yang merupakan ukiran hiasan yang terletak di atas gayor gong. Bentuk rupa hiasan ular naga pada gamelan ini, saya kira tidak ada duanya di dunia, karena bentuknya berupa sepasang ular naga lengkap dengan kulitnya yang bersisik dan tubuh yang meliuk-liuk, tetapi berkepala gajah (ganesa). Kedua hiasan ular naga ini, posisinya saling membelakangi. Aneh sekali....!

Seluruh ingatan saya perlahan-lahan seperti hidup kembali. Seluruh bayang-bayang masa lampau itu tiba-tiba seperti hidup kembali. Membangun wujudnya, seakan-akan semuanya baru terjadi hari kemarin.  Semuanya bermula dari sekitar tahun 1980-an. Di suatu siang, sekitar pukul dua (selepas makan), saat saya sedang bekerja di pabrik, mendadak kedatangan serombongan tamu, sejumlah anggauta pengurus PSTK-ITB, yang saat itu dipimpin oleh seorang mahasiswi, yaitu Mbak Tya. Tentang Mbak Tya ini, saya selama ini mengira bahwa ia adalah ketua PSTK-ITB. Tetapi setelah saya periksa di dokumentasi PSTK-ITB beberapa hari yang lampau, ternyata pada masa itu tidak ada ketua PSTK-ITB yang seorang wanita (mahasiswi). Jadi kemungkinan Mbak Tya adalah koordinator umum, atau semacam itulah jabatannya di PSTK-ITB. Saya hanya mengingat namanya 'Tya'. Bahkan, saya tak pernah tahu nama lengkapnya! Puluhan tahun saya hanya mengingat nama 'Tya' itu. Saya juga tidak pernah mengingat, siapa yang menemani dan bersama dengan Mbak Tya, saat datang menemui saya di kantor.


Pada pertemuan dengan saya, Mbak Tya dan sejumlah rekannya (semua memperkenalkan diri sebagai anggauta PSTK-ITB) menyatakan bahwa mereka bermaksud mendiskusikan konsep sebuah ‘gamelan baru’ untuk PSTK-ITB, yang menurut mereka sedang direncanakan untuk dipesan pembuatannya. Saat itu, saya bertanya: “Apakah sudah ada konsepnya?” Jawab mereka: “Belum ada. Karena itulah kami berkunjung ke Pak Bram.” Demikianlah awal pembicaraan siang itu. Sayang sekali saya lupa hari dan tanggal tepatnya. Satu-satunya yang saya ingat, pertemuan itu dilaksanakan diruang kerja saya, di lantai 3 gedung baru PT Radio Frequency Communication (PTRFC), tempat saya bekerja. Hari sudah sore, saat pertemuan itu diakhiri. MbakTya sebelum pulang mengajukan permintaan kepada saya untuk memikirkan dan menyusunkan sebuah konsep gamelan baru untuk PSTK-ITB. Saya tertegun sejenak mendengar permintaan itu, tetapi akhirnya saya sepakat untuk membuatkan konsep tentang gamelan baru itu. Saat itu saya meminta waktu kira-kira seminggu untuk menuliskannya secara lengkap, dengan perjanjian nanti di minggu depan akan dilakukan pertemuan kembali untuk mendiskusikan konsep yang saya susun.

Setelah selama seminggu dipikirkan, akhirnya jadilah konsep gamelan baru untuk PSTK-ITB itu. Gagasannya, dimulai dari situasi dan kondisi nyata PSTK-ITB saat itu, yaitu anggauta baru biasanya banyak, tetapi pelatih karawitan terlalu sedikit. Sebagai gambaran latar belakang, untuk melatih karawitan para mahasiswa-mahasiswi ITB, dulu PSTK-ITB sampai perlu mendatangkan pelatih dari luar. Misalnya, untuk pelatih karawitan para mahasiswa-mahasiswi PSTK-ITB dilatih oleh Bapak Ragil Suripto; untuk kegiatan ‘wayangan’, dilatih oleh Bapak Rono Suripto; sedangkan untuk ‘beksa’ (tari) dilatih oleh Mas Nuryantoro. Hal itu, sudah berlangsung agak lama. Setahu saya, sudah berlangsung sejak sekitar tahun 1970-an, sampai menjelang tahun 1980-an. Sedangkan gamelan yang saat itu dipakai PSTK-ITB, adalah gamelan yang oleh para anggauta PSTK-ITB lebih dikenal dengan sebutan ‘gamelan merah’ (karena ‘rancak’-nya berwarna merah). Gamelan ini, dulunya tidak berwarna merah, tetapi berwarna biru tua. Sebagian besar ricikan  gamelannya dibuat menggunakan bahan besi pelat drum bensin yang relatif agak lebih tebal pelat besinya. Gamelan ini, dulunya dipesan dan dibuat oleh para pembuat ‘gamelan tosan’ (gamelan besi) dari Desa Loceret, yang lokasinya sedikit ke arah selatan dari Kota Nganjuk, Jawa Timur.


Perangkat ricikan kethuk, kempyang, dan kenong; yang merupakan bagian dari gamelan Kyai Sekar Ganesa Lokananta.

Selain menggunakan gamelan merah itu, para anggauta PSTK-ITB juga sering berlatih karawitan menggunakan gamelan perunggu gaya Yogyakarta, milik Bapak Windu almarhum, yang tempat tinggalnya di Jalan Sumur Bandung (lokasinya di belakang Kampus ITB). Saat itu, bisa dikatakan Bapak Windu berperan sebagai ‘orang yang dituakan’ di antara para anggauta muda PSTK-ITB. Sebagian besar anggauta PSTK-ITB saat itu, senang berlatih menggunakan gamelan perunggu milik Bapak Windu almarhum, karena suara dan laras-nya bagus. Dalam ingatan saya, ‘gegedhug’anggauta PSTK-ITB yang seringkali mengajak para anggauta lain untuk berlatih menggunakan gamelan perunggu milik Bapak Windu, adalah Mas Ariyatno (Jurusan Mesin ITB, angkatan 1970-an), yang lebih terkenal dengan sebutan ‘Simbah Ariyatno’.[1] Jadi, ringkasnya pada masa itu, para anggauta PSTK-ITB bolehlah dikatakan berlatih karawitan memakai dua gamelan, yakni gamelan merah milik PSTK-ITB dan gamelan milik Bapak Windu almarhum.

Bilah-bilah gambang 'gamelan merah' ini selamat dari pencuri, karena seluruh bilah-bilahnya dibuat dari kayu......

Kembali kepada ‘gamelan merah’ yang legendaris. Gamelan itu, seperti telah disinggung di atas, dulunya berwarna biru tua. Sebagai informasi, warna resmi ITB yang disepakati saat itu untuk berbagai keperluan resmi (seragam, jaket, tas, logo, dan sebagainya) adalah warna biru tua. Pada suatu hari Minggu, saya berkunjung ke tempat latihan PSTK-ITB di depan ruang Aula Barat, dan memandangi gamelan milik PSTK-ITB yang berwarna biru tua itu. Dalam pandangan saya, gamelan itu terlihat kusam, tak bercahaya, dan terlihat suram. Saat itu, saya nyeletuk: “Gamelan kok berwarna biru tua, seperti gamelan milik penjara saja.”  Lalu saya saat itu tiba-tiba saja mengusulkan untuk mengubah warna gamelan itu. Saya mengusulkan untuk mengubahnya menjadi berwarna merah dengan ragam hiasnya berwarna emas (bronze). “Supaya terlihat lebih cemerlang….,” begitu argumentasi saya saat itu.  Ternyata usulan saya disetujui pengurusPSTK-ITB, dan beberapa hari kemudian beberapa kaleng cat Duco berwarna merah darah (berwarna standar ‘red signal’), minyak Thinner, beserta sejumlah kuas sudah tersedia di ruang latihan itu.Lalu, selama tidak lebih dari dua hari, beramai-ramai para anggauta PSTK-ITB mengecat seluruh rancak gamelan itu dan mengubahnya menjadi berwarna merah. Sedangkan ragam hiasnya dicat warna emas. Sejak itulah, gamelan yang legendaris itu lalu disebut sebagai ‘gamelan merah’.

Gender barung laras Slendro, yang merupakan ricikan yang paling saya sukai, sebagai pengiring saat melakukan latihan tembang suluk Pesisir. Suaranya yang merdu, bagaikan bisa mempengaruhi seluruh emosi dan perasaan....

Seperti sudah disinggung diatas, gamelan merah yang legendaris itu, sebagian besar menggunakan bahan lempengan besi pelat bekas drum bensin untuk sejumlah kempul, gong suwukan, dan gong ageng-nya. Sedangkan bilah-bilah balungan dan gender-nya memakai lempengan logam pelat kuningan(brass). Seingat saya, Simbah Ariyatno-lah yang punya gagasan untuk lebih melengkapi dan menggantikan sebagian ricikannya yang dibuat dari pelat besi dengan kuningan atau perunggu. Tetapi, dana PSTK-ITB saat itu, ternyata tidak mencukupi. Meskipun demikian, dengan usaha keras, akhirnya dana yang diperlukan didapatkan juga. Dan, hasilnya, sebagian ricikan gamelan merah itu, termasuk sejumlah kempul dan gong suwukan, lalu diganti menggunakan kuningan cor dan tempa buatan Desa Mbarat, yang lokasinya sedikit di sebelah tenggara Kota Ngawi, Jawa Timur. Saya sendiri sudah lupa, apakah bahan gamelan pengganti itu berbahan dasar kuningan atau perunggu. Tetapi yang saya ingat, adalah gagasan mengganti bahan besi dengan bahan kuningan itu dilakukan dengan harapan supaya gamelannya agak terlihat seperti perunggu.

Pada deretan foto di sebelah kiri teks di bawah ini, diperlihatkan foto-foto gamelan Kyai Mangungun dan Nyai Gudho-Sih (Sumber: Foto koleksi Mas Asep Nata).


Pada masa itu, Pakdhe Dwi Hardjito juga sedang giat-giatnya melakukan penelitian nada gamelan (untuk keperluan studinya di Jurusan Mesin ITB), dan saya ingat benar, pada suatu pagi saat saya pergi ke ruang latihan PSTK-ITB yang di Aula Timur, tiba-tiba saja saya melihat ada potongan besar blok timah putih. Ukurannya besar dan berat sekali. “Kiriman dari Jakarta, sisa bahan penelitian,” begitu kata Pakdhe Dwi Hardjito kepada saya saat itu. Bahan timah putih itulah yang oleh Simbah Ariyatno dibawa be Mbarat, Ngawi untuk membuat ricikan perunggu. Saya juga masih ingat kata-kata Simbah Ariyatno: “Bahan ini nggak cukup Bram. Kurangnya masih banyak,” begitu katanya. Berdasar penjelasan Simbah Ariyatno itulah saya lalu menyakini, bahwa sebagian dari pesanan ricikan gamelan dari Mbarat itu tidak semuanya berbahan perunggu. Lepas dari persoalan mana yang benar (mungkin hanya Simbah Ariyatno yang bisa menjelaskan secara rinci tentang hal ini), tetapi nyatanya sejak itu gamelan merah menjadi semakin semarak warnanya, karena hampir semuanya lalu berwarna kuning berkilau. Saya tetap meyakini, dengan segala kecanggihan dan upayanya, Simbah Ariyatno berusaha melengkapi ricikan gamelan PSTK-ITB sehingga secara keseluruhan menjadi terlihat lebih anggun, karena berwarna ‘seperti perunggu’. Mungkin saja, karena bahan timah putihnya memang sangat kurang jumlahnya, maka ricikan gamelan yang berasal dari Mbarat itu berbahan dasar ‘perunggu anom’ (perunggu muda), yang mungkin juga dicampur bahan kuningan, untuk mencukupi seluruh pesanan PSTK-ITB. Seingat saya, bahan timah putih itu hanya cukup untuk membuat ricikan peking, saron racik, gong suwukan, dan kempul. Sampai sekarang, untuk bonang barung dan bonang penerus,masih tetap menggunakan bahan besi pelat dengan pencu yang dibuat dari lempeng kuningan. Antara badannya yang memakai bahan lempengan besi bekas drum bensin dan pencunya yang berbahan lempeng kuningan, digabungkan dengan cara dikeling. Hal ini pula yang berakibat jika bonang itu ditabuh agak keras, seringkali kelingnya yang menjadi longgar dan lalu terjadi suara bergetar (berbunyi‘theeer’). Untuk ‘mengelabui’ mata orang yang melihat, bagian dari ricikan gamelan yang dibuat dari lempeng besi ini dicat menggunakan cat bronze warna emas (kuning tua).

Selama bertahun-tahun kemudian, PSTK-ITB berkiprah dalam berbagai pagelaran memakai gamelan merah yang seluruh wilahdan pencon-nya berwarna kuning emas bagaikan perunggu. Di antara semuanya itu, sebuah kempul laras slendro nada barang (nada 1) tetap dipertahankan sebagai ‘perunggu wulung’. Kempulini, mempunyai nada yang sangat bagus dan terbukti sangat stabil nadanya. Dari sejak awal, gamelan merah itu memang dirancang untuk pengiring wayangan.  Gamelan ini juga terkenal sebagai gamelan yang menggunakan wilayah nada yang relatif tinggi, yang menerapkan ‘embat mucuk bung’Embat ini, merupakanembat khas wayangan. Gamelan merah yang ber-laras Slendro, sangat bagus dan sesuai untuk memainkan gendhing-gendhing Pathet Manyura. Sedangkan ricikan-nya yang ber-laras Pelog, sangat bagus dan sesuai untuk memainkan gendhing-gendhing Pathet Lima. Ini merupakan komposisi kompromis yang sangat khas wayangan.

Kembali kepada gamelan PSTK-ITB yang berwarna hitam. Setelah bertahun-tahun menggunakan ‘gamelan merah’, akhirnya PSTK-ITB mulai memikirkan perlunya sebuah gamelan yang lebih baik mutunya. Dan, seperti sudah saya singgung di atas, akhirnya tulisan yang berisi konsep 'gamelan baru' itu saya selesaikan dalam waktu seminggu. Pada minggu berikutnya Mbak Tya dan sejumlah anggauta pengurus PSTK-ITB berkunjung kembali ke tempat kerja saya. Sore itu, saya jelaskan seluruh konsepsi tentang gamelan baru itu, termasuk berbagai argumentasinya. Di antaranya sebagai berikut.

