Halaman

Selasa, 30 September 2014

GAMELAN PERUNGGU WULUNG, KYAI SEKAR GANESA LOKANANTA

Perangkat kempul, gong suwukan, dan gong ageng yang merupakan kelengkapan gamelan wulung 'Kyai Sekar Ganesa Lokananta'


Pagi-pagi buta, menjelang sekitar pukul empat, beberapa hari yang lampau, tiba-tiba saja saya bertemu dengan seorang sahabat kinasih saya, Mas Asep Nata melalui media ‘chatting’  di facebook.  Sebuah pertemuan di facebook yang tak terduga-duga, tiba-tiba saja menyeruakkan kembali segala ingatan dan kenangan masa lampau, saat saya masih berstatus mahasiswa dan sedang menyelesaikan skripsi tentang pembuatan gamelan. Seakan-akan seperti memutar ulang waktu, seperti kembali melakukan perjalanan kembali menapaki desa-desa pedalaman di sekitar Jatiteken dan Kadhokan (kedua desa ini berada di sebelah timur Kota Surakarta). Masih terbayang, bagaimana embun pagi dengan kabut tipis menggantung di wilayah persawahan dan kebun tebu yang luas di wilayah sebelah timur Bengawan Solo. Sementara saya melakukan perjalanan kembali setiap pagi, ke desa-desa itu, untuk menemui para 'panji' pembuat gamelan yang menjadi guru saya. Saat Mas Asep Nata bercerita tentang perjalanan hidupnya, yang ternyata sangat mirip saya, yaitu belajar membuat gamelan, seakan-akan semuanya membayang kembali seperti baru terjadi hari kemarin saja.....

Lalu, mendadak topik pembicaraan menyinggung soal 'gamelan wulung' atau 'gamelan cemengan'. Ingatan saya, tiba-tiba saja bagaikan tersambar halilintar, saat Mas Asep Nata menanyakan kepada saya nama julukan gamelan wulung milik PSTK-ITB. Apa ya nama julukannya? Saat itu, selintas yang saya ingat gamelan hitam itu dijuluki 'Kyai Ganesa Lokananta'. Tetapi beberapa hari kemudian, setelah saya periksa di ruang latihan PSTK-ITB, ternyata julukan lengkapnya adalah 'Kyai Sekar Ganesa Lokananta'. Salah satu bagian dari gamelan itu, yang selalu saya ingat, adalah bentuk ular naga yang merupakan ukiran hiasan yang terletak di atas gayor gong. Bentuk rupa hiasan ular naga pada gamelan ini, saya kira tidak ada duanya di dunia, karena bentuknya berupa sepasang ular naga lengkap dengan kulitnya yang bersisik dan tubuh yang meliuk-liuk, tetapi berkepala gajah (ganesa). Kedua hiasan ular naga ini, posisinya saling membelakangi. Aneh sekali....!

Seluruh ingatan saya perlahan-lahan seperti hidup kembali. Seluruh bayang-bayang masa lampau itu tiba-tiba seperti hidup kembali. Membangun wujudnya, seakan-akan semuanya baru terjadi hari kemarin.  Semuanya bermula dari sekitar tahun 1980-an. Di suatu siang, sekitar pukul dua (selepas makan), saat saya sedang bekerja di pabrik, mendadak kedatangan serombongan tamu, sejumlah anggauta pengurus PSTK-ITB, yang saat itu dipimpin oleh seorang mahasiswi, yaitu Mbak Tya. Tentang Mbak Tya ini, saya selama ini mengira bahwa ia adalah ketua PSTK-ITB. Tetapi setelah saya periksa di dokumentasi PSTK-ITB beberapa hari yang lampau, ternyata pada masa itu tidak ada ketua PSTK-ITB yang seorang wanita (mahasiswi). Jadi kemungkinan Mbak Tya adalah koordinator umum, atau semacam itulah jabatannya di PSTK-ITB. Saya hanya mengingat namanya 'Tya'. Bahkan, saya tak pernah tahu nama lengkapnya! Puluhan tahun saya hanya mengingat nama 'Tya' itu. Saya juga tidak pernah mengingat, siapa yang menemani dan bersama dengan Mbak Tya, saat datang menemui saya di kantor.


Pada pertemuan dengan saya, Mbak Tya dan sejumlah rekannya (semua memperkenalkan diri sebagai anggauta PSTK-ITB) menyatakan bahwa mereka bermaksud mendiskusikan konsep sebuah ‘gamelan baru’ untuk PSTK-ITB, yang menurut mereka sedang direncanakan untuk dipesan pembuatannya. Saat itu, saya bertanya: “Apakah sudah ada konsepnya?” Jawab mereka: “Belum ada. Karena itulah kami berkunjung ke Pak Bram.” Demikianlah awal pembicaraan siang itu. Sayang sekali saya lupa hari dan tanggal tepatnya. Satu-satunya yang saya ingat, pertemuan itu dilaksanakan diruang kerja saya, di lantai 3 gedung baru PT Radio Frequency Communication (PTRFC), tempat saya bekerja. Hari sudah sore, saat pertemuan itu diakhiri. MbakTya sebelum pulang mengajukan permintaan kepada saya untuk memikirkan dan menyusunkan sebuah konsep gamelan baru untuk PSTK-ITB. Saya tertegun sejenak mendengar permintaan itu, tetapi akhirnya saya sepakat untuk membuatkan konsep tentang gamelan baru itu. Saat itu saya meminta waktu kira-kira seminggu untuk menuliskannya secara lengkap, dengan perjanjian nanti di minggu depan akan dilakukan pertemuan kembali untuk mendiskusikan konsep yang saya susun.

