Halaman

Kamis, 02 Oktober 2014

SUSTER MARIA DAN POHON PINUS....












Ini adalah dua cerita kenangan indah tak terlupakan, saat saya masih anak-anak dan tinggal di Kota Jember. Menyenangkan sekali saat saya mengenang kembali masa-masa indah pada waktu yang lalu, 52 tahun yang lampau. Pada masa kecil itu, saya mempunyai lima orang sahabat kecil. Semuanya laki-laki. Salah satu dari kelima sahabat kecil saya itu, berasal dari keluarga Tionghoa. Ia tinggal di sebelah rumah dinas orang-tua saya, di Jl. Arjuna, dekat stasiun kereta-api Jember. Empat orang sahabat kecil saya, berasal dari suku Jawa sebenarnya, hanya mereka dan seluruh keluarganya sudah lama tinggal di Jember. Empat orang sahabat kecil saya itu, semuanya lahir dan besar di Kota Jember. Karena tinggal di Kota Jember, maka kita semua fasih berbahasa Madura. Bahasa sehari-hari penduduk Kota Jember adalah bahasa Madura dan Jawa-Timuran. Kemana-mana, kami selalu pergi berenam. Ya begitulah...., kami termasuk 'gerombolan' anak-anak kecil, yang sebenarnya nakal, jail, tapi semuanya selalu kompak dan bersikap riang gembira....

Dua cerita ini, merupakan secuil kisah indah di jaman saya masih kecil dulu. Terjadi di sekitar tahun 1962. Pada masa itu,  saya menyelesaikan kelas 5 dan 6 di SR (Sekolah Rakyat) Katholik Maria Fatima, di Kota Jember. Dulu, ada seorang suster cantik dan masih muda, yang jadi wali kelas kami. Namanya suster Maria. Dan, suatu ketika, entah siapa yang mulai dan dari mana asalnya, saya tiba-tiba saja ingin sekali melihat apakah rambut suster nan cantik itu pendek, gundul, atau panjang. Entah dari mana asalnya, di kalangan kami, murid-murid kecilnya yang nakal, tersebar gosip, bahwa suster nan cantik ini kepalanya gundul. Kita, lalu bersepakat dengan sejumlah sahabat-sahabat kecil saya, memberanikan diri untuk menanyakan kepada suster cantik wali kelas kita itu. Dia, sambil tersenyum manis, lalu menjawab: "Yuk kita ke susteran ya. Ikut saya....."

Bangunan 'susteran' yang dimaksud, berada di sebelah gereja Katholik. Jadi, sebagai gambaran, jika kita melihat ke arah jajaran bangunannya, maka paling kanan adalah bangunan sekolah kami, di tengahnya ada gereja, lalu paling kiri adalah bangunan biara atau asrama biarawati, yang kami kenal dengan sebutan 'susteran'. Kita, lalu ramai-ramai mengikuti suster cantik itu ke susteran. Sesampainya di susteran, di suatu ruang yang sepi dan agak luas, di bagian depan bangunan susteran itu, sang suster cantik itu berhenti, membuka sedikit bagian samping kerudung (seperti "jilbab') kepalanya, dan menunjukkan kepada kami semua, bahwa dia punya rambut yang tak terlampau panjang, tetapi juga bukan amat sangat pendek (bukan gundul). Kita semua terbengong-bengong, saat melihat betapa suster nan cantik wali kelas kami itu, ternyata punya rambut yang cukup panjang. Kita semua serentak berteriak amat sangat keras: "Waaaaaaaa.......... ternyata gosip itu bohong.....! Bohooooong.....!"

Sang suster nan cantik itu terkejut. Tapi, segera ia membisikan: "Ssttttttt...... jangan berisik....!" sambil meletakkan telunjuknya di depan bibir, memberi tanda supaya jangan berisik. Lalu, ia bertanya pelan-pelan kepada kami semua: "Memangnya ada gosip apa....?" Lalu, beramai-ramai kami semua membuat 'pernyataan resmi' sambil tertawa-tawa: "Itu lo suster...., selama ini beredar gosip...., yang mengatakan katanya suster nggak punya rambut...." Sang suster nan cantik itu, masih sambil tersenyum berkata: "Ya sudah. Sekarang sudah tahu kan, bahwa gosip itu tidak benar. Sudah...., sudah..., sekarang kamu semua kembali ke kelas ya...." Saya dan sahabat-sahabat kecil saya, mengucapkan terima-kasih dan berlarian kembali ke kelas, sambil teriak-teriak: "Ternyataaaaaa..... gosipnya bohoooooong....!"


Peristiwa lain, yang menurut saya juga indah untuk dikenang, dan sampai sekarang masih saya ingat, adalah saya bersama-sama dengan sahabat-sahabat kecil saya, pernah memenangkan lomba Hari Natal. Padahal, saya beragama Islam dan bukan Kristen atau Katholik. Menjelang Hari Natal, di sekolah kami itu dilakukan lomba, membuat diorama suasana kelahiran Nabi Isa (Yesus Kristus). Temanya, 'Yesus di Palungan'. Saya waktu itu, punya kebiasaan ikut truk milik PN Perhutani, pergi ke hutan Sempolan, lalu pulangnya membawa arang kayu hutan. Di wilayah Sempolan itu, hutannya sebagian ada yang merupakan hutan pohon 'Pinus Merkusi', yang sudah tumbuh menjadi pohon pinus yang besar dan rindang. Nah, di hutan Sempolan itu, saya mencari buah pohon pinus yang sudah kering. Itu saya lakukan atas permintaan suster wali kelas saya (namanya suster Maria) dan seorang suster lain (namanya saya lupa, dia seorang wanita Belanda). Saya membawa sekeranjang besar buah pinus kering. Mungkin sekeranjang isinya ada sekitar lima-ratusan buah. Lalu, saya membawa serta juga beberapa tebangan pohon pinus hasil proses penjarangan hutan. Batang pohon pinus sisa hasil penjarangan ini sesuai permintaan suster, ada yang pendek (sekitar dua meter) ada juga yang panjang (sekitar 3 meter). Selain itu, saya juga membawa sekeranjang potongan kulit phon pinus. Semuanya diangkut pakai truk PN Perhutani ke sekolah. Sesampai di sekolah, seluruhnya diturunkan dan ditaruh di dalam ruang pertemuan.


Hari berikutnya, seluruh anak-anak dan beberapa orang-tua yang datang, pada berkumpul di ruang pertemuan besar itu. Di lantai, semuanya pada sibuk membuat diorama 'Yesus di Palungan' memakai bahan-bahan dari hutan itu. Tak terasa, pekerjaan itu dilakukan sampai siang hari. Menjelang sore hari, semua pekerjaan sudah selesai. Dan, mulailah kita semua menata hasil kerja kita di atas meja-meja panjang, berjajar-jajar. Semuanya menurut saya cantik-cantik dan indah. Sementara, di ujung dalam ruangan pertemuan itu, para suster beramai-ramai menyesaikan pembuatan pohon natal, memakai batang pohon pinus yang ukurannya sekitar tiga meter. Dari jauh, kelihatan indah sekali. Apalagi, pohon natal itu setelah selesai, dihias dengan bermacam ragam hiasan natal, berbentuk bintang kecil, bola-bola kristal warna-warni, lampu kedip, serta pita-pita berwarna.