1) Gagasan membuat ‘gamelan perunggu wulung’ (juga dikenal dengan sebutan ‘gamelan cemengan), didasarkan atas hasil diskusi saya dengan Pak Samodra almarhum (pembina PSTK-ITB saat itu)[2]yang menyatakan bahwa gamelan perunggu yang tidak ‘digilap’ (tidak dikerok atau dikikir permukaan logamnya, sehingga tidak terlihat berkilau), akan mempunyai kestabilan nada yang jauh lebih baik. Hal ini disebabkan ketegangan permukaan logam (metal surface stress) yang dihasilkan, akan jauh lebih rendah (lebih kecil), jika dibandingkan dengan gamelan perunggu yang digilap.

2) Jumlah ricikan balungan diperbanyak, baik jumlah maupun jumlahnya. Dalam konsep yang saya susun, ricikan saron panembung (demung) dibuat empat pasang (slendro dan pelog), ricikan saron barung dibuat tujuh pasang (slendro dan pelog), ricikan saron penerus dibuat tujuh pasang (slendro dan pelog), dan ricikan saron racik (saron kembangan) dibuat empat pasang (slendro dan pelog). Selain itu, saya minta untuk dibuatkan ricikan ‘saron gender’(seperti pada gamelan Bali) sebanyak dibuat empat pasang (slendro dan pelog).[3]

3) Semua bilah ricikan balungan yang bertangga-nada slendro, dimulai dari nada 5 (nada bawah/rendah) dan diakhiri dengan nada 2 (nadatinggi/atas). Jadi, susunan bilah nadanya yang bertangga-nada slendro, terdiri dari nada-nada 5, 6, 1, 2, 3, 5, 6, 1, 2 (sembilan nada). Sedangkan bilah ricikan balungan yang bertangga-nada pelog, selain dimulai dari nada 5 (nada bawah/rendah) dan diakhiri dengan nada 2 (nada tinggi/atas); juga menerapkan bilah ganda nada 1 (bem) dan 7 (barang). Sehingga susunan bilah-bilah nadanya menjadi 5, 6, 7, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 1, 2 (duabelas nada) atau sekurang-kurangnya 5, 6, 7, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 1 (sebelas nada).  Susunan bilah nada seperti ini, pada masa itu sangat tidak lazim, karena susunan bilah nada yang lazim pada ricikan balungan bertangga-nada slendro adalah 1, 2, 3, 5, 6, 1, 2 (tujuh nada). Sedangkan susunan bilah nada pada ricikanbalungan bertangga-nada Pelog adalah  1, 2, 3, 4,5, 6, 7 (tujuh nada). Penjelasan mengapa susunan bilah nada yang agak aneh itu yang dipilih, dulunya dipicu oleh sebuah tulisan artikel pendek yang ditulis oleh Mas Panggah, yang menjelaskan bahwa jumlah bilah nada pada ricikan gamelan yang standar (baku, tujuh nada) dan sangat terbatas, sebenarnya tidak bisa mewakili seluruh nada yang diperlukan untuk memainkan ‘balungan gendhing’.[4]Sedangkan argumentasi yang saya ajukan pada saat itu adalah sebagai berikut.

  • Gendhing-gendhing yang menggunakan Laras Slendro Pathet Nem dan Pathet Sanga, sering diakhiri dengan gong bernada 5 (rendah/bawah). Sedangkan gendhing-gendhing Laras Slendro Pathet Manyura, sering diakhiri dengan gong bernada 6 (bawah/rendah). Karena itu, nada terrendah pada ricikanbalungan berlaras Slendro, sebaiknya juga disesuaikan untuk keperluan tersebut, yaitu disediakan nada 5 dan 6 (rendah/bawah).
  • Gendhing-gendhing yang menggunakan laras Pelog Pathet Lima, sering diakhiri dengan gong bernada 5 (rendah/bawah). Gendhing-gendhing yang menggunakan laras Pelog Pathet Nem dan Pathet Barang, sering diakhiri dengan gong bernada 6 (bawah/rendah). Karena itu, nada terrendah pada ricikan balungan  berlaras Pelog, sebaiknya juga disesuaikan untuk keperluan tersebut, yaitu disediakan nada 5 dan 6 (rendah/bawah).
  • Khusus untuk ricikan balungan  bertangga-nada Pelog, disediakan nada 1 (bem) dan 7 (barang) pada dua oktaf yang berbeda, sesuai dengan permainan gendhing. Dengan demikian, jika misalnya hendak memainkan suatu susunan nada (mengarah ke gong) yang notasinya 2327 3276, maka nada 7 yang dibunyikan bukan merupakan nada 7 tinggi (atas) melainkan nada 7 bawah (rendah). Dengan demikian susunan nada yang dihasilkan, akan lebih mewakili susunan nada balungan gendhing. Demikian juga jika misalnya hendak memainkan suatu susunan nada tinggi 3561 6516, maka nada 1 (bem) yang dimainkan pada susunan nada ini tidak menggunakan nada 1 rendah atau bawah.
4) ‘Gamelan wulung’ atau ‘gamelan cemengan’, pada masa itu tidak pernah ditemukan keberadaannya di luar keraton (Yogyakarta dan Surakarta).

5) Kelengkapan gamelan seperti yang dikonsepkan itu, pada masa itu belum pernah ada yang merealisasikannya. Dengan demikian, diharapkan ITB akan merupakan lembaga pertama (mungkin juga pertama di dunia) yang memiliki gamelan ageng yang lengkap seperti itu.

6) Konsep utama yang diterapkan, yakni memperbanyak jumlah ricikan balungan, adalah dengan tujuan supaya bisa mengakomodasi sebanyak mungkin peserta pelatihan karawitan dasar secara bersama-sama, dengan seorang instruktur/pelatih. Harap dicatat, pada masa itu persoalan pelatih karawitan yang mumpuni dan menguasai banyak bidang, merupakan salah satu persoalan serius yang sukar diatasi oleh PSTK-ITB, disebabkan oleh kelangkaannya.

Konsep gamelan baru PSTK-ITB itu kemudian saya serahkan kepada Mbak Tya dan tim kerjanya. Lalu, tahun berganti tahun, kepengurusan PSTK-ITB pun juga berganti. Beberapa tahun kemudian, gamelan wulung itupun jadi. Menurut Mas Asep Nata, gamelan itu dibuat oleh Pak Tentrem, dari Bekonang. Namun, harap dicatat, bahwa berdasar usulan saya, dulunya gamelan wulung itu saya usulkan untuk dibuat di dua tempat yang berbeda, dengan pertimbangan sebagai berikut.

  • Ricikan yang berbentuk ‘bunderan’ (bonang, kethuk, kenong,kempul, dan gong) seluruhnya diusulkan untuk dibuat di ‘besalen’milik Bapak Wignya Rahardjo di Desa Jatiteken, yang lokasinya di sebelah selatan Bekonang. Argumentasinya, Bapak Wignyo merupakan spesialis pembuat ricikan bunderan yang bagus dan bermutu tinggi.
  • Ricikan yang berbentuk ‘wilahan’ (gender, saron, demung,slenthem, saron gender, peking) seluruhnya diusulkan untuk dibuat di ‘besalen’ milik Bapak Widodo, di Desa Kadhokan, yang lokasinya di sebelah timur Grogol (di sebelah timur Bengawan Solo). Argumentasinya, Bapak Widodo merupakan spesialis pembuat ricikan wilahan yang bagus dan bermutu tinggi.
  • Bapak Wignyo Rahardjo dan Bapak Widodo, merupakan dua orang sahabat dekat, dua-duanya merupakan ‘panji gamelan’ (ahli membuat gamelan) yang sangat berpengalaman, dan dalam setiap kali pembuatan gamelan selalu bekerja-sama, sesuai keahlian masing-masing. Hasil kerja keduanya, terkenal sangat bagus dan bermutu tinggi, meskipun dari segi harga mungkin agak sedikit lebih mahal. Selain itu, kedua orang ini merupakan ‘guru’ saya yang  banyak memberikan pengetahuan tentang pembuatan gamelan dan segala seluk-beluknya.

Di luar ‘hubungan murid dan guru’ (saya dan kedua beliau itu) itu, terus terang saja pilihan atas keduanya juga atas usulan Simbah Ariyatno, yang pertama kali memperkenalkan kedua beliau ini (Bapak Wignyo Rahadjo dan Bapak Widodo) dengan saya. Selain itu, pada masa itu banyak terjadi penipuan pembuatan gamelan. Banyak pesanan gamelan yang seharusnya dibuat dari bahan perunggu, tetapi nyatanya dibuat dari kuningan atau perunggu muda (kebanyakan merupakan campuran pecahan logam perunggu bekas dengan kuningan). Nyatanya, orang yang bukan ahli atau tidak terbiasa dengan karakter khas perunggu, akan sangat mudah tertipu (mengira gamelan-nya memakai bahan perunggu, padahal memakai kuningan). Dan, harus diakui saja, pembuat gamelan di Pulau Jawa (mungkin juga di seluruh Indonesia) yang paling ahli dalam membuat ‘gamelan yang seakan-akan perunggu’ dan dibuat berbasis gabungan atau campuran bahan kuningan dan perunggu ‘ancuran’, sehingga menjadi ‘perunggu muda’ adalah para pembuat gamelan dari Desa Mbarat, Ngawi.[5]Pilihan atas kedua beliau ini, juga didasarkan atas kepeceryaan saya kepada keduanya, setelah saya melihat dan tinggal selama beberapa bulan di sana, menunggui seluruh proses pembuatan gamelan dari sejak awal sampai seluruhnya selesai. Sebagai catatan tambahan, saya sempat berguru cukup lama dan mendalam tentang berbagai hal yang berhubungan dengan proses pembuatan gamelan, filosofi, berbagai ritual, dan tata-caranya, kepada Bapak Prawiro, seorang'panji sepuh' ahli pembuat gamelan, yang merupakan ayahanda Bapak Wignyo Rahardjo.

Entah apa yang terjadi, prosesnya saya tidak mengikuti, beberapa tahun kemudian, gamelan hitam itu pun selesailah dan akhirnya dikirim ke PSTK-ITB. Informasi pertama yang saya dapat, adalah bahwa kelengkapan gamelan itu ternyata meleset jauh dan sangat berkurang dari jumlah yang semula direncanakan. Pada saat pertama kali saya melihat gamelan baru itu, kesimpulan saya adalah sebagai berikut.

1) Pengurus PSTK-ITB berikutnya (bukan pengurus PSTK-ITB yang menyusun konsepnya bersama saya) besar kemungkinan sama sekali tidak memahami konsep gamelan baru yang direncanakan. Juga sama sekali tidak memahami tujuan utama pembuatan gamelan baru itu, yang sebenarnya direncanakan secara khusus untuk mempermudah dan memperlancar proses kaderisasi pengrawit muda.

2) Wilayah nada gamelan baru itu, terlampau rendah; demikian pula penerapan embat-nya. Karenanya, hanya cocok untuk pengiring pagelaran klenengan dan tari; tetapi sangat tidak memadai (tidak cocok) untuk pengiring pagelaran wayang.

3) Jumlah dan kelengkapan ricikan balungan gamelan baru itu, menjadi standar dan sama saja dengan gamelan ageng lainnya. Memang tetap ada kekhususannya, yaitu merupakan ‘gamelan wulung’ atau ‘gamelan cemengan’. Tetapi kekhasannya yang amat sangat luar biasa, yang disebabkan ketidak-lazimannya sama sekali lenyap.

4) Jumlah bilah ricikan balungannya, diubah menjadi sangat baku (standar), sehingga bukan lagi merupakan ‘gamelan masa depan’ yang bersifat‘ luar biasa’ (extra ordinary), tetapi menjadi gamelan biasa (ordinary).[6]

Apa boleh buat, itulah yang terjadi; dan saya bersama sejumlah sahabat hanya bisa ‘menerima apa adanya’ dan tidak bisa berbuat apa-apa. Satu sisi, ada juga kegembiraan karena menerima gamelan baru. Tetapi di sisi yang lain ada juga penyesalan, karena gamelan baru itu sangat berbeda dengan yang dimimpikan. Memang menjadi  runyam urusannya, jika pemesan gamelan ternyata dilakukan oleh orang yang tidak tahu untuk apa gamelan itu direncanakan dan lebih fatal lagi, tidak tahu bagaimana sebenarnya konsep gamelan yang dikehendakinya itu. Tentu saja pembuat gamelan tidak bisa disalahkan, sebab ia hanya bekerja sesuai pesanan. Sejauh ini, memang tidak pernah ada penjelasan resmi, bagaimana duduk masalah yang sebenarnya, dan mengapa sampai terjadi perubahan yang sedemikian drastis dan benar-benar jauh meleset dari konsep awalnya. Tetapi, besar kemungkinan penyebab utamanya adalah ketidak-tahuan dan/atau ketidak-pahaman akan konsep gamelan itulah yang menjadi penyebab utamanya. Sekali lagi, apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur, dan memang tak ada gunanya menyesalinya....

Pada sekitar tahun 2003, sesaat sebelum dilakukan pagelaran wayangan dalam rangka tanggap warsa PSTK-ITB, gamelan wulung milik PSTK-ITB itu di-laras (ditala ulang). Sesuai permintaan saya, penalaan ulang dilakukan dengan cara menyamakan wilayah nada gamelan hitam itu dengan wilayah nada gamelan merah. Dengan demikian, maka seluruh ricikan gamelan merah dan hitam, bisa dimainkan bersama-sama. Selain itu, gamelan wulung itu lalu diubah wilayah nada dan embat-nya sehingga sama dengan gamelan merah. Atas permintaan saya pula, penalaan seluruh nada gamelan itu (gamelan merah dan hitam) dilakukan oleh Bapak Widodo dari Desa Kadhokan, beserta seorang asistennya. Pada pagelaran wayang kulit purwa itu, kedua gamelan itu disusun seluruhnya (merah dan hitam) dan dimainkan bersama-sama.

Mbak Jean Marlon Tahitoe, saat sedang tidak nembang suluk Pesisir, sesekali memainkan gender panembung (slenthem), yang merupakan bagian dari gamelan Kyai Sekar Ganesa Lokananta.

Gamelan wulung milik PSTK-ITB itu, diberi julukan 'Kyai Sekar Ganesa Lokananta'. Gong ageng-nya seluruh permukaannya tidak ada yang di-gilap,[7]melainkan dibiarkan hitam seluruh permukaan logamnya. Menurut penjelasan Mas Asep Nata, di luar keraton, besar kemungkinan juga di seluruh dunia, hanya ada tiga gamelan yang dibuat berwarna hitam (wulung ataucemengan).

1) Gamelan wulung atau gamelan cemengan milik PSTK-ITB, bertangga-nada Slendro dan Pelog, kedua laras gamelan itu diberi julukan ‘Kyai Sekar Ganesa Lokananta’.

2) Gamelan wulung atau gamelan cemengan milik UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), Bandung. Gamelan bertangga-nada Slendro dan Pelog ini, diberi julukan ‘Sekar Ageng Kyai Fatahilah’.

3) Gamelan wulung atau gamelan cemengan milik USU (Universitas Sumatra Utara) di Medan. Gamelan yang bertangga-nada Slendro, diberi julukan ‘Kyai Mangungun’. Sedangkan yang bertangga-nada Pelog diberi julukan ‘Nyai Gudho-Sih’. Sayang sekali, kedua gamelan ini menurut kabar, telah raib (hilang) entah ke mana tak tentu rimbanya.

Pada sisi kiri di bawah ini, tampak beberapa pemakaian ricikan gamelan Kyai Sekar Ganesa Lokananta, saat dipakai latihan tembang suluk Pesisir. Tampak pada foto tersebut, Mas Lukman Samboja, Mas Bambang Sadarta, Mbak Ayu 'Kuke' Wulandari, Mbak Sherika, dan Mbak Vilda Sintadela.

Beberapa ricikan gamelan merah dan hitam milik PSTK-ITB, saat disimpan di salah satu ruang CC (Campus Center) ITB, ternyata juga dicuri orang. Pencurian dilakukan terhadap bilah-bilah ricikan wilahan. Mungkin karena wilahan (bilah) lebih mudah disembunyikan saat dibawa memakai tas atau ransel. Sayang sekali….

Gamelan merah milik PSTK-ITB, meskipun bukan merupakan gamelan yang dapat dikategorikan bagus, tetapi seperti pernah dikatakan oleh Mas Bambang Sadarta: “Gamelan merah itu merupakan sebuah legenda, dan sangat bersejarah bagi PSTK-ITB. Karenanya, perlu dilestarikan. Jika perlu, ya dilengkapi lagi, sehingga cukup memadai untuk diikut-sertakan dalam suatu pagelaran.” Saya setuju 100% dengan pendapat Mas Bambang Sadarta. Ini memang soal bagaimana menghargai sejarah dan tidak meninggalkannya begitu saja, setelah mendapat gamelan yang lebih baru.

Sedangkan gamelan wulung milik PSTK-ITB, saat ini sangat memerlukan perhatian, karena sudah memerlukan pemeliharaan dan penalaan ulang. Beberapa kempul  dan gong suwukan-nya mulai bergeser nadanya. Belum bergeser secara ekstrim, tetapi sudah mulai terasa berbeda. Ombak-ombakan  pada gong suwukan dan gong ageng-nya sudah waktunya dihidupkan kembali, supaya suaranya menjadi lebih mengalun dan kembali menyebarkan aura kebesarannya.

Di luar itu semua, mungkin memang sudah patut dipikirkan kembali, di mana dan bagaimana seharusnya penempatan gamelan merah dan hitam itu. Sebaiknya, memang dalam dua ruang yang saling berdekatan atau disatukan dalam satu ruang besar. Gamelan, layar wayang, kotak wayang, dan tempat latihan tari; meskipun semuanya hanya sekedar pelengkap kegiatan ekstra-kurikuler mahasiswa dan mahasiswi, sudah saatnya dipikirkan secara lebih serius. Menghargai dengan menempatkannya secara apik, ditata, dan diatur rapi dalam suatu ruangan besar yang memadai, mungkin bisa dimimpikan sejak sekarang. Tidak lagi sekedar menumpuk ricikan gamelan legendaris itu di gudang, dan membiarkannya tanpa tanggung-jawab yang jelas, saat mulai hilang satu persatu.

Sama dengan ‘wayang ukur’ generasi pertama, yang hanya ada satu-satunya di dunia dan sekarang tersimpan di PSTK-ITB. Maka, demikian pula gamelan wulung ‘Kyai Sekar Ganesa Lokananta’, yang sekarang sangat mungkin hanya ada tiga perangkat di seluruh dunia. Sudah saatnya benda-benda lama ini mendapat perhatian lebih dari kita semua, dan membuatnya kembali bersinar saat menapak abad 21…. Camkan itu baik-baik….!

Sebagai penutup, saya mengucapkan terima-kasih yang tak berhingga kepada sahabat kinasih saya, Mas Asep Nata, yang telah mengingatkan saya, memicu gagasan untuk menuliskan riwayat gamelan cemengan itu, dan menyumbangkan berbagai bahan tulisan serta penjelasan; termasuk koleksi foto pemakaian gamelan Kyai Mangungun dan Nyai Gudho-Sih, milik Universitas Sumatra Utara, tempat almamaternya dulu. Semoga sumbang-sihnya menjadi berguna untuk seluruh khalayak ramai. Sekali lagi terima-kasih untuk semuanya......



Sesekali menyenangkan juga memainkan gender barung sambil nembang suluk Pesisir bersama-sama, sambil bercengkerama, di ruang terbuka, misalnya di lapangan rumput di depan Aula Timur ITB, saat sore hari....


_____________________________

[1] Mas Ariyatno,  setahu dan seingat saya, sejak lulus ITB sampai sekarang, bekerja di Pabrik Gula Bunga Mayang, Lampung Utara, Sumatra Selatan.

[2] Bapak Samodra almarhum, merupakan salah seorang dosen pada Jurusan Mesin ITB, yang tidak saja ahli dalam bidang logam (metalurgi), tetapi juga sangat ahli dalam memainkan alat musik biola. Meskipun di kalangan para mahasiswa Jurusan Mesin ITB beliau termasuk salah seorang dosen yang terkenal ditakuti, tetapi kenyataannya setiap kali bertemu dengan para mahasiswa-mahasiswi anggauta PSTK-ITB (yang sebagian juga berasal dari Jurusan Mesin ITB), beliau merupakan seorang ‘bapak’ yang selalu bersikap hangat, terbuka, ramah, murah senyum, suka berbagai ilmu pengetahuan dan wawasan, serta jauh dari sikap ‘menakutkan’ seperti yang sering diceritakan oleh para mahasiswanya.

[3] Tentang jumlah ricikan balungan yang harus disediakan pada satu satu gamelan baru yang dikonsepkan, seingat saya seperti yang dijelaskan pada bahasan di atas. Ada kemungkinan riciannya sedikit berbeda, karena dokumentasi asli yang saya miliki tidak dapat ditemukan (tersimpan di hard disk komputer milik perusahaan dan tidak sempat dicopy).

[4] Mas Panggah, bertemu pertama kali dengan saya, saat saya sedang menyusun skripsi tentang pembuatan gamelan. Pertemuan berlangsung di ASKI (sekarang sudah berubah menjadi ISI) Surakarta, sekitar tahun 1980-an. Saat itu, Mas Panggah masih berstatus sebagai mahasiswa. Dalam diskusi pendek itulah tercetus bahwa bilah-bilah nada gamelan, nyatanya memang tidak bisa mewakili ‘balungan gendhing’ secara nyata, disebabkan oleh keterbatasan jumlah nada yang disediakan pada ricikan balungan. Beberapa tahun kemudian, saya membaca artikel tulisan Mas Panggah tentang hal yang sama ini, ditulis dalam Jurnal Masyarakat Musikologi Indonesia, Rahayu Supanggah, Balungan (Yayasan Masyarakat Musikologi Indonesia bekerja-sama dengan Duta Wacana University Press, Yogyakarta, Tahun I, No. 1, tahun 1990), hlm. 115 – 136.

[5] Pada saat proses penyusunan skripsidi antara tahun 1980 - 1983, saya secara khusus menyempatkan diri untuk berkunjung dan melakukan survei secara rinci tentang proses pembuatan gamelan di Desa Mbarat, Ngawi. Para pembuat gamelan di wilayah ini, hampir semuanya menguasai cara pembuatan gamelan kuningan dan perunggu muda, dengan cara dicor dan dicetak. Proses pembentukan rupanya dilakukan dengan hanya sedikit proses tempa. Proses penempaan, dilakukan hanya seperlunya, bukan dalam rangka melakukan proses pemadatan logam dan pembentukan, tetapi lebih tepat jika dikatakan sekedar proses merapikan bentuk semata. Penggunaan bahan remukan perunggu atau bahan perunggu yang sudah hancur (bekas gamelan yang sudah hancur atau bekas benda lain) yang dicampur logam kuningan, juga merupakan hal yang sejak lama lazim dilakukan para pembuat gamelan dari Desa Mbarat ini.

[6] Bandingkan dengan ‘gamelan ageng ’buatan masa kini, yang jumlah ricikan-nya memang cenderung ditambah dan bilah balungan ricikan-nya juga cenderung ditambah, seperti ‘gamelan wulung’  yang semula dikonsepkan.

[7] Bagian pencu gong ageng yang di-gilap (dibuat mengkilat dengan cara dikerok atau dikikir dan kemudian dihaluskan), lazim disebut berpola ‘padhang mbulan’.