Setelah selama seminggu dipikirkan, akhirnya jadilah konsep gamelan baru untuk PSTK-ITB itu. Gagasannya, dimulai dari situasi dan kondisi nyata PSTK-ITB saat itu, yaitu anggauta baru biasanya banyak, tetapi pelatih karawitan terlalu sedikit. Sebagai gambaran latar belakang, untuk melatih karawitan para mahasiswa-mahasiswi ITB, dulu PSTK-ITB sampai perlu mendatangkan pelatih dari luar. Misalnya, untuk pelatih karawitan para mahasiswa-mahasiswi PSTK-ITB dilatih oleh Bapak Ragil Suripto; untuk kegiatan ‘wayangan’, dilatih oleh Bapak Rono Suripto; sedangkan untuk ‘beksa’ (tari) dilatih oleh Mas Nuryantoro. Hal itu, sudah berlangsung agak lama. Setahu saya, sudah berlangsung sejak sekitar tahun 1970-an, sampai menjelang tahun 1980-an. Sedangkan gamelan yang saat itu dipakai PSTK-ITB, adalah gamelan yang oleh para anggauta PSTK-ITB lebih dikenal dengan sebutan ‘gamelan merah’ (karena ‘rancak’-nya berwarna merah). Gamelan ini, dulunya tidak berwarna merah, tetapi berwarna biru tua. Sebagian besar ricikan  gamelannya dibuat menggunakan bahan besi pelat drum bensin yang relatif agak lebih tebal pelat besinya. Gamelan ini, dulunya dipesan dan dibuat oleh para pembuat ‘gamelan tosan’ (gamelan besi) dari Desa Loceret, yang lokasinya sedikit ke arah selatan dari Kota Nganjuk, Jawa Timur.


Perangkat ricikan kethuk, kempyang, dan kenong; yang merupakan bagian dari gamelan Kyai Sekar Ganesa Lokananta.

Selain menggunakan gamelan merah itu, para anggauta PSTK-ITB juga sering berlatih karawitan menggunakan gamelan perunggu gaya Yogyakarta, milik Bapak Windu almarhum, yang tempat tinggalnya di Jalan Sumur Bandung (lokasinya di belakang Kampus ITB). Saat itu, bisa dikatakan Bapak Windu berperan sebagai ‘orang yang dituakan’ di antara para anggauta muda PSTK-ITB. Sebagian besar anggauta PSTK-ITB saat itu, senang berlatih menggunakan gamelan perunggu milik Bapak Windu almarhum, karena suara dan laras-nya bagus. Dalam ingatan saya, ‘gegedhug’anggauta PSTK-ITB yang seringkali mengajak para anggauta lain untuk berlatih menggunakan gamelan perunggu milik Bapak Windu, adalah Mas Ariyatno (Jurusan Mesin ITB, angkatan 1970-an), yang lebih terkenal dengan sebutan ‘Simbah Ariyatno’.[1] Jadi, ringkasnya pada masa itu, para anggauta PSTK-ITB bolehlah dikatakan berlatih karawitan memakai dua gamelan, yakni gamelan merah milik PSTK-ITB dan gamelan milik Bapak Windu almarhum.

Bilah-bilah gambang 'gamelan merah' ini selamat dari pencuri, karena seluruh bilah-bilahnya dibuat dari kayu......

Kembali kepada ‘gamelan merah’ yang legendaris. Gamelan itu, seperti telah disinggung di atas, dulunya berwarna biru tua. Sebagai informasi, warna resmi ITB yang disepakati saat itu untuk berbagai keperluan resmi (seragam, jaket, tas, logo, dan sebagainya) adalah warna biru tua. Pada suatu hari Minggu, saya berkunjung ke tempat latihan PSTK-ITB di depan ruang Aula Barat, dan memandangi gamelan milik PSTK-ITB yang berwarna biru tua itu. Dalam pandangan saya, gamelan itu terlihat kusam, tak bercahaya, dan terlihat suram. Saat itu, saya nyeletuk: “Gamelan kok berwarna biru tua, seperti gamelan milik penjara saja.”  Lalu saya saat itu tiba-tiba saja mengusulkan untuk mengubah warna gamelan itu. Saya mengusulkan untuk mengubahnya menjadi berwarna merah dengan ragam hiasnya berwarna emas (bronze). “Supaya terlihat lebih cemerlang….,” begitu argumentasi saya saat itu.  Ternyata usulan saya disetujui pengurusPSTK-ITB, dan beberapa hari kemudian beberapa kaleng cat Duco berwarna merah darah (berwarna standar ‘red signal’), minyak Thinner, beserta sejumlah kuas sudah tersedia di ruang latihan itu.Lalu, selama tidak lebih dari dua hari, beramai-ramai para anggauta PSTK-ITB mengecat seluruh rancak gamelan itu dan mengubahnya menjadi berwarna merah. Sedangkan ragam hiasnya dicat warna emas. Sejak itulah, gamelan yang legendaris itu lalu disebut sebagai ‘gamelan merah’.

Gender barung laras Slendro, yang merupakan ricikan yang paling saya sukai, sebagai pengiring saat melakukan latihan tembang suluk Pesisir. Suaranya yang merdu, bagaikan bisa mempengaruhi seluruh emosi dan perasaan....

Seperti sudah disinggung diatas, gamelan merah yang legendaris itu, sebagian besar menggunakan bahan lempengan besi pelat bekas drum bensin untuk sejumlah kempul, gong suwukan, dan gong ageng-nya. Sedangkan bilah-bilah balungan dan gender-nya memakai lempengan logam pelat kuningan(brass). Seingat saya, Simbah Ariyatno-lah yang punya gagasan untuk lebih melengkapi dan menggantikan sebagian ricikannya yang dibuat dari pelat besi dengan kuningan atau perunggu. Tetapi, dana PSTK-ITB saat itu, ternyata tidak mencukupi. Meskipun demikian, dengan usaha keras, akhirnya dana yang diperlukan didapatkan juga. Dan, hasilnya, sebagian ricikan gamelan merah itu, termasuk sejumlah kempul dan gong suwukan, lalu diganti menggunakan kuningan cor dan tempa buatan Desa Mbarat, yang lokasinya sedikit di sebelah tenggara Kota Ngawi, Jawa Timur. Saya sendiri sudah lupa, apakah bahan gamelan pengganti itu berbahan dasar kuningan atau perunggu. Tetapi yang saya ingat, adalah gagasan mengganti bahan besi dengan bahan kuningan itu dilakukan dengan harapan supaya gamelannya agak terlihat seperti perunggu.

Pada deretan foto di sebelah kiri teks di bawah ini, diperlihatkan foto-foto gamelan Kyai Mangungun dan Nyai Gudho-Sih (Sumber: Foto koleksi Mas Asep Nata).


Pada masa itu, Pakdhe Dwi Hardjito juga sedang giat-giatnya melakukan penelitian nada gamelan (untuk keperluan studinya di Jurusan Mesin ITB), dan saya ingat benar, pada suatu pagi saat saya pergi ke ruang latihan PSTK-ITB yang di Aula Timur, tiba-tiba saja saya melihat ada potongan besar blok timah putih. Ukurannya besar dan berat sekali. “Kiriman dari Jakarta, sisa bahan penelitian,” begitu kata Pakdhe Dwi Hardjito kepada saya saat itu. Bahan timah putih itulah yang oleh Simbah Ariyatno dibawa be Mbarat, Ngawi untuk membuat ricikan perunggu. Saya juga masih ingat kata-kata Simbah Ariyatno: “Bahan ini nggak cukup Bram. Kurangnya masih banyak,” begitu katanya. Berdasar penjelasan Simbah Ariyatno itulah saya lalu menyakini, bahwa sebagian dari pesanan ricikan gamelan dari Mbarat itu tidak semuanya berbahan perunggu. Lepas dari persoalan mana yang benar (mungkin hanya Simbah Ariyatno yang bisa menjelaskan secara rinci tentang hal ini), tetapi nyatanya sejak itu gamelan merah menjadi semakin semarak warnanya, karena hampir semuanya lalu berwarna kuning berkilau. Saya tetap meyakini, dengan segala kecanggihan dan upayanya, Simbah Ariyatno berusaha melengkapi ricikan gamelan PSTK-ITB sehingga secara keseluruhan menjadi terlihat lebih anggun, karena berwarna ‘seperti perunggu’. Mungkin saja, karena bahan timah putihnya memang sangat kurang jumlahnya, maka ricikan gamelan yang berasal dari Mbarat itu berbahan dasar ‘perunggu anom’ (perunggu muda), yang mungkin juga dicampur bahan kuningan, untuk mencukupi seluruh pesanan PSTK-ITB. Seingat saya, bahan timah putih itu hanya cukup untuk membuat ricikan peking, saron racik, gong suwukan, dan kempul. Sampai sekarang, untuk bonang barung dan bonang penerus,masih tetap menggunakan bahan besi pelat dengan pencu yang dibuat dari lempeng kuningan. Antara badannya yang memakai bahan lempengan besi bekas drum bensin dan pencunya yang berbahan lempeng kuningan, digabungkan dengan cara dikeling. Hal ini pula yang berakibat jika bonang itu ditabuh agak keras, seringkali kelingnya yang menjadi longgar dan lalu terjadi suara bergetar (berbunyi‘theeer’). Untuk ‘mengelabui’ mata orang yang melihat, bagian dari ricikan gamelan yang dibuat dari lempeng besi ini dicat menggunakan cat bronze warna emas (kuning tua).

Selama bertahun-tahun kemudian, PSTK-ITB berkiprah dalam berbagai pagelaran memakai gamelan merah yang seluruh wilahdan pencon-nya berwarna kuning emas bagaikan perunggu. Di antara semuanya itu, sebuah kempul laras slendro nada barang (nada 1) tetap dipertahankan sebagai ‘perunggu wulung’. Kempulini, mempunyai nada yang sangat bagus dan terbukti sangat stabil nadanya. Dari sejak awal, gamelan merah itu memang dirancang untuk pengiring wayangan.  Gamelan ini juga terkenal sebagai gamelan yang menggunakan wilayah nada yang relatif tinggi, yang menerapkan ‘embat mucuk bung’Embat ini, merupakanembat khas wayangan. Gamelan merah yang ber-laras Slendro, sangat bagus dan sesuai untuk memainkan gendhing-gendhing Pathet Manyura. Sedangkan ricikan-nya yang ber-laras Pelog, sangat bagus dan sesuai untuk memainkan gendhing-gendhing Pathet Lima. Ini merupakan komposisi kompromis yang sangat khas wayangan.

Kembali kepada gamelan PSTK-ITB yang berwarna hitam. Setelah bertahun-tahun menggunakan ‘gamelan merah’, akhirnya PSTK-ITB mulai memikirkan perlunya sebuah gamelan yang lebih baik mutunya. Dan, seperti sudah saya singgung di atas, akhirnya tulisan yang berisi konsep 'gamelan baru' itu saya selesaikan dalam waktu seminggu. Pada minggu berikutnya Mbak Tya dan sejumlah anggauta pengurus PSTK-ITB berkunjung kembali ke tempat kerja saya. Sore itu, saya jelaskan seluruh konsepsi tentang gamelan baru itu, termasuk berbagai argumentasinya. Di antaranya sebagai berikut.

1) Gagasan membuat ‘gamelan perunggu wulung’ (juga dikenal dengan sebutan ‘gamelan cemengan), didasarkan atas hasil diskusi saya dengan Pak Samodra almarhum (pembina PSTK-ITB saat itu)[2]yang menyatakan bahwa gamelan perunggu yang tidak ‘digilap’ (tidak dikerok atau dikikir permukaan logamnya, sehingga tidak terlihat berkilau), akan mempunyai kestabilan nada yang jauh lebih baik. Hal ini disebabkan ketegangan permukaan logam (metal surface stress) yang dihasilkan, akan jauh lebih rendah (lebih kecil), jika dibandingkan dengan gamelan perunggu yang digilap.

2) Jumlah ricikan balungan diperbanyak, baik jumlah maupun jumlahnya. Dalam konsep yang saya susun, ricikan saron panembung (demung) dibuat empat pasang (slendro dan pelog), ricikan saron barung dibuat tujuh pasang (slendro dan pelog), ricikan saron penerus dibuat tujuh pasang (slendro dan pelog), dan ricikan saron racik (saron kembangan) dibuat empat pasang (slendro dan pelog). Selain itu, saya minta untuk dibuatkan ricikan ‘saron gender’(seperti pada gamelan Bali) sebanyak dibuat empat pasang (slendro dan pelog).[3]

3) Semua bilah ricikan balungan yang bertangga-nada slendro, dimulai dari nada 5 (nada bawah/rendah) dan diakhiri dengan nada 2 (nadatinggi/atas). Jadi, susunan bilah nadanya yang bertangga-nada slendro, terdiri dari nada-nada 5, 6, 1, 2, 3, 5, 6, 1, 2 (sembilan nada). Sedangkan bilah ricikan balungan yang bertangga-nada pelog, selain dimulai dari nada 5 (nada bawah/rendah) dan diakhiri dengan nada 2 (nada tinggi/atas); juga menerapkan bilah ganda nada 1 (bem) dan 7 (barang). Sehingga susunan bilah-bilah nadanya menjadi 5, 6, 7, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 1, 2 (duabelas nada) atau sekurang-kurangnya 5, 6, 7, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 1 (sebelas nada).  Susunan bilah nada seperti ini, pada masa itu sangat tidak lazim, karena susunan bilah nada yang lazim pada ricikan balungan bertangga-nada slendro adalah 1, 2, 3, 5, 6, 1, 2 (tujuh nada). Sedangkan susunan bilah nada pada ricikanbalungan bertangga-nada Pelog adalah  1, 2, 3, 4,5, 6, 7 (tujuh nada). Penjelasan mengapa susunan bilah nada yang agak aneh itu yang dipilih, dulunya dipicu oleh sebuah tulisan artikel pendek yang ditulis oleh Mas Panggah, yang menjelaskan bahwa jumlah bilah nada pada ricikan gamelan yang standar (baku, tujuh nada) dan sangat terbatas, sebenarnya tidak bisa mewakili seluruh nada yang diperlukan untuk memainkan ‘balungan gendhing’.[4]Sedangkan argumentasi yang saya ajukan pada saat itu adalah sebagai berikut.

  • Gendhing-gendhing yang menggunakan Laras Slendro Pathet Nem dan Pathet Sanga, sering diakhiri dengan gong bernada 5 (rendah/bawah). Sedangkan gendhing-gendhing Laras Slendro Pathet Manyura, sering diakhiri dengan gong bernada 6 (bawah/rendah). Karena itu, nada terrendah pada ricikanbalungan berlaras Slendro, sebaiknya juga disesuaikan untuk keperluan tersebut, yaitu disediakan nada 5 dan 6 (rendah/bawah).
  • Gendhing-gendhing yang menggunakan laras Pelog Pathet Lima, sering diakhiri dengan gong bernada 5 (rendah/bawah). Gendhing-gendhing yang menggunakan laras Pelog Pathet Nem dan Pathet Barang, sering diakhiri dengan gong bernada 6 (bawah/rendah). Karena itu, nada terrendah pada ricikan balungan  berlaras Pelog, sebaiknya juga disesuaikan untuk keperluan tersebut, yaitu disediakan nada 5 dan 6 (rendah/bawah).
  • Khusus untuk ricikan balungan  bertangga-nada Pelog, disediakan nada 1 (bem) dan 7 (barang) pada dua oktaf yang berbeda, sesuai dengan permainan gendhing. Dengan demikian, jika misalnya hendak memainkan suatu susunan nada (mengarah ke gong) yang notasinya 2327 3276, maka nada 7 yang dibunyikan bukan merupakan nada 7 tinggi (atas) melainkan nada 7 bawah (rendah). Dengan demikian susunan nada yang dihasilkan, akan lebih mewakili susunan nada balungan gendhing. Demikian juga jika misalnya hendak memainkan suatu susunan nada tinggi 3561 6516, maka nada 1 (bem) yang dimainkan pada susunan nada ini tidak menggunakan nada 1 rendah atau bawah.
4) ‘Gamelan wulung’ atau ‘gamelan cemengan’, pada masa itu tidak pernah ditemukan keberadaannya di luar keraton (Yogyakarta dan Surakarta).

5) Kelengkapan gamelan seperti yang dikonsepkan itu, pada masa itu belum pernah ada yang merealisasikannya. Dengan demikian, diharapkan ITB akan merupakan lembaga pertama (mungkin juga pertama di dunia) yang memiliki gamelan ageng yang lengkap seperti itu.

6) Konsep utama yang diterapkan, yakni memperbanyak jumlah ricikan balungan, adalah dengan tujuan supaya bisa mengakomodasi sebanyak mungkin peserta pelatihan karawitan dasar secara bersama-sama, dengan seorang instruktur/pelatih. Harap dicatat, pada masa itu persoalan pelatih karawitan yang mumpuni dan menguasai banyak bidang, merupakan salah satu persoalan serius yang sukar diatasi oleh PSTK-ITB, disebabkan oleh kelangkaannya.

Konsep gamelan baru PSTK-ITB itu kemudian saya serahkan kepada Mbak Tya dan tim kerjanya. Lalu, tahun berganti tahun, kepengurusan PSTK-ITB pun juga berganti. Beberapa tahun kemudian, gamelan wulung itupun jadi. Menurut Mas Asep Nata, gamelan itu dibuat oleh Pak Tentrem, dari Bekonang. Namun, harap dicatat, bahwa berdasar usulan saya, dulunya gamelan wulung itu saya usulkan untuk dibuat di dua tempat yang berbeda, dengan pertimbangan sebagai berikut.

  • Ricikan yang berbentuk ‘bunderan’ (bonang, kethuk, kenong,kempul, dan gong) seluruhnya diusulkan untuk dibuat di ‘besalen’milik Bapak Wignya Rahardjo di Desa Jatiteken, yang lokasinya di sebelah selatan Bekonang. Argumentasinya, Bapak Wignyo merupakan spesialis pembuat ricikan bunderan yang bagus dan bermutu tinggi.
  • Ricikan yang berbentuk ‘wilahan’ (gender, saron, demung,slenthem, saron gender, peking) seluruhnya diusulkan untuk dibuat di ‘besalen’ milik Bapak Widodo, di Desa Kadhokan, yang lokasinya di sebelah timur Grogol (di sebelah timur Bengawan Solo). Argumentasinya, Bapak Widodo merupakan spesialis pembuat ricikan wilahan yang bagus dan bermutu tinggi.
  • Bapak Wignyo Rahardjo dan Bapak Widodo, merupakan dua orang sahabat dekat, dua-duanya merupakan ‘panji gamelan’ (ahli membuat gamelan) yang sangat berpengalaman, dan dalam setiap kali pembuatan gamelan selalu bekerja-sama, sesuai keahlian masing-masing. Hasil kerja keduanya, terkenal sangat bagus dan bermutu tinggi, meskipun dari segi harga mungkin agak sedikit lebih mahal. Selain itu, kedua orang ini merupakan ‘guru’ saya yang  banyak memberikan pengetahuan tentang pembuatan gamelan dan segala seluk-beluknya.

Di luar ‘hubungan murid dan guru’ (saya dan kedua beliau itu) itu, terus terang saja pilihan atas keduanya juga atas usulan Simbah Ariyatno, yang pertama kali memperkenalkan kedua beliau ini (Bapak Wignyo Rahadjo dan Bapak Widodo) dengan saya. Selain itu, pada masa itu banyak terjadi penipuan pembuatan gamelan. Banyak pesanan gamelan yang seharusnya dibuat dari bahan perunggu, tetapi nyatanya dibuat dari kuningan atau perunggu muda (kebanyakan merupakan campuran pecahan logam perunggu bekas dengan kuningan). Nyatanya, orang yang bukan ahli atau tidak terbiasa dengan karakter khas perunggu, akan sangat mudah tertipu (mengira gamelan-nya memakai bahan perunggu, padahal memakai kuningan). Dan, harus diakui saja, pembuat gamelan di Pulau Jawa (mungkin juga di seluruh Indonesia) yang paling ahli dalam membuat ‘gamelan yang seakan-akan perunggu’ dan dibuat berbasis gabungan atau campuran bahan kuningan dan perunggu ‘ancuran’, sehingga menjadi ‘perunggu muda’ adalah para pembuat gamelan dari Desa Mbarat, Ngawi.[5]Pilihan atas kedua beliau ini, juga didasarkan atas kepeceryaan saya kepada keduanya, setelah saya melihat dan tinggal selama beberapa bulan di sana, menunggui seluruh proses pembuatan gamelan dari sejak awal sampai seluruhnya selesai. Sebagai catatan tambahan, saya sempat berguru cukup lama dan mendalam tentang berbagai hal yang berhubungan dengan proses pembuatan gamelan, filosofi, berbagai ritual, dan tata-caranya, kepada Bapak Prawiro, seorang'panji sepuh' ahli pembuat gamelan, yang merupakan ayahanda Bapak Wignyo Rahardjo.

Entah apa yang terjadi, prosesnya saya tidak mengikuti, beberapa tahun kemudian, gamelan hitam itu pun selesailah dan akhirnya dikirim ke PSTK-ITB. Informasi pertama yang saya dapat, adalah bahwa kelengkapan gamelan itu ternyata meleset jauh dan sangat berkurang dari jumlah yang semula direncanakan. Pada saat pertama kali saya melihat gamelan baru itu, kesimpulan saya adalah sebagai berikut.

1) Pengurus PSTK-ITB berikutnya (bukan pengurus PSTK-ITB yang menyusun konsepnya bersama saya) besar kemungkinan sama sekali tidak memahami konsep gamelan baru yang direncanakan. Juga sama sekali tidak memahami tujuan utama pembuatan gamelan baru itu, yang sebenarnya direncanakan secara khusus untuk mempermudah dan memperlancar proses kaderisasi pengrawit muda.

2) Wilayah nada gamelan baru itu, terlampau rendah; demikian pula penerapan embat-nya. Karenanya, hanya cocok untuk pengiring pagelaran klenengan dan tari; tetapi sangat tidak memadai (tidak cocok) untuk pengiring pagelaran wayang.

3) Jumlah dan kelengkapan ricikan balungan gamelan baru itu, menjadi standar dan sama saja dengan gamelan ageng lainnya. Memang tetap ada kekhususannya, yaitu merupakan ‘gamelan wulung’ atau ‘gamelan cemengan’. Tetapi kekhasannya yang amat sangat luar biasa, yang disebabkan ketidak-lazimannya sama sekali lenyap.

4) Jumlah bilah ricikan balungannya, diubah menjadi sangat baku (standar), sehingga bukan lagi merupakan ‘gamelan masa depan’ yang bersifat‘ luar biasa’ (extra ordinary), tetapi menjadi gamelan biasa (ordinary).[6]

Apa boleh buat, itulah yang terjadi; dan saya bersama sejumlah sahabat hanya bisa ‘menerima apa adanya’ dan tidak bisa berbuat apa-apa. Satu sisi, ada juga kegembiraan karena menerima gamelan baru. Tetapi di sisi yang lain ada juga penyesalan, karena gamelan baru itu sangat berbeda dengan yang dimimpikan. Memang menjadi  runyam urusannya, jika pemesan gamelan ternyata dilakukan oleh orang yang tidak tahu untuk apa gamelan itu direncanakan dan lebih fatal lagi, tidak tahu bagaimana sebenarnya konsep gamelan yang dikehendakinya itu. Tentu saja pembuat gamelan tidak bisa disalahkan, sebab ia hanya bekerja sesuai pesanan. Sejauh ini, memang tidak pernah ada penjelasan resmi, bagaimana duduk masalah yang sebenarnya, dan mengapa sampai terjadi perubahan yang sedemikian drastis dan benar-benar jauh meleset dari konsep awalnya. Tetapi, besar kemungkinan penyebab utamanya adalah ketidak-tahuan dan/atau ketidak-pahaman akan konsep gamelan itulah yang menjadi penyebab utamanya. Sekali lagi, apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur, dan memang tak ada gunanya menyesalinya....

Pada sekitar tahun 2003, sesaat sebelum dilakukan pagelaran wayangan dalam rangka tanggap warsa PSTK-ITB, gamelan wulung milik PSTK-ITB itu di-laras (ditala ulang). Sesuai permintaan saya, penalaan ulang dilakukan dengan cara menyamakan wilayah nada gamelan hitam itu dengan wilayah nada gamelan merah. Dengan demikian, maka seluruh ricikan gamelan merah dan hitam, bisa dimainkan bersama-sama. Selain itu, gamelan wulung itu lalu diubah wilayah nada dan embat-nya sehingga sama dengan gamelan merah. Atas permintaan saya pula, penalaan seluruh nada gamelan itu (gamelan merah dan hitam) dilakukan oleh Bapak Widodo dari Desa Kadhokan, beserta seorang asistennya. Pada pagelaran wayang kulit purwa itu, kedua gamelan itu disusun seluruhnya (merah dan hitam) dan dimainkan bersama-sama.