Besok harinya, pas hari Minggu. Semua peserta dan orang-tuanya, berkumpul di ruang pertemuan yang sudah berubah menjadi ruang pameran. Ruang itu sekarang penuh dengan pengunjung, orang-tua dan anak-anak. Semarak sekali. Saya dan sahabat-sahabat kecil saya, seperti biasa, dengan gembira berjalan berkeliling melihat-lihat hasil kerja kami semua, sambil sibuk membincangkan karya masing-masing. Menurut saya, yang paling bagus adalah pohon natal besar hasil karya para suster guru-guru sekolah kami. Begitu pula kata sahabat-sahabat kecil saya. Jadi, kami semua lalu bersepakat menemui para suster itu, dan memberi selamat: "Suster... suster... Selamat ya. Pohon natal besarnya cantik sekali......" Para suster itu dengan tersenyum manis menjawab: "Yaaaaa.... terima-kasih yaaa anak-anak.... Tapi, pohon natal besar itu, tidak akan diikut-sertakan dalam lomba. Karena, pembuatnya bukan anak-anak lagi...." Begitu, jawab para suster-suster cantik itu sambil tertawa beramai-ramai. "Jadi, yang bisa dinilai adalah, yang buatan anak-anak..... Lagian, pohon natal itu kan tak sesuai dengan tema lomba. Temanya kan 'Yesus di Palungan'. Sedangkan pohon natal besar itu kan tidak menampilkan seperti tema itu....." Saya dan sahabat-sahabat kecil saya, saling melihat dan memandang karya masing-masing lalu berganti melihat pohon natal yang besar dan indah itu. Jadi, selama kita membuat dan mengerjakan karya masing-masing itu, kita sebenarnya sama sekali tak ingat lagi, tema yang digunakan sebagai syarat lomba....

"Ya sudahlah....," beberapa sahabat kecil saya nyeletuk. "Terima-kasih suster.....!" kami semua bersama-sama meneriakkan kalimat itu, lalu berlari-lari menuju pintu dan keluar dari ruang pertemuan itu. Lalu, kami seperti biasa, kembali kepada kebiasaan lama, yaitu bermain di sekitar gereja dan bangunan susteran. Minggu siang, saat saya dan sahabat-sahabat kecil saya sedang sibuk bermain di sekitar gereja, tiba-tiba seorang suster memanggil kami. Di dalam ruang pertemuan, ternyata telah dilakukan proses penilaian. Sebenarnya, saya dan sahabat-sahabat kecil saya, sama sekali tidak perduli dengan soal penilaian itu. Karena, kami semua lebih sibuk dengan permainan di luar gereja, yang tiba-tiba saja terpotong. Lagi pula, ada banyak kriteria penilaian yang dibacakan para suster. Kami semua tak begitu memperhatikan, sampai suatu saat saya dan 'tim kerja' kami dipanggil untuk tampil ke depan. Semula, kami semua saling melihat saja, tak tahu apa yang terjadi. Tapi, beberapa orang-tua lalu menarik tangan-tangan kecil kami, dan berkata: "Ayo cepetan ke depan.... itu dipanggil suster....." Kami, lalu beramai-ramai berjalan ke depan. Semua mata pengunjung, melihat dan mengikuti jalan kami. Ada sekitar lima orang yang bersama-sama saya saat itu. Sesampai di depan, kami berenam berdiri berjajar menghadap ke seluruh pengunjung. Lalu, seorang suster menyampaikan pengumuman, yang menyatakan bahwa tima kami menjadi pemenang lomba 'Yesus di Palungan'..... Saat mendengar pengumuman itu, kami semua terkejut dan hanya berdiam saja, karena benar-benar tidak siap. Tapi tiba-tiba saja, entah apa yang terjadi, kami berenam mendadak sontak berteriak gembira: "Horeeeeee..... kita menang....! Hoooorreeee....menaaaaang.....!" sambil berloncatan di tempat. Setelah diberi salam oleh para suster dan para penunjung, kami semua dengan masih tetap berloncatan, berlari-lari keluar ruang dengan gembira. Di depan pintu besar ruang pertemuan itu kami semua berteriak-teriak: "Kita menaaaaang....! Kitaaaa menaaaaang...!" Hari Minggu itu, tiba-tiba saja menjadi hari gembira yang tak pernah lagi terlupakan sepanjang hayat saya......




Saat semuanya usai, pas saya pulang bersama-sama sahabat-sahabat kecil saya, barulah saya terpikir dan menanyakan kepada sahabat-sahabat kecil saya: "Bagaimana bisa yaaa....? Di antara kita berenam, yang beragama Kristen kan hanya seorang. Lima orang di antara kita, kan beragama Islam. Kok kita bisa memenangkan lomba 'Yesus di Palungan' itu ya....?" Pertanyaan itu akhirnya tenggelam begitu saja ke dalam rutinitas kegiatan sehari-hari sebagai anak-anak yang menyenangkan....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar