Pesisir, adalah 'tepi' yang seringkali sengaja dilupakan atau terlupakan; karena kita umumnya lebih tertarik pada pusat sesuatu dari pada tepinya. Padahal, pusat tak akan pernah hadir tanpa tepi. Maka, Pesisir sebagai suatu mahzab dan budaya, sebenarnya merupakan awal kelahiran sejumlah mahzab dan budaya lainnya. Karena itu, upaya untuk mengingat, mencermati, menerapkan, dan mengembangkan kembali permata terpendam seperti Tembang Suluk Pesisir, akan memperkaya khasanah budaya Nusantara.
Jumat, 01 Januari 2016
JANGKA JAYA-BAYA
Minggu, 19 Oktober 2014
TALU: REFLEKSI KEHIDUPAN MANUSIA DI ALAM JANALOKA
Sunyi senyap di sekeliling kumpulan wadhitra. Para pradangga penabuh wadhitra, duduk bersila, diam terpekur dalam ruang angan masing-masing. Seakan berharap Sang Penguasa Jagat Raya mengijinkan mereka memutar jantra kehidupan dan mengetahui ceritanya barang sedikit. Tiba-tiba, mereka merasa sesak dan sendu di dalam dada. Perasaan galau yang tak terkendali merasuk hati.
Ramyang-ramyang lir anglayang kang rinasa,
Sumebyar nuturaken rasaning nala,
O, Gusti kula panguwasaning jagat,
Pangucaping rasa kang cinatur ing nala,
Rumangsa yen kadi wus lampus,
Mangka aneng alam janaloka kang rinengga,
Karsa myang karyaning manungsa,
Kaya-kaya tan ana pigunane,
Apepanjang punjung dedongane,
Dhuh Gusti paringa agunging pangaksami.
Gendhîng Cucûr Bawûk, yang melambangkan pertemuan sejoli manusia, yang dilanjutkan Paré Anôm, yang melambangkan dimulainya kehidupan muda manusia, kemudian disambut Ladrang Sri Katôn, yang mewakili kehidupan cemerlang masa muda manusia lalu berpindah menjadi Ketawang Sûkmâ Ilang, saat manusia dewasa telah menjadi renta. Dan, pada saat semuanya hendak berakhir, Ayak-ayak Talu digemakan melambangkan proses penyesalan manusia saat nyawanya hendak menghadap Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya). Lalu datanglah Sang Kâlâ menjemput, diiring Srepegan Manyurâ yang serba terburu-buru. Dan bersama dengan gema Sampak Manyurâ yang menyentak dan melonjak seketika berakhirlah seluruh kehidupan manusia di alam jânâlokâ. Gendhîng-gendhîng yang dirangkai menjadi suatu kesatuan itu, semuanya menceritakan seluruh filosofi kehidupan ritual manusia di alam jânâlokâ. Ini semua, merupakan rangkaian gendhîng yang bersifat sakral, dan juga merupakan suatu rangkaian gendhîng yang bersifat ritual, yang dalam waktu relatif singkat, menceritakan seluruh proses kehidupan manusia, sejak dilahirkan sampai mati. Sejak dari tiada, kembali menjadi tiada. Menyadarkan manusia yang masih hidup, bahwa ia tak lebih dari setitik debu tanpa arti di hadapan Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya).
Bagai melayang-layang yang terasa. Merebak mengikuti rasa hati. O Gusti, junjungan hamba Sang Penguasa Jagat. Inilah ucapan perasaan yang terucap di dalam hati. Rasanya seakan seperti telah mati. Pada hal kita masih ada di dalam alam fana yang serba penuh hiasan kehendak dan nafsu manusia. Semua itu, bagai tak berguna lagi. Panjang dan bertumpuk-tumpuk doa yang dipanjatkan. Duh Gusti, ampunilah hamba.
Istilah bawûk, di kalangan masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa, juga dikenal sebagai panggilan kesayangan untuk anak perempuan atau anak gadis. Seorang anak perempuan yang sangat disayangi oleh orang-tuanya, biasanya dipanggil dengan sebutan bawûk atau wûk. Panggilan atau sebutan ini, juga setara artinya dengan ndhûk atau nîng. Sedangkan istilah cucûr, kucûr, atau ngucûr mewakili hakekat peristiwa yang dilaksanakan oleh alat reproduksi yang dimiliki oleh kaum pria, pada saat dilakukan proses reproduksi kehidupan manusia. Istilah cucûr, kucûr, atau ngucûr mempunyai pengertian: mengucur, menetes, atau mengalir perlahan-lahan. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah cucuran atau tetesan kehidupan baru yang diberikan oleh pria kepada wanita, dalam proses reproduksi kehidupan manusia. Dalam istilah sehari-hari, istilah ini mewakili proses bersenggama atau bersetubuh, antara pria dan wanita yang kemudian membuahkan adanya janin (bayi). Hakekat kehidupan pria dan wanita yang terikat perkawinan dan cinta yang penuh kesucian adalah pria memberikan dan wanita menerima benih kehidupan manusia masa depan. Mereka itu, berdua pada hakekatnya adalah sepasang manusia yang melayarkan biduk kehidupan, menempuh badai di dalam samodra kehidupan di alam jânâlokâ.
Urutan pola Gendhîng Talu yang lazim dimainkan orang secara lengkap (pada pagelaran wayang kulît pûrwâ), jika diurutkan, akan membentuk pola urutan sebagai berikut: pola gendhîng – pola ladrang – pola ketawang – pola ayak-ayak – pola srepegan – pola sampak. Ini, merupakan urutan pola yang bersifat baku. Namun demikian, pada masa sekarang seringkali pada saat memasuki pola srepegan, seringkali disisipi permainan gamelan yang berpola palaran, misalnya: Palaran Pangkûr atau, disisipi permainan gamelan yang berpola srepegan lainnya, misalnya, disisipi Srepegan Peksi Manyurâ.
Begitulah, seakan terasa bagai sembilu menyayat hati. Perasaan galau dan sedih, bercampur baur dengan penyesalan, saat mengetahui segalanya hendak berakhir. Saat waktu yang kita miliki, dihentikan putaran jantra-nya oleh Sang Penguasa Jagat Raya.
Beberapa saat hanya terjadi keheningan. Tak ada seorang pun yang bersuara. Tak ada suara apapun. Lalu, perlahan terdengar sesaat suara senggrèngan rebab menyayat hati dibunyikan, memberikan tanda kepada para panjak untuk bersiap memasuki dunia yang baru. Bersiap memainkan permainan hidup dan mati manusia. Hening sesaat, lalu terdengar nada-nada awal bukâ gendhîng, perlahan mulai dimainkan oleh panjak rebab. Terdengar suara gông ageng berbunyi penuh getar-getar kehidupan, bersamaan dengan saat nada-nada bukâ gendhîng mencapai akhir bait permainan. Gendhîng Talu mulai menggema perlahan, irâmâ-nya semula cepat, secepat detik-detik awal permulaan kehidupan manusia di alam janaloka, saat turun ke alam janaloka, saat untuk pertama kali keluar menjelma ke alam janaloka. Lalu perlahan-lahan melambat, seakan hendak menceritakan mulai mapannya putaran jantra kehidupan manusia.
Suara sulîng (seruling) melengking tinggi, bersambut dengan tembang pesindhèn yang sendu, ditingkah desah suara rebab, seakan-akan mengalunkan cerita tentang awal dan akhir kehidupan manusia. Pahit-getir dan manisnya madu kehidupan manusia di alam jânâlokâ, di-tembang-kan dalam gendhîng. Menggetarkan gunungan, hakekat pelindung seluruh alam kehidupan manusia.
Talu bercerita peristiwa jantra kehidupan manusia, sejak manusia dilahirkan, sampai ia meninggal dan kembali ke pangkuan Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya). Cucûr Bawûk telah bergetar, mengalir perlahan, mengisi keheningan malam. Mempertemukan dua manusia, bagaikan lelananging jagat dan wanodyaning jagat. Seakan tak ada dua sejoli lain di alam janaloka ini. Cucûr Bawûk mengalun perlahan-lahan, seakan menapak dan mempertemukan perjalanan manusia saat awal kehidupan mulai.
Lalu kedua sejoli ini saling merengkuh dalam kedamaian dan cinta yang tiada tara. Seakan dunia ini telah menjadi milik mereka. Cucûr Bawûk mengawali permainan seluruh rangkaian Gendhîng Talu. Gendhîng ini, merupakan salah satu gendhîng yang paling banyak dimainkan para panjak sejak ratusan tahun yang lalu, untuk mengawali pagelaran wayang. Istilah cucûr bawûk, mewakili sebutan untuk proses reproduksi kehidupan manusia, yang dilakukan oleh pria dan wanita. Jika ditilik dari makna sesungguhnya, istilah cucûr, mewakili hakekat proses kerja alat repoduksi kehidupan (alat kelamin) yang dimiliki kaum pria. Istilah cucûr, pada dasarnya berarti: mengucur, mengalir, tetesan, atau aliran. Sedangkan istilah bawûk mewakili hakekat sifat alat reproduksi kehidupan manusia (alat kelamin), yang dimiliki oleh wanita. Dengan demikian, istilah cucûr bawûk, jelas mengandung maksud hendak menceritakan hakekat proses awal kehidupan manusia. Kehidupan manusia, pada hakekatnya, selalu dimulai dari ritual pertemuan dua manusia, yaitu pria dan wanita yang diikat oleh tali cinta dalam suatu perkawinan.
Keinginan hati untuk dapat menimang seorang anak, seringkali mengakibatkan kepahitan hidup atau kesengsaraan bagi seorang ayah atau seorang ibu. Bayang-bayang kebahagiaan seorang ibu untuk menimang bayinya, sering disertai kerelaan untuk menghadapi kesengsaraan, kesakitan, bahkan kematian pada saat melahirkan. Dapatkah seorang laki-laki (bagaimanapun tegarnya ia pada saat menghadapi badai kehidupan) bersikap tegar dan tega pada saat menghadapi dan mendampingi wanita yang menjadi garwâ-nya (istilah garwâ, merupakan singkatan sigaraning nyâwâ yang artinya: belahan jiwa) saat harus meregang nyawa menghadapi kesengsaraan, kesakitan, bahkan mungkin kematian pada saat melahirkan bayi dambaan hatinya? Dapatkah seorang pria membayangkan bagaimana isteri tercintanya itu meregang tubuh, menantang maut hanya untuk melahirkan seorang bayi yang selalu dimimpikan ayahnya? Apakah seorang pria terbayangkan bahwa keselamatan dan kelahiran bayinya, manusia muda dambaan yang seringkali diceritakannya atau dimimpikannya itu seringkali harus ditebus dengan kesengsaraan dan bahkan mungkin kematian isteri tercintanya? Seorang pria, tidak akan pernah bisa membayangkannya, karena ia ditakdirkan untuk tidak pernah mengalami peristiwa ini.
Ritual pertemuan antara pria dan wanita, pada akhirnya akan melahirkan manusia-manusia muda. Mereka itu, manusia yang akan mengarungi samodra kehidupan masa depan. Anak-anak mereka yang baru lahir itu, lemah dan tak berdaya sama sekali menghadapi dunia yang penuh rintangan dan mara bahaya, dalam menempuh kehidupan yang ganas dan tak kenal belas kasihan. Tetapi bagi ayah dan ibunya, mereka ini merupakan permata hati yang tak terkirakan nilainya. Seorang ayah atau ibu, bahkan rela ‘tôh pati’ atau ‘ngetôhi pati’ (bertaruh nyawa atau bersabung nyawa mempertaruhkan keselamatan diri sendiri), demi keselamatan, kebahagiaan, dan kehidupan anak-anak mereka.
Kelucuan, kerinduan, kelembutan anak-anak manusia yang telah dilahirkannya itu, dan juga kenakalannya tak akan pernah merintangi ayah dan ibunya, untuk mencintai dan menyayanginya. Kesulitan demi kesulitan yang harus dihadapi oleh seorang ayah atau seorang ibu, untuk mempertahankan hidup, membesarkan, menyenangkan, dan membahagiakan anak-anak permata hati tercintanya itu bahkan sering membuat kehidupan ayah dan ibu menjadi sengsara. Mereka berdua, sepasang manusia berjuang menempuh badai lautan kehidupan, demi permata hatinya, demi anak-anaknya biarpun kehidupan mereka sendiri seringkali penuh dengan kepahitan sepahit rasa buah paré anôm (buah paria muda) yang biarpun terasa pahit, tetapi tetap juga dimakan.[1] Di dalam kesengsaraan dan kepahitan hidup ayah dan ibu, kelucuan anak-anaknya seringkali menjadikan kehidupan yang pahit itu terasa manis. Makna filosofis buah paria muda inilah yang dikandung dalam gendhîng Paré Anôm yang merupakan kelanjutan gendhîng Cucûr Bawûk karena memang begitulah hakekat ritual kehidupan manusia di alam jânâlokâ ini. Kesulitan dan kepahitan hidup, seringkali harus dialami manusia jika ia hendak menggapai cita-citanya.
Saat anak-anak telah mulai menjadi remaja, maka mulailah suatu dunia yang baru yang ‘asri’ (indah) dan ‘moncèr’ (penuh kecemerlangan, dan penuh gemerlap). Ayah dan ibu anak-anak itu, akhirnya hanya bisa melihat dari kejauhan dan seringkali tidak lagi bisa berbuat apa-apa atau, tidak bisa berbuat banyak lagi. Anak-anaknya mulai berubah menjadi remaja yang tampan dan cantik. Mereka mulai meninggalkan pangkuan dan rengkuhan orang-tuanya. Mereka itu memulai proses meninggalkan kehidupan bergantung kepada ayah dan ibu. Mereka itu, adalah manusia masa depan, yang berbekal ‘kawrûh, kasantosan, lan ilmu’ (pengetahuan, keteguhan hati, dan ilmu) akan menyongsong masa depan. Anak-anak yang mulai menginjak remaja itu, bagi orang-tua yang telah membesarkannya dengan segala kesulitan mereka itu sangat katôn asri (terlihat sangat indah), seperti realitas yang mereka tampilkan. Jika anak-anak mereka itu pria, maka akan terlihat sebagai manusia yang muda, tampan bagai satriyâ (ksatria), narpati mudhâ atau râjâ mudhâ (raja muda), atau bagaikan déwa (déwa) turun dari kahyangan. Atau, jika anak-anak mereka itu perempuan, maka akan terlihat sebagai manusia yang cantik rupawan, belia, jelita, bagaikan dèwi, bagaikan puteri kahyangan, bathari, atau bagaikan ratu. Mereka itu, seakan menjadi intan permata bagi orang-tua, yang dengan segala kecermerlangannya, menyongsong kehidupan masa depan, untuk kemudian menjadi manusia-manusia dewasa, panuh pamôr kehidupan, dan akhirnya akan menggantikan segala peran ayah ibu mereka.
Itulah kandungan makna filosofis Gendhîng Ladrang Sri Katôn yang merupakan nama gendhîng lanjutan dari Gendhîng Paré Anôm. Dan, memang begitulah cerita kehidupan kita sebagai manusia. Masa-masa yang penuh kesulitan akhirnya berganti dengan masa penuh kecemerlangan dan gemerlap, paling tidak dalam bentuk cita-cita atau mimpi. Masa dewasa yang penuh dengan keberhasilan dan penuh gebyar gemerlap duniawi. Manusia memetik ‘wôhîng penggawé’ yakni memetik karma, buah dari perbuatan dan peri-lakunya. Mencapai puncak kejayaan, puncak segala cita-cita kehidupan yang dimimpikannya.
Dinâ (hari) berganti minggu minggu berganti wulan (minggu) wulan berganti warsâ (tahun) warsâ berganti windu dan seterusnya. Sang Kâlâ berjalan terus menuruti takdirnya, me-mângsâ seluruh isi kehidupan di alam jânâlokâ. Maka, datanglah akhir masa katôn asri, akhir masa gemerlap dan kegemilangan meninggalkan kenangan yang indah dan penuh mimpi. Manusia-manusia dewasa itu, kini telah mulai berubah menjadi manusia-manusia yang tua renta. Kehilangan segala keperkasaan masa mudanya, kehilangan semua kejelitaan masa gemerlapnya. Menyongsong masa akhir, saat hidup hendak berhenti, saat datang masanya hendak menghadap Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya). Dan, akhirnya datang jua waktu yang sudah ditakdirkan dan dijanjikan itu. Jiwa manusia, bersiap pergi meninggalkan raganya. Sûkmâ Ilang, menghadap ke pangkuan Sang Penguasa Hidup dan Mati. Manusia, tak bisa menolak takdir yang telah berlaku terhadapnya.
Begitulah kandungan makna filosofis Gendhîng Ketawang Sûkmâ Ilang, yang berkisah tentang saat akhir kehidupan manusia di alam jânâlokâ. Manusia meragukan kembali, berbagai hal yang baik dan buruk tentang dirinya. Ia bimbang kepada seluruh kehidupannya. Segala yang sudah terjadi itu disesali, meskipun ia tahu hal itu tak lagi berguna. Segalanya sudah menjadi bubur. Sang Kâlâ telah memburunya, untuk segera menghadap Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya) mempertanggung-jawabkan segala perbuatan dan kehidupan duniawinya. Seperti irâmâ Gendhîng Ayak-ayak yang tak menentu kadang-kadang cepat dan kadang-kadang melambat, serba terbata-bata, serba tak jelas lagi irâmâ-nya. Seakan-akan hidup ini masih panjang, tetapi seringkali terasa bahwa kehidupan seakan tinggal beberapa detik lagi. Manusia, secara terburu-buru menimbang kembali segala perbuatan dan peri-lakunya di alam jânâlokâ. Sang Kâlâ semakin dekat dengan janjinya. Dalam irâmâ yang semakin nyrepeg (terburu-buru) dan melonjak-lonjak, tergesa-gesa manusia berusaha menebus segala keburukan duniawinya meskipun sering terlambat dan kehabisan waktu. Tak ada lagi kesempatan, tak ada lagi yang bisa menolong dan menyelamatkannya dari kematian.
Sang Kâlâ sudah
tak sabar lagi. Dengan nyrepeg,
dijemputnya manusia, untuk mempertanggung-jawabkan hidup dan peri-lakunya. Lalu
sampak-pun tiba-tiba bertalu-talu
melonjak-lonjak ganas, menyentak, merenggut nyawa manusia dan seluruh kehidupan
manusia seketika! Manusia meregangkan tubuhnya dalam satu sentakan terakhir.
Jiwa manusia lepas dari râgâ-nya
dijemput Sang Kâlâ. Lalu seketika
hening, segala berakhir di sini. Semuanya, tiba-tiba kembali ke keadaannya
semula. Semua yang semula ada, tiba-tiba kembali menjadi tiada. Kembali dalam
keheningan abadi.
Gendhîng Talu, biasanya dimainkan sesaat menjelang pagelaran wayang purwa. Jika dimainkan secara lengkap, seluruh rangkaiannya akan memakan waktu sekitar satu jam. Karenanya, pada saat dimainkan, harus diatur waktunya sedemikian rupa, sehingga pada saat berakhirnya permainan Gendhîng Talu waktu menunjukkan saat yang tepat untuk memulai pagelaran wayang purwa, yaitu sekitar pukul sembilan malam (jika pagelaran wayang dilakukan malam hari) atau, pukul sembilan pagi (jika pagelaran wayang dilakukan pada siang hari).
Gendhîng Talu,
selalu berupa suatu rangkaian komposisi yang disusun atas beberapa gendhîng yang berlainan pola. Rangkaian
komposisi Gendhîng Talu yang paling
banyak dimainkan orang sejak ratusan tahun yang lampau, adalah pola gendhîng yang disusun atas Gendhîng Cucûr Bawûk, minggah (dipindahkan/dilanjutkan) ke Paré anôm lalu minggah (dipindahkan/dilanjutkan) ke Ladrang Sri Katôn
kemudian lalu minggah
(dipindahkan/dilanjutkan) ke Ketawang
Sûkmâ Ilang disambut minggah (dipindahkan/dilanjutkan) ke Ayak-ayak Talu kemudian minggah
(dipindahkan/dilanjutkan) ke Srepegan
Manyurâ dan seterusnya minggah
(dipindahkan/dilanjutkan) ke Sampak Manyurâ secara mendadak dan tiba-tiba
diakhiri dengan digunakannya nada-nada yang monoton selama beberapa saat.
Pada pagelaran wayang lainnya, misalnya pada pagelaran wayang wông (wayang orang), seringkali rangkaian Gendhîng Talu hanya dimainkan sebagian saja. Hal ini, biasanya lebih disebabkan adanya kebutuhan akan pemendekan waktu permainan. Bahkan, seringkali dimainkan secara sangat pendek, yaitu menggunakan pola urutan ayak-ayak – pola srepegan – pola sampak. Ini merupakan urutan pola yang paling pendek.
Pola garap Gendhîng Talu, sangat berbeda dengan pola garap gendhîng pambukâ pagelaran yang mengawalinya. Pada garap Gendhîng Talu, meskipun permainan wayang belum dimulai, tetapi pola garap-nya sudah menggunakan pola khas garap wayangan. Misalnya, menggunakan pola permainan kendhang kosèk wayangan menggunakan moda irâmâ kosek wayangan, yang merupakan irâmâ khas wayangan yaitu ber-irâmâ tanggûng (agak cepat) menggunakan ricikan kecèr wayangan (ricikan kecèr kombali) pada saat permainan gendhîng-gendhîng-nya. Karena Gendhîng Talu pada dasarnya bermakna sangat filosofis dan sakral, maka sewaktu memainkannya, biasanya dilakukan secara sangat khusuk.
Pada saat permainan Gendhîng Talu dimulai, biasanya semua lampu penerangan panggûng pagelaran, umumnya masih dinyalakan secara terang benderang. Namun, pada saat permainan Gendhîng Talu mencapai puncaknya, yakni saat dimainkan Sampak Manyurâ yang ber-irâmâ sesegan (sangat cepat), biasanya seluruh lampu penerangan akan dipadamkan dan hanya lampu geber/kelîr wayang atau penerangan dhalang saja yang tetap menyala. Sesaat kemudian, jika dhalang sudah duduk di tempatnya rangkaian akhir Gendhîng Talu akan dihentikan secara mendadak dalam nada-nada yang monoton selama beberapa detik. Suasana, akan menjadi hening tanpa suara sedikitpun selama beberapa saat. Lalu dhalang akan memberikan âbâ-âbâ bersiap diri, menggunakan cempâlâ disahut dengan kethekan ricikan kendhang. Bunyi gedhôg yang dilakukan menggunakan cempâlâ, kemudian memberikan tanda bukâ, diikuti bunyi kendhang. Gendhîng Ayak-ayak Manyurâ berbunyi. Pagelaran-pun dimulai. Menceritakan sepersejuta kehidupan manusia di alam jânâloka.
[1] Sayur yang menggunakan bahan buah paria muda meskipun sudah dimasak, akan tetap terasa sangat pahit. Meskipun terasa pahit, sayur buah paria muda ini tetap memiliki rasa sedap yang luar biasa jika dimakan. Sayur paria muda, merupakan salah satu sayur yang sangat disukai oleh kalangan masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa dan Sunda. Makanan bakso tahu, yang umumnya sangat disukai dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia misalnya, seringkali juga menggunakan paria muda sebagai salah satu kelengkapan sayurnya selain menggunakan sayur kol dan kentang rebus.
Kamis, 02 Oktober 2014
SUSTER MARIA DAN POHON PINUS....
Selasa, 30 September 2014
GAMELAN PERUNGGU WULUNG, KYAI SEKAR GANESA LOKANANTA
Lalu, mendadak topik pembicaraan menyinggung soal 'gamelan wulung' atau 'gamelan cemengan'. Ingatan saya, tiba-tiba saja bagaikan tersambar halilintar, saat Mas Asep Nata menanyakan kepada saya nama julukan gamelan wulung milik PSTK-ITB. Apa ya nama julukannya? Saat itu, selintas yang saya ingat gamelan hitam itu dijuluki 'Kyai Ganesa Lokananta'. Tetapi beberapa hari kemudian, setelah saya periksa di ruang latihan PSTK-ITB, ternyata julukan lengkapnya adalah 'Kyai Sekar Ganesa Lokananta'. Salah satu bagian dari gamelan itu, yang selalu saya ingat, adalah bentuk ular naga yang merupakan ukiran hiasan yang terletak di atas gayor gong. Bentuk rupa hiasan ular naga pada gamelan ini, saya kira tidak ada duanya di dunia, karena bentuknya berupa sepasang ular naga lengkap dengan kulitnya yang bersisik dan tubuh yang meliuk-liuk, tetapi berkepala gajah (ganesa). Kedua hiasan ular naga ini, posisinya saling membelakangi. Aneh sekali....!
Pada pertemuan dengan saya, Mbak Tya dan sejumlah rekannya (semua memperkenalkan diri sebagai anggauta PSTK-ITB) menyatakan bahwa mereka bermaksud mendiskusikan konsep sebuah ‘gamelan baru’ untuk PSTK-ITB, yang menurut mereka sedang direncanakan untuk dipesan pembuatannya. Saat itu, saya bertanya: “Apakah sudah ada konsepnya?” Jawab mereka: “Belum ada. Karena itulah kami berkunjung ke Pak Bram.” Demikianlah awal pembicaraan siang itu. Sayang sekali saya lupa hari dan tanggal tepatnya. Satu-satunya yang saya ingat, pertemuan itu dilaksanakan diruang kerja saya, di lantai 3 gedung baru PT Radio Frequency Communication (PTRFC), tempat saya bekerja. Hari sudah sore, saat pertemuan itu diakhiri. MbakTya sebelum pulang mengajukan permintaan kepada saya untuk memikirkan dan menyusunkan sebuah konsep gamelan baru untuk PSTK-ITB. Saya tertegun sejenak mendengar permintaan itu, tetapi akhirnya saya sepakat untuk membuatkan konsep tentang gamelan baru itu. Saat itu saya meminta waktu kira-kira seminggu untuk menuliskannya secara lengkap, dengan perjanjian nanti di minggu depan akan dilakukan pertemuan kembali untuk mendiskusikan konsep yang saya susun.
Pada masa itu, Pakdhe Dwi Hardjito juga sedang giat-giatnya melakukan penelitian nada gamelan (untuk keperluan studinya di Jurusan Mesin ITB), dan saya ingat benar, pada suatu pagi saat saya pergi ke ruang latihan PSTK-ITB yang di Aula Timur, tiba-tiba saja saya melihat ada potongan besar blok timah putih. Ukurannya besar dan berat sekali. “Kiriman dari Jakarta, sisa bahan penelitian,” begitu kata Pakdhe Dwi Hardjito kepada saya saat itu. Bahan timah putih itulah yang oleh Simbah Ariyatno dibawa be Mbarat, Ngawi untuk membuat ricikan perunggu. Saya juga masih ingat kata-kata Simbah Ariyatno: “Bahan ini nggak cukup Bram. Kurangnya masih banyak,” begitu katanya. Berdasar penjelasan Simbah Ariyatno itulah saya lalu menyakini, bahwa sebagian dari pesanan ricikan gamelan dari Mbarat itu tidak semuanya berbahan perunggu. Lepas dari persoalan mana yang benar (mungkin hanya Simbah Ariyatno yang bisa menjelaskan secara rinci tentang hal ini), tetapi nyatanya sejak itu gamelan merah menjadi semakin semarak warnanya, karena hampir semuanya lalu berwarna kuning berkilau. Saya tetap meyakini, dengan segala kecanggihan dan upayanya, Simbah Ariyatno berusaha melengkapi ricikan gamelan PSTK-ITB sehingga secara keseluruhan menjadi terlihat lebih anggun, karena berwarna ‘seperti perunggu’. Mungkin saja, karena bahan timah putihnya memang sangat kurang jumlahnya, maka ricikan gamelan yang berasal dari Mbarat itu berbahan dasar ‘perunggu anom’ (perunggu muda), yang mungkin juga dicampur bahan kuningan, untuk mencukupi seluruh pesanan PSTK-ITB. Seingat saya, bahan timah putih itu hanya cukup untuk membuat ricikan peking, saron racik, gong suwukan, dan kempul. Sampai sekarang, untuk bonang barung dan bonang penerus,masih tetap menggunakan bahan besi pelat dengan pencu yang dibuat dari lempeng kuningan. Antara badannya yang memakai bahan lempengan besi bekas drum bensin dan pencunya yang berbahan lempeng kuningan, digabungkan dengan cara dikeling. Hal ini pula yang berakibat jika bonang itu ditabuh agak keras, seringkali kelingnya yang menjadi longgar dan lalu terjadi suara bergetar (berbunyi‘theeer’). Untuk ‘mengelabui’ mata orang yang melihat, bagian dari ricikan gamelan yang dibuat dari lempeng besi ini dicat menggunakan cat bronze warna emas (kuning tua).
- Gendhing-gendhing yang menggunakan Laras Slendro Pathet Nem dan Pathet Sanga, sering diakhiri dengan gong bernada 5 (rendah/bawah). Sedangkan gendhing-gendhing Laras Slendro Pathet Manyura, sering diakhiri dengan gong bernada 6 (bawah/rendah). Karena itu, nada terrendah pada ricikanbalungan berlaras Slendro, sebaiknya juga disesuaikan untuk keperluan tersebut, yaitu disediakan nada 5 dan 6 (rendah/bawah).
- Gendhing-gendhing yang menggunakan laras Pelog Pathet Lima, sering diakhiri dengan gong bernada 5 (rendah/bawah). Gendhing-gendhing yang menggunakan laras Pelog Pathet Nem dan Pathet Barang, sering diakhiri dengan gong bernada 6 (bawah/rendah). Karena itu, nada terrendah pada ricikan balungan berlaras Pelog, sebaiknya juga disesuaikan untuk keperluan tersebut, yaitu disediakan nada 5 dan 6 (rendah/bawah).
- Khusus untuk ricikan balungan bertangga-nada Pelog, disediakan nada 1 (bem) dan 7 (barang) pada dua oktaf yang berbeda, sesuai dengan permainan gendhing. Dengan demikian, jika misalnya hendak memainkan suatu susunan nada (mengarah ke gong) yang notasinya 2327 3276, maka nada 7 yang dibunyikan bukan merupakan nada 7 tinggi (atas) melainkan nada 7 bawah (rendah). Dengan demikian susunan nada yang dihasilkan, akan lebih mewakili susunan nada balungan gendhing. Demikian juga jika misalnya hendak memainkan suatu susunan nada tinggi 3561 6516, maka nada 1 (bem) yang dimainkan pada susunan nada ini tidak menggunakan nada 1 rendah atau bawah.
- Ricikan yang berbentuk ‘bunderan’ (bonang, kethuk, kenong,kempul, dan gong) seluruhnya diusulkan untuk dibuat di ‘besalen’milik Bapak Wignya Rahardjo di Desa Jatiteken, yang lokasinya di sebelah selatan Bekonang. Argumentasinya, Bapak Wignyo merupakan spesialis pembuat ricikan bunderan yang bagus dan bermutu tinggi.
- Ricikan yang berbentuk ‘wilahan’ (gender, saron, demung,slenthem, saron gender, peking) seluruhnya diusulkan untuk dibuat di ‘besalen’ milik Bapak Widodo, di Desa Kadhokan, yang lokasinya di sebelah timur Grogol (di sebelah timur Bengawan Solo). Argumentasinya, Bapak Widodo merupakan spesialis pembuat ricikan wilahan yang bagus dan bermutu tinggi.
- Bapak Wignyo Rahardjo dan Bapak Widodo, merupakan dua orang sahabat dekat, dua-duanya merupakan ‘panji gamelan’ (ahli membuat gamelan) yang sangat berpengalaman, dan dalam setiap kali pembuatan gamelan selalu bekerja-sama, sesuai keahlian masing-masing. Hasil kerja keduanya, terkenal sangat bagus dan bermutu tinggi, meskipun dari segi harga mungkin agak sedikit lebih mahal. Selain itu, kedua orang ini merupakan ‘guru’ saya yang banyak memberikan pengetahuan tentang pembuatan gamelan dan segala seluk-beluknya.