Mbak Jean Marlon Tahitoe, saat sedang tidak nembang suluk Pesisir, sesekali memainkan gender panembung (slenthem), yang merupakan bagian dari gamelan Kyai Sekar Ganesa Lokananta.

Gamelan wulung milik PSTK-ITB itu, diberi julukan 'Kyai Sekar Ganesa Lokananta'. Gong ageng-nya seluruh permukaannya tidak ada yang di-gilap,[7]melainkan dibiarkan hitam seluruh permukaan logamnya. Menurut penjelasan Mas Asep Nata, di luar keraton, besar kemungkinan juga di seluruh dunia, hanya ada tiga gamelan yang dibuat berwarna hitam (wulung ataucemengan).

1) Gamelan wulung atau gamelan cemengan milik PSTK-ITB, bertangga-nada Slendro dan Pelog, kedua laras gamelan itu diberi julukan ‘Kyai Sekar Ganesa Lokananta’.

2) Gamelan wulung atau gamelan cemengan milik UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), Bandung. Gamelan bertangga-nada Slendro dan Pelog ini, diberi julukan ‘Sekar Ageng Kyai Fatahilah’.

3) Gamelan wulung atau gamelan cemengan milik USU (Universitas Sumatra Utara) di Medan. Gamelan yang bertangga-nada Slendro, diberi julukan ‘Kyai Mangungun’. Sedangkan yang bertangga-nada Pelog diberi julukan ‘Nyai Gudho-Sih’. Sayang sekali, kedua gamelan ini menurut kabar, telah raib (hilang) entah ke mana tak tentu rimbanya.

Pada sisi kiri di bawah ini, tampak beberapa pemakaian ricikan gamelan Kyai Sekar Ganesa Lokananta, saat dipakai latihan tembang suluk Pesisir. Tampak pada foto tersebut, Mas Lukman Samboja, Mas Bambang Sadarta, Mbak Ayu 'Kuke' Wulandari, Mbak Sherika, dan Mbak Vilda Sintadela.

Beberapa ricikan gamelan merah dan hitam milik PSTK-ITB, saat disimpan di salah satu ruang CC (Campus Center) ITB, ternyata juga dicuri orang. Pencurian dilakukan terhadap bilah-bilah ricikan wilahan. Mungkin karena wilahan (bilah) lebih mudah disembunyikan saat dibawa memakai tas atau ransel. Sayang sekali….

Gamelan merah milik PSTK-ITB, meskipun bukan merupakan gamelan yang dapat dikategorikan bagus, tetapi seperti pernah dikatakan oleh Mas Bambang Sadarta: “Gamelan merah itu merupakan sebuah legenda, dan sangat bersejarah bagi PSTK-ITB. Karenanya, perlu dilestarikan. Jika perlu, ya dilengkapi lagi, sehingga cukup memadai untuk diikut-sertakan dalam suatu pagelaran.” Saya setuju 100% dengan pendapat Mas Bambang Sadarta. Ini memang soal bagaimana menghargai sejarah dan tidak meninggalkannya begitu saja, setelah mendapat gamelan yang lebih baru.

Sedangkan gamelan wulung milik PSTK-ITB, saat ini sangat memerlukan perhatian, karena sudah memerlukan pemeliharaan dan penalaan ulang. Beberapa kempul  dan gong suwukan-nya mulai bergeser nadanya. Belum bergeser secara ekstrim, tetapi sudah mulai terasa berbeda. Ombak-ombakan  pada gong suwukan dan gong ageng-nya sudah waktunya dihidupkan kembali, supaya suaranya menjadi lebih mengalun dan kembali menyebarkan aura kebesarannya.

Di luar itu semua, mungkin memang sudah patut dipikirkan kembali, di mana dan bagaimana seharusnya penempatan gamelan merah dan hitam itu. Sebaiknya, memang dalam dua ruang yang saling berdekatan atau disatukan dalam satu ruang besar. Gamelan, layar wayang, kotak wayang, dan tempat latihan tari; meskipun semuanya hanya sekedar pelengkap kegiatan ekstra-kurikuler mahasiswa dan mahasiswi, sudah saatnya dipikirkan secara lebih serius. Menghargai dengan menempatkannya secara apik, ditata, dan diatur rapi dalam suatu ruangan besar yang memadai, mungkin bisa dimimpikan sejak sekarang. Tidak lagi sekedar menumpuk ricikan gamelan legendaris itu di gudang, dan membiarkannya tanpa tanggung-jawab yang jelas, saat mulai hilang satu persatu.

Sama dengan ‘wayang ukur’ generasi pertama, yang hanya ada satu-satunya di dunia dan sekarang tersimpan di PSTK-ITB. Maka, demikian pula gamelan wulung ‘Kyai Sekar Ganesa Lokananta’, yang sekarang sangat mungkin hanya ada tiga perangkat di seluruh dunia. Sudah saatnya benda-benda lama ini mendapat perhatian lebih dari kita semua, dan membuatnya kembali bersinar saat menapak abad 21…. Camkan itu baik-baik….!

Sebagai penutup, saya mengucapkan terima-kasih yang tak berhingga kepada sahabat kinasih saya, Mas Asep Nata, yang telah mengingatkan saya, memicu gagasan untuk menuliskan riwayat gamelan cemengan itu, dan menyumbangkan berbagai bahan tulisan serta penjelasan; termasuk koleksi foto pemakaian gamelan Kyai Mangungun dan Nyai Gudho-Sih, milik Universitas Sumatra Utara, tempat almamaternya dulu. Semoga sumbang-sihnya menjadi berguna untuk seluruh khalayak ramai. Sekali lagi terima-kasih untuk semuanya......



Sesekali menyenangkan juga memainkan gender barung sambil nembang suluk Pesisir bersama-sama, sambil bercengkerama, di ruang terbuka, misalnya di lapangan rumput di depan Aula Timur ITB, saat sore hari....


_____________________________

[1] Mas Ariyatno,  setahu dan seingat saya, sejak lulus ITB sampai sekarang, bekerja di Pabrik Gula Bunga Mayang, Lampung Utara, Sumatra Selatan.

[2] Bapak Samodra almarhum, merupakan salah seorang dosen pada Jurusan Mesin ITB, yang tidak saja ahli dalam bidang logam (metalurgi), tetapi juga sangat ahli dalam memainkan alat musik biola. Meskipun di kalangan para mahasiswa Jurusan Mesin ITB beliau termasuk salah seorang dosen yang terkenal ditakuti, tetapi kenyataannya setiap kali bertemu dengan para mahasiswa-mahasiswi anggauta PSTK-ITB (yang sebagian juga berasal dari Jurusan Mesin ITB), beliau merupakan seorang ‘bapak’ yang selalu bersikap hangat, terbuka, ramah, murah senyum, suka berbagai ilmu pengetahuan dan wawasan, serta jauh dari sikap ‘menakutkan’ seperti yang sering diceritakan oleh para mahasiswanya.

[3] Tentang jumlah ricikan balungan yang harus disediakan pada satu satu gamelan baru yang dikonsepkan, seingat saya seperti yang dijelaskan pada bahasan di atas. Ada kemungkinan riciannya sedikit berbeda, karena dokumentasi asli yang saya miliki tidak dapat ditemukan (tersimpan di hard disk komputer milik perusahaan dan tidak sempat dicopy).

[4] Mas Panggah, bertemu pertama kali dengan saya, saat saya sedang menyusun skripsi tentang pembuatan gamelan. Pertemuan berlangsung di ASKI (sekarang sudah berubah menjadi ISI) Surakarta, sekitar tahun 1980-an. Saat itu, Mas Panggah masih berstatus sebagai mahasiswa. Dalam diskusi pendek itulah tercetus bahwa bilah-bilah nada gamelan, nyatanya memang tidak bisa mewakili ‘balungan gendhing’ secara nyata, disebabkan oleh keterbatasan jumlah nada yang disediakan pada ricikan balungan. Beberapa tahun kemudian, saya membaca artikel tulisan Mas Panggah tentang hal yang sama ini, ditulis dalam Jurnal Masyarakat Musikologi Indonesia, Rahayu Supanggah, Balungan (Yayasan Masyarakat Musikologi Indonesia bekerja-sama dengan Duta Wacana University Press, Yogyakarta, Tahun I, No. 1, tahun 1990), hlm. 115 – 136.

[5] Pada saat proses penyusunan skripsidi antara tahun 1980 - 1983, saya secara khusus menyempatkan diri untuk berkunjung dan melakukan survei secara rinci tentang proses pembuatan gamelan di Desa Mbarat, Ngawi. Para pembuat gamelan di wilayah ini, hampir semuanya menguasai cara pembuatan gamelan kuningan dan perunggu muda, dengan cara dicor dan dicetak. Proses pembentukan rupanya dilakukan dengan hanya sedikit proses tempa. Proses penempaan, dilakukan hanya seperlunya, bukan dalam rangka melakukan proses pemadatan logam dan pembentukan, tetapi lebih tepat jika dikatakan sekedar proses merapikan bentuk semata. Penggunaan bahan remukan perunggu atau bahan perunggu yang sudah hancur (bekas gamelan yang sudah hancur atau bekas benda lain) yang dicampur logam kuningan, juga merupakan hal yang sejak lama lazim dilakukan para pembuat gamelan dari Desa Mbarat ini.

[6] Bandingkan dengan ‘gamelan ageng ’buatan masa kini, yang jumlah ricikan-nya memang cenderung ditambah dan bilah balungan ricikan-nya juga cenderung ditambah, seperti ‘gamelan wulung’  yang semula dikonsepkan.

[7] Bagian pencu gong ageng yang di-gilap (dibuat mengkilat dengan cara dikerok atau dikikir dan kemudian dihaluskan), lazim disebut berpola ‘padhang mbulan’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar