Halaman

Senin, 08 Juli 2013

WAYANGAN ITU MUDAH DAN SEDERHANA

Pagelaran wayang kulit purwa, bahkan untuk pagelaran semalam suntuk sekalipun, tidaklah selalu harus diiringi dengan gendhing-gendhing yang sukar dan rumit...

Sekitar tahun 1966, saya dan guru karawitan saya, Pak Hardja Prewita, tiba-tiba diminta bergabung dengan suatu grup kesenian baru, yang lokasinya berada sedikit di sebelah utara Kota Sala-Tiga. Guru saya, yang juga seorang dhalang, diminta melatih tidak saja anggauta grup karawitan itu, tetapi juga melatih Pak Sukardjo, pemilik seperangkat gamelan dan wayang, yang rupanya sangat ingin belajar menjadi dhalang wayang kulit purwa. Seingat saya, Pak Sukardjo itu bekerja di kantor Dinas Pejagalan Kotamadya Sala-Tiga. Gamelan perunggu milik Pak Sukardjo itu, merupakan gamelan baru laras slendro. Gamelannya cukup lengkap dan suaranya benar-benar bagus. Seluruh bilah dan pencon-nya benar-benar kinclong. Saat pertama kali saya melihatnya, saya benar-benar terpesona oleh kilau cemerlang gamelan baru Pak Sukardjo itu. Lalu, Pak Sukardjo juga menunjukkan sekotak wayang yang juga baru. Di dalam rumahnya, Pak Sukardjo secara sengaja mengubah salah satu ruangnya, menjadi tempat gamelan dan sekaligus tempat latihan wayang. Di sana ada sebuah layar wayang berukuran tak begitu besar, yang dipakai untuk berlatih ‘sabetan’.
Malam itu, kami diperkenalkan dengan seluruh anggauta grup karawitan itu. Kebanyakan anggautanya sudah tua, serta berasal dari berbagai golongan dan profesi yang berbeda-beda. Ada yang merupakan pegawai negeri yang masih aktif, ada pensiunan pegawai, ada karyawan swasta, tukang batu, kuli bangunan, dan ada yang berprofesi sebagai tukang kayu. Seperti saat kami dulu hendak belajar mengiringi pagelaran wayang kulit purwa yang pertama kali, guru saya juga memberikan sejumlah wejangan dan pengetahuan dasar. Dari seluruh wejangannya, yang saya sampai sekarang masih benar-benar ingat, adalah bahwa pagelaran wayang kulit purwa tidaklah selalu harus menggunakan gendhing-gendhing yang rumit. Jadi, seperti pagelaran sebelumnya, yang dulu dilakukan di Desa Karang-Pete, gendhing-gendhing yang hendak dipakai juga sangat sederhana. Apalagi, para penabuhnya hampir semuanya juga baru belajar menabuh, meskipun hampir semuanya sudah berumur rata-rata di atas 40 tahun. Dalam grup itu, saya dan seorang pemuda sebaya, termasuk orang yang paling muda saat itu.
Saya benar-benar masih bisa mengingat luar kepala seluruh rangkaian gendhing-gendhing yang dirancang guru saya untuk mengiringi pagelaran wayang kulit purwa semalam suntuk, yang nantinya akan dibawakan oleh Pak Sukardjo itu.
  • Untuk ‘gendhing klenengan sore’, digunakan beberapa gendhing jenis lancaran ‘standar’, seperti Lancaran Manyar-Sewu, Lancaran Ricik-ricik, Lancaran Bendrong, Lancaran Rena-rena. Sedangkan untuk gendhing yang lebih halus, dirancang menggunakan Ladrang Slamet (yang di kemudian hari saya mengenal di tempat lain sebagai Ladrang Wilujeng), Ketawang Kinanthi Pawukir, Ketawang Kinanthi Sandhung, dan Ketawang Pucung. Hanya gendhing-gendhing ini yang dipersiapkan untuk melakukan pagelaran gendhing klenengan sore.
  • Untuk pagelaran ‘klenengan wayangan’, dipersiapkan beberapa gendhing jenis ladrang sederhana yang bersuasana agak gembira dan semarak. Antara lain, Ladrang Sumirat, dan Ladrang Kijing Miring, dan Ladrang Sri Widodo.
  • Untuk ‘gendhing talu wayangan’, dipersiapkan memakai gendhing Ladrang Mugi Rahayu yang sangat pendek, lalu dilanjutkan Ayak-Ayak Talu, kemudian diteruskan dengan Srepegan Manyura, dan diakhiri dengan Sampak Manyura. Sudah hanya itu saja!
  • Sedangkan untuk pengiring jejer pathet nem, direncanakan menggunakan Ayak-ayak Manyura, yang dilanjutkan dengan Ladrang Sri-Katon. Untuk adegan ‘mundur kedhaton’, hanya diiringi dengan Ayak-ayak Nem. Lalu ‘jejer kedhaton’, menggunakan Ladrang Asmarandana yang di-garap kebar untuk pengiring adegan Limbukan. Adegan ‘paseban njawi’, dibuka menggunakan iringan Ladrang Moncer yang berirama cepat, lalu suwuk sesegan. Adegan ‘budhalan wadya’ dan ‘kapalan’ diiringi Lancaran Manyar-Sewu. Adegan ‘jejer sabrang’, memakai Ladrang Dwirada-Meta suwuk gropak. Menurut pandangan saya waktu itu, ini merupakan satu-satunya gendhing yang paling sukar garap-nya. Tentu saja adegan lainnya, cukup diiringi memakai gendhing Srepegan Nem, Sampak Nem, dan Ayak-ayak Nem.
  • Lalu jejeran pathet sanga cukup memakai Ladrang Pangkur. Lalu diseling dengan sejumlah ‘gendhing dolanan’, yang salah satunya adalah Jineman Uler Kambang. Untuk adegan ‘Perang Kembang’ diawali dengan Ketawang Kinanthi Subakastawa, lalu dilajutkan dengan Ayak-ayak Sanga, kemudian diteruskan dengan Srepegan Sanga, dan tentu saja juga Sampak Sanga.
  • Jejer pathet manyura, atas permintaan Bapak-Bapak anggauta karawitan, diusulkan untuk diiringi dengan Gendhing Perkutut Manggung, yang memang merupakan salah satu gendhing yang populer dan sangat disukai saat itu. Sedangkan ‘adegan srambahan’ lainnya, cukup diiringi dengan Ayak-ayak Manyura. Lalu tentu saja tidak dilupakan Srepegan Manyura dan Sampak Manyura. Dan sebagai penutup pagelaran, dimainkan Ayak-ayak Pamungkas.

Sesederhana itulah seluruh rangkaian gendhing-gendhing yang hendak dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang kulit purwa semalam suntuk. Bahkan, selama semalam suntuk itu, hanya digunakan satu ‘gendhing serius’ (itu istilah saya), yaitu Gendhing Perkutut Manggung. Mengakhiri ‘briefing-nya’ guru saya memberikan komentarnya untuk ‘ngayem-ayemi’ (menenteramkan) para siswa-siswanya, yang kelihatan agak kecut saat mendengar daftar gendhing yang harus dikuasai: “Kabeh gendhing-gendhing mau  kuwi nabuhe gampang! Karo cengengesan wae mesthi bisa!” (Semua gendhing-gendhing tadi itu, memainkannya mudah! Sambil ketawa cengengesan saja pasti bisa!). Dalam hati, saya mengatakan: “Ya itu kan untuk njenengan Pak Guru, kalau untuk siswa-siswanya mungkin ya tetap sudah cukup sukar”. Tapi, saya memang sudah menguasai sebagian besar materi yang tadi dipaparkan oleh guru saya. Sekurang-kurangnya, selain sudah berlatih jauh sebelumnya, beberapa gendhing-nya juga sudah pernah digunakan pada saat kami yang masih ‘anak-anak kecil’ itu melakukan pagelaran wayang semalam suntuk yang pertama kali, di Desa Karang-Pete beberapa bulan yang lampau.
Dan, seperti perkiraan saya, gendhing yang paling sukar adalah Ladrang Dwirada-Meta, yang tabuhannya cukup ruwet, dan harus ‘suwuk gropak’ (ditabuh sangat keras, lalu berhenti mendadak dalam irama yang sangat cepat). Beberapa kali kami berlatih penggarapan gendhing ini dengan susah payah. Beberapa penggarapan gendhing ini kali gagal total dan rusak, terutama saat suwuk gropak, yang saya pandang amat sangat berrisiko itu. Setelah berlatih selama tiga minggu terus-menerus dan gendhing yang super sukar itu diulang beberapa kali pada setiap sesi latihan, maka akhirnya Ladrang Dwirada-Meta itu berhasilkan dimainkan secara sempurna, lengkap dengan suwuk gropak-nya. Saya masih ingat benar, pada saat untuk pertama kalinya, Ladrang Dwirada-Meta itu lengkap dengan suwuk gropak-nya sukses dimainkan tanpa kesalahan sedikitpun, para pradangga yang sudah ‘sepuh-sepuh’ itu berteriak-teriak gembira seperti anak-anak kecil saja, sambil saling bersalaman! Luar biasa menyenangkan melihat peristiwa itu.
Kegembiraan itu, belum berakhir. Setelah sesi latihan selesai, untuk ‘memperingati’ kesuksesan memainkan Ladrang Dwirada-Meta yang super sukar itu, semua ‘nayaga sepuh’ itu, lalu berkumpul di ruang latihan, sambil tertawa-tawa gembira mereka minum kopi dan teh bersama-sama, sambil menikmati hidangan goreng pisang hangat. Mereka seakan tak ingat lagi bahwa mereka semua sudah berumur, sudah pada ‘sepuh’ semuanya. Latihan hari itu, saya ingat benar, berlangsung lebih lama dari biasanya, dan sampai agak larut malam baru selesai. Sebenarnya, yang membuat lama bukanlah latihannya, tetapi berbincang-bincang membicarakan kisah ‘succes story’ saat memainkan Ladrang Dwirada-Meta yang super sukar itu.

Setelah berlatih hampir tiga bulan lamanya, akhirnya sampailah pada hari pagelaran yang ditunggu-tunggu. Pak Sukardjo yang telah dengan amat sangat serius dan penuh semangat ‘empat lima’ berlatih sabetan, sulukan, antawacana (dialog), dan janturan (narasi); hampir setiap hari, selama tiga bulan penuh itu, akahirnya siap juga untuk ‘madeg dadi dhalang’. Malam itu, Pak Sukardjo dalam pakaian adat gaya Surakarta, tampak jauh lebih berwibawa dari pada yang terlihat sehari-hari. Tubuhnya yang tinggi besar dan agak gemuk, tampak gagah dengan ‘keris ladrangan’ diselipkan di bagian belakang beskap-nya. Bersama-sama dengan sejumlah pejabat pemerintah setempat, ia duduk bersama-sama dengan Mbak Jaenah, seorang pesindhen muda belia dari Bringin (di sebelah utara Kota Sala-Tiga), yang saat itu sedang naik daun dan sangat terkenal. Ia, sebenarnya merupakan seorang gadis remaja, yang baru beumur sekitar 17 tahun. Mbak Jaenah, terkenal tidak saja karena cantik dan sexy, tapi juga karena suaranya amat sangat merdu. Puluhan pasang mata para tamu diam-diam banyak yang melirik dan memandang penuh kekaguman oleh pesona pada Mbak Jaenah. Dan, Mbak Jaenah rupanya juga tahu bahwa ia menjadi bahan lirikan para tamu pria yang terkagum-kagum. Ia rupanya juga senang menjadi bahan gunjingan para tamu pria itu. Menebarkan senyum manis penuh gemas, Mbak Jaenah dan Pak Sukardjo yang malam itu memakai gelar Ki Sukardjo, membuat pagelaran wayang kulit purwa malam itu benar-benar semarak sampai pagi hari. Dan, tanpa terasa, tiba-tiba saja Ayak-ayak Pamungkas sudah terdengar mengalun, menandakan seluruh pagelaran wayang kulit purwa itu selesai. Semuanya, pulang dengan kenangan masing-masing, termasuk kenangan atas senyum manis Mbak Jaenah yang suara merdu sindhenan-nya akan diam-diam akan menjadi kenangan manis yang tak terlupakan sepanjang hayat….

SAAT PERTAMA KALI BERKENALAN DENGAN PAGELARAN WAYANG KULIT PURWA GAGRAK PESISIR


Semula, saya hanya bermimpi untuk bisa melantunkan ‘tembang suluk Pesisir’. Dan hal ini sudah berlangsung bertahun-tahun yang lampau. Selama ini, ketertarikan saya justru bukan di bidang ‘tembang’, tetapi lebih banyak ke bidang rancangan ‘ricikan gamelan’ (instrumen gamelan). Karena itu pula, maka judul skripsi saya adalah ‘Gamelan Jawa’. Isinya tentu saja segala hal tentang ricikan gamelan Jawa, sejak dari filosofinya, para pembuatnya, teknik pembuatannya, dan segala renik-renik yang semuanya berhubungan dengan ricikan gamelan Jawa. Namun, pada sekitar tahun 1980-an, dalam rangka pelaksanaan penelitian lapangan untuk menyusun skripsi saya itu, tiba-tiba saja saya mendapat kesempatan melihat suatu pagelaran wayang kulit purwa yang sangat aneh. Pagelaran ini, dilaksanakan di Desa Dhadhap-Ayam, yang lokasinya beberapa kilometer ke sebelah timur-laut Kota Salatiga, di suatu wilayah pedalaman dan pegunungan yang sunyi. Pagelarannya sendiri dilakukan di pendapa kantor kelurahan. Saya ke sana, bersama seorang sahabat saya, yang juga sedang menyusun skripsi, yaitu Mas Didi Sunardi. Berdua saya berangkat menjelang sore hari ke Desa Dhadhap-Ayam menggunakan sebuah mobil pick-up dari Kota Salatiga.
Pagelaran wayang kulit purwa berlangsung seperti biasanya. Seakan-akan tidak ada yang aneh. Tetapi segera setelah pagelaran dimulai, setidaknya mulai saat ‘gendhing sore’ mulai dibunyikan, saya seperti mendengar ada nada yang aneh. Terlebih lagi, saat  dhalang memulai pagelarannya, mulailah secara sadar saya merasakan beberapa keanehan atau bolehlah disebut kejanggalan. Antara lain:
  • Gamelan yang dipakai adalah jenis ‘gamelan nggunung’ yang ukuran fisiknya relatif kecil, dan hanya memakai gamelan laras slendro. Jenis gamelan ini menghasilkan getar nada suara yang relatif pendek. Besar kemungkinan hal ini disebabkan ukuran fisiknya yang relatif kecil.
  • Dhalang-nya sudah tua, dan dinyatakan oleh penduduk setempat sebagai ‘dhalang tiban’, yang hanya memainkan wayang sekali setahun, yakni hanya untuk acara ‘ruwat desa’ atau ‘merti desa’ (bersih desa). Di luar acara itu, beliau dikenal sebagai seorang petani setempat dan tidak pernah melakukan pagelaran wayang kulit purwa.  
  • Permainan gendhing dan karawitan-nya terdengar agak berbeda dibandingkan dengan permainan karawitan gaya Surakarta atau Yogyakarta; meskipun secara umum gendhing-gendhing-nya bisa kita temukan pada permainan karawitan gaya Surakarta atau Yogyakarta.
  • Bunyi ‘keprak’ yang dimainkan oleh dhalang juga unik. Bentuk rupa keprak-nya sama dengan keprak wayang gaya Surakarta, yakni berupa  beberapa lempeng-lempeng logam yang relatif luas permukaannya. Begitu juga bunyi keprak-nya, seperti keprak gaya Surakarta (berbunyi ‘jrek jrek jrek’), tetapi cara membunyikannya sangat mirip dengan bunyi keprak gaya Yogyakarta (Mataram).  Begitu pula gaya membunyikan gedhog-nya.
  • Gaya permainan dan wayangnya, sebenarnya sangat mirip dengan gaya Surakarta, tetapi gaya bahasa yang digunakan untuk ‘janturan’ (narasi), sangat mirip dengan janturan gaya Mataram Lama, yang pada pagelaran wayang kulit purwa gaya Mataram (Yogyakarta) sendiri, bahkan gaya ini sudah lama ditinggalkan dan tidak pernah dipakai lagi.
  • Gaya ‘anta-wacana’ (dialog) yang dipakai sangat khas, dan sangat mirip dengan gaya anta-wacana yang lazim dipakai pada pedhalangan gaya Mataram Lama, yang para dhalang wayang kulit purwa gaya Mataram sekalipun, sudah tidak pernah lagi memakai.
  • Beberapa penyebutan nama kerajaan, sangat berbeda. Seperti misalnya, Kerajaan Dwarawati, disebut sebagai Kerajaan Jenggala-Manik.
  • Seluruh tembang sulukan dhalang, yaitu pathetan, sendhon, dan ada-ada; semuanya menerapkan komposisi nada ‘slendro barang miring’ (minor). Tentang hal ini, saya saat itu menanyakan kepada seorang pradangga dan mendapat jawaban bahwa itu merupakan kekhasan ‘gagrak Pesisir’ (gaya Pesisir). Begitu pula alunan nada suara sindhenan-nya.
  • Pagelaran wayang kulit purwa semalam suntuk yang berlangsung itu, memakai ‘kecer wayang’ sepanjang malam. Hanya saja, karena ricikan kecer wayang-nya saat itu tidak tersedia, maka seorang pesindhen dengan kreatifitasnya memakai sebuah piring makan (berbahan keramik putih), sendok dan garpu; yang dibunyikan persis seperti bunyi kecer wayang. Untuk yang satu ini, saya bahkan sempat belajar mendadak kepada ibu pesindhen, dan mencoba memainkannya dengan agak susah payah selama beberapa saat.
  • Ricikan gong ageng yang digunakan, tidak seperti gamelan pada umumnya, karena memakai gong ageng yang nadanya seperti gong suwukan bernada 1 laras slendro, tetapi berukuran fisik lebih besar dan menghasilkan suara berat dengan ‘ombak-ombakan’ (alunan nada) yang cepat. Sehingga bunyinya menjadi ‘jiiiiiiiriiiriiiriiir’. Bunyinya, sangat mirip dengan suara gong ageng pada gamelan Bali.
Pada awalnya, saya tidak terlalu memperhatikan bunyi seluruh gamelannya. Tetapi saat saya mendengar gong ageng dibunyikan, baru terasa sangat aneh. Misalnya, gendhing jatuh pada gong bernada enam, tetapi yang terdengar dibunyikan adalah gong suwukan bernada 1 laras slendro. Untuk beberapa saat, saya merasa tidak saja aneh, tetapi juga merasa tidak nyaman saat mendengarkannya. Bayangkan saja, ada adegan budhalan wadya, memakai iringan Lancaran Manyar-Sewu, tetapi gong yang dibunyikan sebagai gong terakhir, adalah gong suwukan bernada 1 laras slendro, padahal nada akhir gendhing-nya jatuh pada nada tiga. Begitu juga saat adegan jejeran, gong ageng yang dibunyikan bernada 1 laras slendro. Juga pada setiap akhir pathetan, sendhon, atau ada-ada; dibunyikan gong ageng bernada aneh itu. Ada sekitar satu jam kira-kira, saya merasa tidak nyaman dengan bunyi nada aneh itu. Tetapi selewat itu, entah karena apa, pelan-pelan saya jadi merasa ‘normal’ setiap kali mendengar gong ageng itu dibunyikan. Selewat jam yang kedua, saya sudah bisa menikmati pagelaran wayang kulit purwa yang ajaib itu tanpa merasa ada keanehan sedikitpun.

Udara yang dingin di Desa Dhadhap-Ayam, saat berlangsungnya pagelaran wayang kulit purwa, membuat pesindhen menikmati hangatnya rokok kretek....

Pagelaran wayang kulit purwa dalam rangka ‘merti desa’ itu berlangsung secara meriah. Saya dan sahabat saya Mas Didi Sunardi, selama pagelaran wayang berlangsung, ditemani oleh Pak Lurah, yang orang Jawa, tetapi ternyata seorang tentara, anggauta RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat), yang sebutannya kemudian berganti menjadi ‘Pasukan Sandhi Yudha’, lalu sekarang berganti menjadi ‘Komando Pasukan Khusus’ (Kopasus). Pak Lurah ini, yang duduk semalam suntuk menemani saya dan sahabat saya itu, tidak berpakaian sipil, tetapi memakai pakaian loreng seragam tempur pasukan khusus, lengkap dengan menenteng senapan serbu AK-47. Secara bergurau, saya sempat bertanya mengapa beliau memakai pakaian seragam dan membawa senjata siap tembak. Sambil tertawa terbahak-bahak, beliau menjawab: “Daerah sini masih rawan Mas. Banyak rampog, ‘begal’, dan ‘kecu’. Saya harus siap sedia setiap saat, kalau terjadi apa-apa.” Satu hal lagi, Pak Lurah yang anggauta pasukan khusus itu, ternyata ‘drop-dropan’ dari Markas RPKAD, Batu-Jajar, Bandung. Jadi, kami bertiga lalu memakai bahasa ‘sandi’, yang hanya dimengerti oleh kita bertiga, yaitu bahasa Sunda….

Bagian terakhir pagelaran wayang kulit purwa gaya Pesisir yang dilaksanakan di Desa Dhadhap-Ayam, menampilkan adegan 'Tari Golek', memakai dua buah wayang golek putri...

Itu merupakan saat pertama kali perkenalan saya, yang benar-benar nyata dengan pagelaran wayang kulit purwa yang memakai gaya Pesisir. Sampai sekarang, saya juga merasa masih aneh. Yakni, mengapa pagelaran wayang kulit purwa gaya Pesisir, saya temukan justru di pedalaman dan di wilayah pegunungan, yang benar-benar jauh dari wilayah pesisir. Pagi harinya, setelah seluruh pagelaran wayang kulit purwa itu selesai. Hanya dalam waktu sekitar satu jam, seluruh kelengkapan pagelaran wayang itu sudah selesai dikemas. Dan, sekitar jam tujuh pagi. Para nayaga yang malam tadi nabuh gamelan semalam suntuk, pagi itu semuanya memanggul ricikan gamelan dan kotak wayang, yang ternyata semuanya dilengkapi dengan lubang-lubang besar pada setiap sisi-sisinya, yang digunakan untuk memasukkan batang bambu, yan akan dipakai untuk memanggul. Hanya dalam waktu beberapa menit, seluruh gamelan, kotak wayang, layar wayang, beserta seluruh kelengkapannya, sudah lenyap dari pandangan mata saya. Para nayaga itu, ternyata orang-orang gunung yang sangat tangguh dan kuat. Seluruh peralatan pagelaran itu, dipanggul memakai batang-batang bambu panjang dan dibawa menyusuri pematang sawah pegunungan ke desa lainnya. Sungguh sangat luar biasa dan menakjubkan…..

PESISIR

Jika mendengar kata ‘pesisir’, maka asosiasi kita segera terbayang pantai yang luas membiru, dengan pemandangan yang indah, lengkap dengan sejumlah perahu layar dan perahu nelayan. Lalu, terbayang sejumlah wisatawan sedang bercengkerama di pasir pantai yang bersih. Lalu, terbayang juga sejumlah anak-anak sedang bermain pasir, lengkap dengan jeritan dan teriakan gembira, saat ujung lidah ombak samodra menyapu bangunan pasir yang dibangunnya. Kadang juga terbayang matahari saat terbit atau tenggelam. Itu bayangan ‘klise’ kebanyakan orang. Memang tidak salah sih. Dan, sebut saja sisi ini adalah ‘sisi indah pesisir’. Tentang cerita yang berhubungan dengan soal senang-senang, wisata, dan indah ini; rasanya tak perlu diceritakan lagi. Sudah terlampau banyak cerita tentang itu. Tapi, pesisir juga menyimpan sisi-sisi kelam dan sendu, yang bisa membuat kita seketika terdiam trenyuh dan meneteskan air mata saat menemukan dan melihatnya. Dan, sebut saja sisi ini adalah ‘sisi kelam pesisir’. Karenanya, jangan hanya mengunjungi lokasi pariwisata semata. Sebab, jika hanya lokasi ini yang kita kunjungi, maka kita hanya memperoleh gambaran tidak lengkap tentang pesisir.

Mobil ‘Colt’ tua buatan Jepang itu, dengan bak barang yang sudah reot, berjalan perlahan terseok-seok di jalanan antar kampung yang kering kerontang. Di sisi jalan itu, terlihat deretan pohon asam, yang daunnya rontok dimakan sinar matahari yang begitu terik. Tapi, pohon asam itu tetap bertahan dengan batang tuanya yang besar dan kuat. Colt tua bermuatan ikan dalam keranjang-keranjang besar itu, sedang menuju pasar di kota, setelah memuati bak tuanya di tempat pelelangan ikan tadi pagi. Sang pemilik ikan-ikan itu, duduk di kabin depan sambil membayangkan keuntungan yang akan diperoleh, saat ia sampai di pasar nanti. Sementara, di tempat pelelangan ikan, Wardi memandangi uang yang didapatnya dari lelang ikan yang tadi berhasil dijualnya. Hasilnya hari ini, tidak terlalu banyak. Ia masih harus menyisihkan untuk membayar sewa perahu kepada juragan, membayar solar, membayar hutang, membayar kawan-kawan seiringnya yang bersama-sama dirinya menangkap ikan, lalu masih harus memikirkan uang untuk makan keluarganya, juga uang sekolah anak-anaknya. Sisanya tidak banyak dan benar-benar habis dibagi seluruh kebutuhannya. Wardi berjalan gontai bersama rekan kerjanya, ditimpa panas teriknya matahari. Badannya terlihat lebih kurus dari tiga empat tahun yang lampau. Kulitnya hitam legam. Keringatnya menetes di dahinya. Ada perasaan sedih, saat ia memikirkan besar uang yang akan diberikannya kepada isterinya. Bertiga mereka berjalan pelan sambil saling berdiam diri. Masing-masing dengan pikiran dan lamunannya sendiri.
Dari kejauhan, isterinya melambaikan tangan kepadanya sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Sejenak Wardi memandang wajah isterinya yang penuh harap. Wardi tak berani memandang mata isterinya. Ada perasaan malu kepada isterinya. Cepat-cepat tangannya dijulurkan kepada isterinya sambil menggenggam uang dan menyerahkannya kepada isterinya. Isterinya sedikit tertegun memandang uang di telapak tangannya yang tak seberapa itu. Tapi, itu hanya berlangsung sekejab. Tiba-tiba saja isterinya berkata: “Mas Wardi, ayo kita ke rumah. Kita makan ya bersama anak-anak. Tadi saya sudah menanak nasi. Lauknya seperti biasa Mas, ikan asin, tempe goreng, dan sambal. Pasti Mas Wardi lelah ya? Ayo sekarang saja Mas,” begitu celoteh isterinya sambil menarik tangan Wardi. Sementara teman-teman Wardi berpamitan kepadanya dan menuju rumah masing-masing. Wardi memandang teman-teman kerjanya, sambil membayangkan apa yang akan mereka katakan kepada isteri masing-masing. Selama ini, memang sahabat-sahabatnya itu tak pernah berkata apa-apa tentang ‘uang pendapatan hari ini yang hanya secuil’ itu. Tak ada keluhan apa-apa. Mungkin mereka juga menyadari keadaan yang mereka hadapi bersama.

Di rumah gubuk bambunya yang reyot dan sebenarnya tak layak huni, Wardi makan bersama isteri dan anak-anaknya. Mimpinya tentang hidup ‘sejahtera’ seperti yang sering ia dengar saat para calon wakil rakyat dan calon pemimpin di daerahnya berkampanye, seakan semakin jauh saja dari kenyataan. Wardi seperti tenggelam begitu saja ke dalam kubangan lumpur kemiskinan tak bertepi. Sudah bertahun-tahun ia bermimpi mempunyai perahu sendiri.  Perahu bekas juga tidak apa-apa. Tapi harga perahu bekas sekalipun, benar-benar tak terjangkau olehnya. Semakin lama, Wardi merasa semakin yakin, bahwa orang-orang seperti dia, hanya punya hak bermimpi, tapi sepertinya tak pernah punya kesempatan membuat mimpinya menjadi kenyataan. Tapi, ia juga sering memikirkan, bagaimana ia dan sahabat-sabahatnya itu masih bisa bertahan hidup dalam kondisi dan situasi yang menyedihkan seperti itu. Mimpinya sebenarnya juga tak muluk-muluk. Sekedar bermimpi mempunyai perahu sendiri untuk melaut. Tak lebih dari itu! Perahu itulah yang ia bayangkan bisa mengubah hidupnya suatu saat nanti. Mimpi punya perahu! Ya, punya perahu sendiri! Mimpi dan harapannya hanya itu…

Kemiskinan seperti itu, sebenarnya tidak hanya terjadi di wilayah pesisir saja, Di tempat-tempat lain juga ada kemiskinan seperti itu. Kalaupun ada perbedaan, hanya terlihat dari situasi dan kondisi yang terjadi di sekitarnya. Sedangkan soal kemiskinannya, sebenarnya sama sekali tidak berbeda. Di sisi-sisi pinggir kota besar, selalu bisa kita temukan kemiskinan yang parah. Orang kota sering menyebutnya sebagai ‘orang pinggiran’. Sebutan yang menyakitkan, karena mempunyai konotasi mereka itu diabaikan dan bisa jadi juga sering dilecehkan. Harga diri di wilayah-wilayah ini seperti tak ada. Semuanya lalu, seperti bisa dihitung dan dihargai dengan sekedar beberapa lembar uang yang nilainya tak sepadan. Kehidupan yang compang-camping, menimbulkan aroma yang tak sedap. Bagi orang kota, semuanya ini merupakan aroma yang tak sedap. Tak sedap dipandang mata, tak sedap diberitakan, tak sedap dibicarakan, dan juga tak sedap untuk diperjuangkan; karena jelas tidak menghasilkan apa-apa bagi mereka yang duduk sebagai wakil rakyat atau pemimpin. Memandang mereka dengan sebelah matapun tidak.  

Derita, kesulitan hidup, ganasnya alam, kemiskinan, dan kehidupan yang penuh penderitaan; di manapun di dunia ini, selalu menghasilkan kelompok masyarakat yang lalu mengekspresikan semua itu dalam bentuk-bentuk budaya dan kesenian setempat. Mungkin kita sudah melupakan, dulu sekitar tahun 1960-an, wilayah Wono-Giri, Gunung Kidul, dan Pacitan; merupakan wilayah minus yang gersang, tandus, tidak banyak tanaman pertanian yang bisa tumbuh di wilayah ini, wilayahnya merupakan pegunungan kapur, sulit mendapatkan air, dan dulu wilayah-wilayah ini lebih dikenal sebagai suatu wilayah yang penduduknya hidup miskin, serta merupakan wilayah ‘HO’ (singkatan dari bahasa Belanda ‘honger oedeem’), istilah untuk penyakit kurang makan, kurang gizi; yang berakibat kaki bengkak (disebut penyakit ‘kaki gajah’).  Gaplek dan gogik, merupakan makanan sehari-hari. Tanaman singkong dan sedikit jagung, merupakan sedikit tanaman pertanian yang masih bisa tumbuh di wilayah kering kerontang ini. Udara di wilayah ini benar-benar bersuhu tinggi (panas) terik dengan debu kapur yang selalu beterbangan, setiap kali angin bertiup. Dan, apa yang pada itu dan masa-masa penuh kesulitan itu dihasilkan dari wilayah Wono-Giri, Pacitan, dan Gunung Kidul? Tak lain dan tak bukan, salah satunya adalah suara-suara merdu pesindhen-nya. Banyak sekali pesindhen yang bagus berasal dari wilayah itu dan sekitarnya. Dari negeri-negeri seberang yang jauh, kita juga bisa mendapati adanya fenomena yang sama. Misalnya, dari wilayah-wilayah pedalaman pegunungan terjal di Asia Kecil, Eropa Tengah, dan Eropa Timur; yang selama berabad-abad masyarakatnya dulu hidup dalam kesulitan luar biasa. Contohnya lalu ada tembang-tembang sendu yang berasal dari wilayah pedalaman pegunungan Eropa Timur. Atau, dari wilayah pada pasir di sekitar Arabia yang tandus dan gersang. Atau, dari wilayah sekitar gurun Sahara, di Afrika Utara.
Dari semua wilayah di dunia ini, selalu saja ada wilayah-wilayah tertentu yang kehidupannya begitu sukar mendera masyarakat setempat selama bertahun-tahun, bahkan ratusan tahun. Kehidupan yang sukar, akan selalu membuat manusia bermimpi dan berharap. Karena, hanya dengan bermimpi dan berharap itulah, manusia bisa bertahan hidup. Jadi, sekali lagi, mimpi dan harapanlah yang membuat manusia bisa bertahan hidup. Kekuatan mimpi dan harapan itulah, yang lalu membuat manusia lalu menyalurkan seluruh perasaan sedihnya dalam berbagai bentuk seni (seni lukis, seni patung, seni suara, seni musik, dan juga seni tari). Seni yang dihasilkan, merupakan ekspresi dari seluruh kehidupannya. Ini yang dengan segera membedakannya dengan seni yang dihasilkan oleh masyarakat yang hidupnya tidak pernah mengalami kesulitan.  Bagi mereka yang sehari-hari bergumul dengan kesulitan hidup, ekspresi seni merupakan bagian dari hidupnya. Bagian dari cara untuk menyampaikan mimpi-mimpi dan harapannya. Karena itulah, ekspresi seni yang diungkapkan lalu cenderung bernada sedih, sendu, muram, syahdu, melankolis, dan juga romantis; seiring dengan segala kesulitan hidup yang menderanya setiap saat.

Mimpi dan harapan itulah yang akhirnya menjadi salah satu kekuatan luar biasa untuk tidak saja bertahan hidup, tetapi juga menampilkan berbagai bentuk seni yang sangat khas. Dalam beberapa hal, mimpi-mimpi dan harapan itu juga larut dalam berbagai ritual adat yang berkembang sejalan dengan kepercayaan yang dianut dan hidup dalam kelompok-kelompok masyarakat itu. Maka kita lalu bisa mengenal dan melihat berbagai upacara adat bermunculan di wilayah-wilayah kelam itu. Awalnya, tentu saja kepada nenek-moyang merekalah dilantunkan doa dan mantera untuk memohon kesejahteraan dan keselamatan hidup. Lalu, setelah agama mulai memasuki kehidupan mereka, berbagai kepercayaan itu larut dan menyatu dengan berbagai agama yang kemudian dipeluk. Hal yang sama, berlangsung pula di wilayah-wilayah kelam Nusantara, yang dulu kita kenal sebagai wilayah minus yang gersang, kering kerontang, dan penuh dengan derita serta kegetiran hidup.

Lalu bagaimana dengan wilayah sepanjang pantai? Cobalah kita cermati wilayah pantai, terutama di sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Kehidupan penuh kemiskinan yang mendera masyarakatnya, kehidupan di lautan yang seringkali ditimpa badai ganas dan ombak besar, banjir bandang di musim hujan, atau sebaliknya musim kemarau yang membuat semua pepohonan benar-benar rontok daunnya karena suhu udara yang sangat tinggi; semua itu juga berakibat masyarakat menjadi bermimpi dan berharap. Di wilayah-wilayah seperti ini, kehidupan berkesenian lalu berkembang sebagai sarana untuk menghibur diri dari kesengsaraan hidup. Tetapi, seperti apa yang diajarkan oleh berbagai agama dan kepercayaan, ‘kemelaratan seringkali cenderung membuat orang berubah menjadi kufur’. Dan, ‘kufur’ artinya adalah segala peri-laku yang sifatnya mengeksploitasi naluri rendah manusia, bahkan mungkin juga mendekati peri-laku biadab. Bagian dari kehidupan yang terlampau sengsara, umumnya memang menghasilkan berbagai peri-laku yang negatif; meskipun semuanya juga didasarkan atas mimpi dan harapan. Pada kondisi dan situasi yang seperti ini, berbagai bentuk seni yang tumbuh dan berkembang, cenderung merupakan seni dan budaya yang amat sangat mengeksploitasi naluri rendah manusia. Ini harus dianggap wajar, karena tujuannya adalah menghibur diri dan menyenangkan diri; melupakan sejenak segala penderitaan hidup. Maka kita tidak perlu tercengang, saat melihat kenyataan bahwa kesenian yang disukai juga yang sangat mengeksploitasi soal kesenangan duniawi itu. Misalnya, dangdut, dangdut koplo, dongbret, tayub, ronggeng, atau bentuk kesenian sejenisnya. Berbagai pertunjukan yang mengeksploitasi mimpi dan harapan, menjadi sangat laku di kalangan masyarakat yang hidup sengsara. Itu pula yang membuat serial sinetron televisi yang sangat mengeksploitasi kehidupan mewah kota besar yang penuh dengan berbagai mimpi dan kemudahan hidup, dan seringkali bahkan sampai pada tingkat tidak masuk akal, menjadi salah satu tontonan yang sangat disukai. Misalnya seperti di bawah ini...


http://www.youtube.com/watch?v=Ub-eQHAGJ6U

Lalu, dimanakah letak karakter sendu, syahdu, romantis, dan melankolis? Jika kita mulai mencermatinya, maka semua karakter ini seperti sama sekali tidak ada di wilayah-wilayah yang masyarakatnya hidup terlampau sengsara. Benarkah demikian? Ternyata tidak! Bagian dari segala kontradiksi ini muncul seketika, saat mereka mulai mengekspresikan perasaannya, kesengsaraan hidupnya, keinginannya, dan juga kesedihannya. Karena itu, muncullah berbagai bentuk rupa kesenian yang sangat mengeksploitasi segala kesengsaraan, kesedihan, mimpi-mimpi, dan segala harapan mereka. Karena yang dieksplotasi adalah kesedihan, kesengsaraan, derita hidup yang berkepanjangan, dan ketidak-mampuan mereka; maka yang tumbuh adalah berbagai bentuk seni yang cenderung bernuansa sendu, sedih, romantis, dan melankolis. Karena itulah, kesenian mereka itu, jika ditampilkan memakai gamelan, lalu lebih cenderung memakai nada-nada yang sendu, yakni ‘laras slendro barang miring’, yang memang menggunakan nada-nada ‘minor’. Segala hal yang menyedihkan dan menyengsarakan itu, lalu seakan didramatisasi dalam berbagai bentuk seni, syair, tembang, sastra, cerita, ungkapan kalimat, atau puisi. Sesekali, coba lihat dan cermati ungkapan kalimat yang ditulis di bagian belakang bak truk antar kota jarak jauh. Kalimat seperti ‘doa ibu’, ‘aku pasti akan kembali’, ‘rindu kamu’, ‘mau pulang malu, tapi rindu’, atau ‘aku pasti pulang sayang’; merupakan kalimat-kalimat yang penuh dengan ungkapan melankolis; yang mewakili seluruh kehidupan dan derita yang dialami para penjelajah jalanan antar kota ini. Ungkapan kalimatnya, umumnya mengandung mimpi dan harapan.

Kecenderungan lain, yang juga patut untuk dicermati, adalah tumbuhnya rasa berterima-kasih kepada Sang Penguasa Jagat Raya, jika seseorang yang hidupnya sengsara dan miskin, menerima suatu karunia atau berkah, meskipun jumlahnya mungkin kecil, dan barangkali untuk ukuran orang kota bisa dikatakan ‘tidak ada apa-apanya’ (maksudnya, benar-benar kecil dan sama sekali tak berarti). Saat mereka mendapatkan sedikit kesenangan, karena hasil jerih payahnya menghasilkan uang, maka pada setiap hari dan bulan tertentu, mereka lalu melakukan suatu ritual untuk menyampaikan rasa terima-kasihnya kepada Sang Penguasa Jagat Raya, atau kepada sesuatu yang dipandang sebagai penguasa kehidupannya. Dalam hal kepercayaan animisme, maka segala unek-unek dan perasaannya itu, lalu disampaikan kepada arwah nenek-moyangnya. Saat ada hal-hal kecil semacam itu, maka muncul pula sebuah kebahagiaan luar biasa, yang orang-orang kota besar tak pernah bisa memahami atau merasakannya. Hal itu, disebabkan, hidup mereka yang benar-benar sengsara dan penuh derita. Maka, saat ada sedikit kegembiraan dan kebahagiaan, segera saja mereka berterima-kasih kepada Sang Penguasa Jagat Raya. Secuil kebahagiaan, yang bisa membuat sekelompok orang menjadi sangat religius seketika. Itulah yang terjadi pada sekelompok masyarakat penuh derita ini.
Jadi, ringkasnya pesisir dan/atau kelompok-kelompok orang yang dipinggirkan, sebenarnya mempunyai tiga karakter yang benar-benar sangat berlawanan. Mereka adalah masyarakat yang dipinggirkan oleh berbagai kondisi dan keadaan. Kesulitan hidup yang mendera setiap hari, badai dan topan yang bertiup tanpa ampun, banjir bandang yang menghanyutkan segala harapan, lalu kekeringan yang menguapkan segala mimpi-mimpi, dan gelombang besar yang menghancurkan segala sendi kehidupan; telah menghasilkan tiga karakter yang benar-benar berbeda, yaitu:
  1. Karakter dan peri-laku yang cenderung mengeksploitasi keinginan untuk memenuhi perasaan ingin menikmati kesenangan sejenak, yang tujuannya untuk melupakan dan melarikan diri dari berbagai kesulitan hidup, penderitaan, kesengsaraan, kemelaratan, kemiskinan, dan berbagai penderitaan yang dialami.
  2. Karakter dan peri-laku yang cenderung mengeksploitasi keinginan untuk memenuhi perasaan ingin mengekspresikan diri dalam berbagai bentuk kesenian dan budaya, yang tujuannya menampilkan ekspresi diri.
  3. Karakter dan peri-laku yang cenderung mengeksploitasi keinginan untuk memenuhi rasa berterima-kasih kepada Sang Penguasa Jagat Raya.
Tembang Suluk Pesisir, sebagai suatu kelompok kecil yang berusaha untuk mempertahankan, mempelajari kembali, mengajarkan, dan mengembangkan budaya Pesisir; khususnya dalam bidang ‘tembang suluk’, bisalah dimasukkan ke dalam kategori yang kedua. Mudah-mudahan segala upaya ini menghasilkan pemahaman dan membuat budaya Nusantara menjadi lebih semarak.

Selasa, 02 Juli 2013

PAGELARAN WAYANG KULIT PURWA PERTAMA, BERSAMA SEMBILAN BIDADARI KECIL

Bayang-bayang dalam pagelaran wayang kulit purwa, membuat kita merenungkan tentang hidup kita di alam janaloka...


Kala itu, sekitar tahun 1966. Saya masih anak-anak, baru berumur sekitar 14 tahun, dan masih duduk di kelas dua Sekolah Menengah Pertama Negeri I (SMPN-I). Lokasi sekolah saya, di Jl. Kartini, Kota Salatiga. Selama tinggal di Kota Salatigaitulah saya belajar menabuh gamelan. Pertama kali belajar menabuh gamelan, sayaikut bergabung dengan para pegawai PN Perhutani,[1] Brigade Planologi Kehutanan,[2]  tempat ayah saya bekerja sebagai Kepala Brigade Planologi. Kelompok para pegawai itu, membentuk grup kesenian Jawa di kantor, dan berlatih secara rutin setiap hari Jum’at siang, seusai sholat Jum’at, mulai dari pukul dua siang sampai sore hari. Latihan berakhir sekitar pukul lima sore. Acara itu, berlangsung terus secara rutin selama sekitar setahun. Pertama kali, saya belajar menabuh ricikan‘saron barung’, lalu berikutnya saya belajar menabuh ricikan ‘bonang barung’. Pada awalnya, setiap kali latihan karawitan itu, saya selalu ditemani ibu saya.[3]  Ibu saya waktu itu, juga belajar menabuh gamelan. Biasanya beliau menabuh ricikan bonang barung. Sedangkan saya menabuh ricikan saron barung. Pelatih karawitan kelompok para pegawai itu, adalah Pak Hardja Prewita, seorang nayaga wayang kulit purwa senior dari Desa Karang-Pete.

Seperti lazimnya siswa yang baru saja belajar menabuh ricikan gamelan, kepada saya dan para pegawai yang ikut latihan karawitan, untuk pertama kalinya diperkenalkan sejumlah ‘gendhing standard’. Misalnya, Lancaran Manyar-Sewu dan Lancaran Ricik-ricik, kemudian juga diperkenal dengan gendhing Ladrang Slamet; yang pada masa selanjutnya, saya agak bingung, saat di tempat lain gendhing Ladrang Slamet ini disebut Ladrang Wilujeng. Setelah latihan karawitan berlangsung sekitar sebulan, kepada kita semua diperkenalkan gendhing Ladrang Asmarandana dan Ladrang Pangkur. Semuanya memakai gamelan Laras Pelog Pathet Barang, karena di kantor ayah saya itu, gamelan yang ada hanya berlaras Pelog. Itulah pertama kalinya saya berkenalan dengan gamelan. Setelah itu, untuk lebih memperdalam pengetahuan tentang cara menabuh gamelan itu, saya lalu ikut dengan sebuah grup karawitan yang didirikan oleh Pak Hardja Prewita di Desa Karang-Pete. Grup karawitan itu, namanya ‘Laras Mudha Irama’. Anggautanya tentu saja anak-anak sebaya saya. Latihannya dilakukan di rumah Pak Hardja Prewita, di Desa Karang-Pete, dua kali seminggu, setiap hari Rabu malam dan Sabtu malam.

Letak Desa Karang-Pete agak jauh dari tempat tinggal orang tua saya.  Kira-kira, berjarak lima kilometer, melalui jalan raya satu-satunya di Kota Sala-Tiga, yaitu Jalan Solo (sekarang kalau tidak salah disebut Jalan Jenderal Sudirman); ke arah utara menyusuri jalan raya, lalu belok ke arah timur, dan kemudian belok ke arah utara menyusuri Jalan Ngenthak. Menyusuri jalan ini, terus ke utara akan sampai ke Desa Karang-Pete. Jalannya agak naik-turun. Di masa itu, jalan yang menuju ke arah Desa Karang-Pete, khususnya setelah melewatu turunan Jalan Ngenthak, masih merupakan jalan desa berbatuan yang belum diaspal, gelap gulita jika kita melewatinya pada malam hari. Sepanjang jalan desa itu, sama sekali tidak ada lampu jalan. Lalu, juga melewati sebuah kuburan. Jika malam hari, selain gelap, juga sepi sekali. Hanya sesekali ada orang yang lewat atau berpapasan dengan orang yang naik sepeda. Saya, biasanya berangkat dari rumah sehabis magrib, setelah makan malam. Berpakaian sarung batik khas Jawa, memakai baju hangat, dan kadang-kadang memakai ikat kepala. Udara Kota Sala-Tiga saat itu terasa dingin sekali. Dari rumah sampai ke tempat tinggal guru saya, jika saya berjalan cepat, biasanya memakan waktu kira-kira tiga-per-empat jam. Karena jalannya naik-turun, maka sesampainya di rumah guru saya, biasanya badan saya berkeringat dan cukup hangat.

Setiap hari Rabu dan Sabtu malam, dengan diterangi sebuah lampu ‘petromax’, kita melakukan latihan karawitan sampai sekitar pukul sepuluh malam. Sesekali, latihan karawitan berakhir sekitar pukul setengah sebelas malam. Waktu itu, pulang malam hari ke arah pusat kota Sala-Tiga merupakan sebuah perjalanan yang terasa jauh, agak melelahkan, dan agak menakutkan bagi saya. Pertama, karena gelap sekali. Kedua, karena harus melewati kuburan itu. Ketiga, karena harus melalui jalan menanjak saat melewati Jalan Ngenthak dan Jalan Solo. Keempat,jelas karena badan sudah capai. Lelah atau tidak, begitu juga takut atau tidak;jalan itu toh harus saya lalui juga. Dan, itu berlangsung selama kira-kira tiga tahun, paling tidak ya setiap hari Rabu dan Sabtu malam. Gamelan yang dipakai latihan, adalah seperangkat gamelan besi sederhana, yang semua sumber bunyinya berbentuk ‘wilah’  (bilah) panjang. Hanya ‘kempul’  saja yang berbentuk bulat. Bahkan gong ageng-nya juga berbentuk dua bilah. Gong semacam ini lazimnya disebut‘gong jun’, karena di bawah kedua bilahnya diletakkan sebuah ‘jun’ tempat air berukuran besar, berbahan tembikar yang dibuat dari tanah liat. Kadang-kala juga disebut ‘gong anggang-anggang’, bentuknya seperti serangga air yang lazim disebut ‘anggang-anggang’. Mungkin agak aneh, melihat hampir semua ricikannya berbentuk bilah. Bahkan ricikan bonang barung, bonang penerus, kethuk, dan kenong; semuanya berbentuk bilah ataukotak, dengan tonjolan ‘pencu’ ditengahnya. Selama hampir tiga tahun, saya dan sejumlah sahabat-sahabat saya, berlatih memakai gamelan besi sederhana itu. Di depan seperangkat ricikan gamelansederhana itu, oleh guru saya dipasang sebuah ‘geber’ (layar wayang) sederhana, berbentuk empat persergi panjang, berukuran kira-kira 1,5 x2,5 meter. Pada bagian bawah geber wayang itu, dipasang ikatan jerami yang ‘dibongkok’ menjadi satu kesatuan dan diikat di beberapa tempat. Pada ‘bongkokan’jerami inilah ditancapkan wayang-wayang yang dipakai latihan ‘sabetan’ atau ‘jejeran’.

Selama enam bulan, saya berlatih penuh semangat bersama sahabat-sahabat kecil saya, yang sebagian merupakan murid SMP dan SD yang tinggal di Desa Karang-Pete. Saya merupakan satu-satunya murid guru saya yang bukan berasal dari Desa Karang-Pete, melainkan dari Desa Nggendhongan, jauh di sebelah selatan Desa Karang-Pete. Jumlah seluruh anggauta, ada sekitar lima-belas orang. Bahan yang dilatihkan adalah gendhing-gendhing  yang dipakai untuk pagelaran wayang kulit purwa semalam suntuk. Misalnya, jenis ayak-ayak, srepegan, sampak, lancaran, ketawang, ladrang, dan satu dua gendhing alit. Semua bahan latihan itu, dipersiapkan untuk dimainkan pada Pathet Nem, Pathet Sanga, dan Pathet Manyura; termasuk Gendhing Talu Wayangan dan Klenengan Wayangan. Mulai bulan ketiga, kami semua sudah berlatih karawitan memakai wayang kulit. Jadi sejak bulan ketiga itu, sifat latihannya sudah agak berubah menjadi latihan pagelaran wayang kulit secara lengkap. Semua nayaga-nya anak-anak sebaya saya, begitu jugapesindhen-nya.

Pada akhir bulan keenam, guru saya pada suatu hari mengumpulkan kami semua. Beliau mengatakan, bahwa perangkat desa hendak mengadakan ‘ruwatan merti desa’. Dan grup kesenian Laras Mudha Irama diberi kesempatan untuk melakukan pagelaran wayang kulit purwa secara lengkap semalam suntuk. Saat itu, baru terasa ada permasalahan serius. Pertama, di grup kesenian kami itu, tidak ada yang bisa memainkan ‘ricikan alusan’  seperti rebab, gender barung, gender penerus, siter, dan gambang. Kedua, semua anggauta grup karawitan Laras Mudha Irama ini, adalah anak-anak yang masih kecil, yang selama ini berlatih memainkan ‘ricikan balungan’, dan sama sekali belum pernah melakukan pagelaran wayang kulit purwa semalam suntuk. Saat pembicaraan itu dilakukan, kami semua sebenarnya amat sangat gembira. Tapi juga bertanya-tanya, bagaimana mengatasi kekurangan penabuh ricikan alusan itu. Setelah semua bahan pagelaran wayang itu dijelaskan oleh guru saya, beliau lalu menjelaskan bahwa pada pagelaran wayang kulit purwa nanti, yang bertindak sebagai dhalang bukan beliau, melainkan seorang dhalang muda dari desa lain. Sementara guru saya, akan bertindak sebagai pemain kendhang. Semula kami semua mengira beliau yang akan jadi dhalang-nya. Jika itu yang terjadi, maka justru hal itulah yang membuat kami semua khawatir, karena dengan demikian maka pemain kendhang-nya pasti orang lain. Sedangkan kami semua, sudah terlanjur terbiasa mendengar aba-aba kendhang  yang dimainkan beliau; dan sama sekali masih asing dengan aba-aba kendhang yang dimainkan orang lain. Setelah mendengar penjelasan beliau, kita semua menjadi lega.

Pada akhir pembicaraan, beliau menjelaskan juga bahwa khusus untuk sejumlah ricikan alusan, beliau akan meminta bantuan beberapa sahabatnya yang memang nayaga profesional di Kota Sala-Tiga. Saya masih ingat benar, empat dari lima orang sahabat beliau itu, adalah Pak Hardja Tingtong, Pak Hardja Cukur, Pak Suparmin, dan Pak Musrin. Orang pertama, adalah Pak Hardja Tingtong. Dijuluki begitu, karena beliau selalu naik sepeda, yang pada saat datang di tempat latihan atau di tempat pagelaran, beliau selalu membunyikan bel sepedanya. Bunyinya ‘ting tong ting tong’. Maka semua sahabat dekatnya lalu menjulukinya dengan tambahan nama Hardja Tingtong. Orangnya bertubuh kurus, berkulit hitam legam, perokok berat, peramah, dan lucu. Saat bertemu, yang pertama saya ingat adalah beliau selalu tersenyum lebar. Pak Hardja Tingtong, pada pagelaran wayang nanti, diminta untuk memainkan ricikan gender barung. Orang kedua, adalah Pak Hardja Cukur. Disebut demikian, karena pekerjaan sehari-harinya adalah tukang cukur di terminal bis Kota Sala-Tiga, yang letaknya dulu sedikit di sebelah utara Pasar Kota Sala-Tiga; dekat pertigaan antara Jalan Taman Sari, Jalan Solo, dan Jalan Dipo-Negara, berseberangan dengan rumah dinas walikota Sala-Tiga. Pak Hardja Cukur, badannya tinggi besar serta mempunyai suara yang bagus dan bernada rendah. Biasanya beliau memainkan kendhang. Tetapi permainan kendhang-nya agak ‘ditakuti’ para nayaga lain, karena iramanya seringkali tak teratur dan agak sukar dikuti. Tetapi, karena kendhangsudah dimainkan oleh guru saya, maka beliau akan diserahi memainkan ricikan rebab. Orang ketiga, adalah Pak Suparmin. Beliau telah lanjut usianya, perawakan tubuhnya kurus, dan tuna-netra. Beliau ini, seorang pemain ricikan siter yang bagus. Karena tempat tinggal Pak Suparmin lebih dekat ke tempat tinggal saya, maka saya ditugasi oleh guru saya untuk menjemput dan mengantarkan pulang Pak Suparmin. Orang keempat, adalah Pak Musrin. Orangnya berkulit hitam legam, juga perokok berat, dan sangat rajin bekerja. Beliau, merupakan tetangga sebelah rumah guru saya, yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang kayu pembuat berbagai mainan anak-anak, bidak catur, dan juga pembuat ricikan siter. Di depan rumah beliau, terdapat mesin bubut kayu buatan sendiri, yang digerakkan menggunakan velg  roda sepeda. Roda besar ini, digerakkan memakai pedal seperti pedal mesin jahit.[4]Pada pagelaran wayang nanti, Pak Musrin, diserahi memainkan ricikan gender penerus. Orang kelima, saya benar-benar lupa namanya. Beliau diserahi memainkan ricikan gambang. Saya sendiri, dalam pagelaran wayang kulit purwa nanti, diserahi memainkanricikan  saron barung penacah atau saron racik, yang tugasnya memainkan melodi. Putera guru saya (saya lupa namanya) yang masih duduk di kelas enam SDdan sangat pintar memainkan ricikanbonang barung,bersama seorang sahabat saya yang bernama Darmono, tugasnya berpasangan memainkan ricikan bonang barung dan bonang penerus.  Demikianlah, semua ricikan gamelan sudah terisi lengkap penabuhnya. Adapun sembilan putri yang menjadi murid guru saya dan sedang belajar menjadi pesindhen, semuanya akan mendampingi pesindhen yang asli, mereka semua juga ikut ‘manggung’ untuk mempraktikkan hasil belajarnya. Seminggu menjelang hari pagelaran, kami semua giat berlatih menabuh seluruh gendhing-gendhing yang akan dipakai. Guru saya, selama seminggu itu juga sibuk mempersiapkan tulisan ‘not gendhing’ (notasi ataupartitur gendhing) yang akan dipakai.

Hari pagelaran yang dinanti-nanti pun tiba. Pukul tiga sore, semua anggauta grup karawitan Laras Mudha Irama sudah berkumpul dan semuanya lalu memakai pakaian adat tradisional Jawa gaya Surakarta, yaitu memakai kain batik yang polanya semuanya seragam ‘Parang Rusak’, dengan baju beskap berwarna putih, dan ‘blangkon’ (di pedesaan ‘blangkon’ sering disebut ‘mit’). Demikian pula sembilan putri yang akan berperan sebagai pesindhen, semuanya sudah berkumpul dan sudah memakai baju kebaya brokat putih lengan panjang, yang bagian depannya memakai ‘kuthu baru’,  dengan kain batik berpola Parang Rusak. Sebuah selendang, diselempangkan di pundak. Para putri ini, semuanya bersanggul dengan ‘cundhuk mentul’  yang berhiaskan sederetan manik-manik kecil, yang membuat cundhuk mentul itu terlihat gemerlap berkelap-kelip saat terkena cahaya. Kesembilan putri kecil itu, sekarang sudah berubah bagaikan sembilan bidadari kecil yang turun dari kahyangan. Berjingkat-jingkat mereka berjalan perlahan-lahan dan berhati-hati, memakai selop yang agak tinggi. Mungkin karena belum terbiasa dengan pakaian adat dan selop yang agak tinggi itu. Senyum kesembilan bidadari kecil itu terlihat sumringah.

Pagelaranakan dilaksanakan secara lengkap, dan dimulai dari sekitar jam setengah lima sore, terus menerus sampai subuh, pagi hari berikutnya. Meskipun materinya sederhana, tetapi jumlah dan materigendhing-nya lengkap. Ada gendhing-gendhing soran, yang dimainkan sore hari (antara pukul setengah lima sampai magrib) sebagai bagian dari ‘klenengan sore’. Bagian ini, seluruhnya dimainkan oleh seluruh anggauta grup karawitan Laras Mudha Irama. Karena merupakan gendhing soran, maka tidak memerlukan pemain ricikan alusan. Kebanyakan merupakan gendhing-gendhing jenis lancaran dan ladrang berirama cepat, yang dimainkan dalam pola ‘soran’ (ditabuh keras-keras), tanpa disertai suara vokal pesindhen. Seluruh permainan gendhing soran, ditetapkan memakai gamelan Laras Pelog. Tujuannya, jelas supaya berkesan meriah dan ramai. Menjelang magrib, permainan dihentikan sejenak, untuk memberikan kesempatan sholat magrib.

Selepas magrib, permainan dilanjutkan dengan pilihan gendhing-gendhing yang lebih  halus. Pada bagian ini, mulai dimainkan ‘klenengan wayangan’ yang kebanyakan memakai tangga-nada Slendro Pathet Manyura. Sembilan bidadari yang berperan menjadi‘ pesindhen ajaran’, mulai melakukan tugasnya, tetapi tidak disertai pesindhen asli. Berbagai gendhing alusan dimainkan sampai menjelang isya. Tepat menjelang sholat isya, permainan dihentikan. Lalu, semua penabuh anak-anak turun panggung untuk melakukan sholat isya dan setelah itu makan malam bersama dalam bentuk ‘slametan’. Saat makan bersama itulah, untuk pertama kali kami semua bertemu dan diperkenalnya oleh guru saya, dengan bapak-bapak para penabuh profesional, yaitu Pak Hardja Tingtong, Pak Hardja Cukur, Pak Suparmin, dan Pak Musrin. Selain itu, juga diperkenalkan dengan ibu pesindhen asli yang baru datang bersama pak dhalang  yang akan membawakan cerita malam itu. Senang sekali rasanya bisa bertemu dengan mereka semua. Dengan seksama, kami semua berusaha mendengarkan dan mengikuti pembicaraan antara dhalang dengan para penabuh danpesindhen. Beberapa bagian dari pembicaraan itu bersifat sangat teknis, meliputi gendhing pengiring apa saja yang akan dipakai selama pagelaran berlangsung, beserta sejumlah penjelasan tentang detail cara‘garap’-nya. Guru saya juga mewanti-wanti pak dhalang, supaya selalu ingat, bahwa kali ini yang mengiringinya, lebih dari separoh merupakan ‘nayaga ajaran’  (pemain gamelan yang sedang dalam tahap belajar). Karena itu, berkali-kali guru saya mengingatkan pak dhalang supaya tidak meminta dimainkannyagendhing lain, selain yang ditulis dalam lembar-lembar not gendhing. Pak dhalang dan para pemain profesional beserta ibu pesindhen asli, semuanya mengangguk-angguk, sambil sesekali tersenyum ‘ngayem-ayemi’  kepada para ‘nayaga ajaran’  yang semuanya masih anak-anak dan terlihat agak was-was. Mungkin, karena malam itu untuk pertama kalinya, kami semua akan mengiringi pagelaran wayang kulit purwa semalam suntuk. Pembicaraan panjang-lebar itu, dipimpin oleh guru saya, dikelilingi semua peserta, sambil menyantap makan malam yang terasa sangat sedap. Setelah seluruh pembicaraan selesai, maka barulah kami semua bisa menyantap makan malam dengan lahap.

Pukul setengah sembilan malam, kami semua naik ke panggung pagelaran disertai tepuk tangan meriah para penonton. Ada perasaan sangat senang, bercampur bercampur sedikit rasa was-was, saat kami naik ke panggung pagelaran. Meskipun sebelumnya kami semua sudah memainkan gamelan sejak sore hari sampai sebelum isya tadi, tetapi memang terasa sangat berbeda saat kami naik kembali ke panggung sebagai pengiring pagelaran wayang kulit purwa semalam suntuk. Apalagi, sekarang kami naik panggung bersama dengan para penabuh gamelan profesional. Para bidadari kecil yang cantik-cantik sahabat saya, semuanya duduk berjajar bersama dengan ibu pesindhen  asli. Pak Hardja Tingtong, sudah menempati tempat duduknya dan sedang menyetel rebab. Pak Hardja Cukur duduk di tempat ricikan gender barung. Pak Musrin duduk di depan ricikan gender penerus. Pak Suparmin, sibuk menyetel dawai-dawai siter-nya,menyesuaikan dengan nada gamelan yang dipakai. Adapun guru saya, duduk dan mengatur kembali letak kendhang kosek wayangan, kendhang sabet wayangan, kendhang ciblon, serta kendhang bem; di sekeliling tempat duduknya, sambil menyesuaikan letaknya, supaya sesuai dengan jangkauan tangannya. Beberapa saat kemudian, terasa sunyi. Kami semua merasa agak tegang. Waktu terasa berjalan lambat. Lalu rebab Pak Hardja Tingtong tiba-tiba memperdengarkan suara senggrengan  yang sangat khas. Sesaat kemudian, terdengar aba-aba buka rebab. Dan, kemudian, tak terasa kami sudah memainkan gendhing  Ladrang Mugi Rahayu laras Slendro Pathet Manyura. Gendhing Talu Wayangan-pun dimulai, berhiaskan suara merdu gerongan dan sindhenan para bidadari kecil yang menjadi ‘pesindhen ajaran’ ditimpali suara merdu ibu pesindhen asli. Ketegangan perlahan-lahan menjadi cair, saat seluruh rangkaian Gendhing Talu Wayang mulai dimainkan. Saat itu, saya merasakan perasaan yang luar biasa, tak terperikan, dan sangat sukar untuk diceritakan. Ada perasaan senang, bahagia, bangga, dan yang jelas saya amat sangat menikmati malam pagelaran yang semarak itu. Gendhing Ladrang Mugi Rahayu, lalu dipindahkan ke Ayak-ayak Talu. Perpindahan ke Ayak-ayak membuat hati saya berdebar. Ada kesan mistis yang sangat kuat terasa. Lalu, Srepegan Manyura, disambut dengan Sampak Manyura yang gemuruh bertalu-talu. Dan, beberapa saat kemudian, gemuruh Sampak-pun berhenti tiba-tiba dengan nada-nada monoton yang mencekam. Pak dhalang  sudah naik panggung dan duduk tepat di depan gunungan. Bersamaan dengan itu, lampu-lampu dipadamkan, dan hanya ditinggalkan sebuah lampu ‘blencong’ yang menerangi layarwayang. Tiba-tiba saja, saya mencium bau asap bakaran kemenyan. Dari sudut depan, saya melihat seseorang membakar kemenyan. Sementara pak dhalang  terlihat menundukkan kepala, sambil menutupi bagian atas kepalanya memakai sebuah gunungan.  Gapit gunungan-nya dipegang memakai tangan kanan, sedangkan ujung gunungan itu dipegangnya dengan jari tangan kirinya. Gunungan-nya sedikit ditekuk ujungnya, sehingga lembarnya melengkung dan menutupi bagian atas kepalanya. Ia terlihat khusuk membaca doa dan mantera pagelaran. Suasana yang remang-remang, berkesan sangat mistis. Apalagi dengan terciumnya bau kemenyan dan asapnya yang mengepul melayang kemana-mana. Beberapa saat, terjadi kesunyian yang mencekam. Lalu, sesaat kemudian, terdengar bunyi gedhog, memberikan aba-aba pertanda jejerpertama dimulai. Gendhing Ayak-ayak Manyura mulai menggema,l alu pagelaran wayang semalam suntukpun dimulailah.

Sayasama tak bisa melupakan peristiwa itu sepanjang hayat. Pagelaran wayang yang pertama, semuanya seperti baru terjadi hari kemarin saja. Dan, sejak itu pula, saya selalu merindukan pagelaran wayangan kulit purwa yang klasik dan sangat tradisional. Merindukan tidak saja nonton, tetapi juga ikut terlibat mengiringinya. Merindukan alunan Gendhing Talu Wayangan, merindukan untuk selalu mendengarkan saat-saat perpindahan ke Ayak-ayak Talu yang bisa membuat bulu kuduk meremang, merasakan magis, mistik,dan merinding. Terasa tak ada duanya. Semuanya bagai mimpi, yang saya sampai sekarang bahkan masih bisa mendengar secara jelas bagaimana bunyi gamelannya, bagaimana suara merdu sembilan bidadari kecil sahabat-sahabat saya membawakan tembang parwa  yang sangat memukau, memikat,dan tak bisa terlupakan…..

_________________________________


[1]  Sebutan PN Perhutani (Perusahaan Negara Perhutani) kemudian lalu diganti menjadi Perum Perhutani (Perusahaan Umum Perhutani). Untuk wilayah Jawa Tengah, sebutan resmi perusahaan ini adalah Perum Perhutani Unit I JawaTengah.

[2]  Sekarang, sebutan ‘Brigade Planologi’ sudah diganti menjadi ‘Biro Perencanaan’. Pimpinan Brigade Planologi disebut ‘Kepala Brigade Planologi’. Tetapi setelah sebutannya berubah menjadi ‘Biro Perencanaan’, pimpinannya lalu disebut ‘Kepala Biro Perencanaan’.

[3]  Ibu saya juga seorang penari Jawa gaya Yogyakarta.

[4] Dari Pak Musrin inilah saya belajar membuat sendiri berbagai jenis mesin bubut kayu. Semua yang diajarkan kepada saya, pernah saya buat sendiri saat saya masih duduk di kelas dua SMP. Misalnya, mesin bubut kayu jenis ‘pancingan’, yang memakai buluh bambu panjang sebagai per penarik dan pemutar benda kerjanya. Mesin bubut kedua, saya buat persis seperti yang dipakai Pak Musrin, yaitu memakai velg roda sepeda.

Senin, 01 Juli 2013

PAGELARAN WAYANG KULIT PURWA DI TENGAH HUTAN RIMBA BELANTARA

Pagelaran 'bayang-bayang' wayang kulit purwa, yang menggetarkan hati, mengharu-biru emosi, dan memikat hati penonton, merupakan dambaan...

Membaca cerita pendek true story ini, ada baiknya sambil mendengarkan alunan Gendhing Laler Mengeng dan Gendhing Talu Wayangan, gaya tradisional yang sangat klasik (dari tahun 1970-an).....


Selamat membaca dan menikmati.....

Ini adalah kenangan indah saat saya masih anak-anak dan masih duduk di kelas 3 sampai kelas 6 Sekolah Rakyat (sekarang disebut Sekolah Dasar), di Kota Jember, Jawa Timur. Peristiwa ini terjadi pada sekitar tahun 1962 – 1963. Di masa-masa yang saat itu dikenal dengan sebutan ‘masa perebutan Irian Barat’, atau oleh kalangan masyarakat umum sering juga disebut ‘jaman Trikora’. [1]

Pada masa itu, ayah saya bekerja sebagai seorang ADM (administratur) PN Perhutani[2] di kantor KPH Jember. [3]  Jika sedang masa liburan, saya seringkali ikut truk milik PN Perhutani ke hutan. Kebetulan kita tinggal di komples perumahan dinas PN Perhutani, yang lokasinya berhadapan dengan garasi dan bengkel PN Perhutani, yang lokasinya di Patrang, sedikit di sisi utara Kota Jember. Naik truk ke hutan, merupakan salah satu pengalaman yang menyenangkan saya. Biasanya truk-truk PN Perhutani itu berangkat pagi-pagi, sekitar jam 07.00 pagi Waktu Jawa (sekarang penyebutan waktu sudah diubah menjadi jam 07.00 Waktu Indonesia Barat atau WIB),  dan pulang dari hutan sore hari. Pada masa itu, truk-truk tua yang dipakai umumnya bertonase sekitar 3,5 ton, merknya Chevrolet, Dodge, dan Fargo. Ketiga merk truk itu, buatan Amerika.

Pada masa itu, rute truk hutan yang paling saya sukai, adalah yang menuju hutan di sekitar Sempolan atau Garahan, yakni ke arah timur, di jalan raya yang menuju Kota Banyu-Wangi. Selewat kota kecil Kali-Sat, truk akan menuju Sempolan dan akhirnya berbelok ke kiri, memasuki jalan hutan. Sebelum masuk jalan hutan, truk-truk itu biasanya berhenti untuk melapor lebih dahulu di kantor ‘kemantren’ atau kantor KRPH (Kesatuan Resor Pemangkuan Hutan) Sempolan, yang lokasinya di sisi kiri jalan raya Jember – Banyu-Wangi.  Saya sangat senang dan karenanya juga sangat sering ikut truk yang melewati ke rute ini dan sangat senang jika truk yang saya tumpangi mampir ke ‘kemantren’ Sempolan ini. Mengapa? Tidak lain, karena Pak Mantri Hutan yang tinggal di sebelah kantor kemantren ini, adalah seorang dhalang wayang. Mantri hutan yang pada masa itu sangat terkenal ini, namanya Pak Sugondo; yang biasanya dipanggil Pak Gondo. Disebut sangat terkenal, karena seragam pakaiannya yang luar biasa gagah, memakai pakaian safari dan celana berwarna cokal muda, dengan ikat pinggang kulit berukuran besar. Di ikat pinggangnya, selalu tergatung sebuah pistol  Colt ‘revolver’ kaliber 38 dan sebuah ‘veldvles’ (tempat air minum), serta pisau rimba berukuran besar. Sementara sepatu yang digunakannya adalah jenis sepatu ‘laars’ kulit berwarna hitam, yang tingginya hampir mencapai lutut. Pak mantri hutan ini seringkali pergi memeriksa hutan sambil naik kuda. Saat naik kuda ia memakai topi lebar berwarna coklat tua, seperti topi ‘vilt’ yang biasa dipakai para koboi Amerika, tetapi dibuat dari anyaman ‘mendong’, yang salah satu sisi sampingnya sedikit dilengkungkan ke arah atas dan sisi samping lainnya rata. Kelihatannya gagah sekali, dan sangat mirip dengan seorang ‘sherif’ (kepala polisi ‘daerah pedalaman’ Amerika).

Di samping rumah dinas tempat tinggalnya, yang letaknya hanya beberapa meter di sebelah kanan kantorkemantren, saya bisa melihat beberapa orang sedang ‘ngerok’ (mengikis) lembaran kulit sapi atau kulit kerbau, yang ditarik kuat-kuat ke arah samping sampai tegang memakai tali-tali yang diikatkan pada konstruksi batang kayu berbentuk kotak (seperti pigura lukisan). Lembaran kulit sapi atau kerbau itu, dikikis memakai ‘pecok’ (seperti pacul kecil yang ditajamkan), supaya seluruh permukaan kulitnya rata, halus, dan hilang bulu-bulunya. Mengikis kulit sapi atau kerbau, biasanya dilakukan pagi hari sampai menjelang siang hari, dan dilakukan di halaman luar. Dan, yang lebih menyenangkan hati saya, sisa kikisan kulit yang berbentuk gulungan-gulungan kecil terputus-putus, sesudah dikeringkan, biasanya dimasak dengan cara digoreng, dan menjadi ‘krupuk kulit’ atau ‘krupuk krecek’. Atau, dimasak menjadi ‘sambel goreng krecek’,yang jangankan dimakan, bahkan saat melihat saja, sudah timbul air liur saya. Lembar-lembar kulit itu, setelah kering dan rata, lalu dipotong dan dipakai untuk membuat wayang kulit, yang proses pembuatannya juga dilakukan di teras rumah Pak Gondo.

Selain mengikuti truk hutan, saya juga sering ikut ayah melakukan pemeriksaan wilayah hutan, yang di kalangan kehutanan kegiatan seperti ini lazim disebut ‘tourne’. Mobil dinas milik PN Perhutani yang dipakai ayah, adalah sebuah kendaraan jip Willys kuno, buatan tahun 1942, warna hijau tua, dengan lampu besarnya yang sangat khas. Letak lampu depannya, di dalam lubang besar pada panel depan kendaraan. Jip Willys kuno yang bernomor polisi P-310 ini, setiap kali akan dipakai ‘tourne’ harus diisi air dingin lebih dulu. Peralatan baku ‘inventaris’ ayah saya yang dibawa di kendaraan ini, biasanya meliputi senapan laras ganda(double loop) berkaliber 16 mm lengkap dengan sekotak peluru (ukuran pelurunya besar sekali, karena berkaliber 16 mm dan panjang setiap peluru sekitar 10 cm), kompas, teropong binokular, peta petak (peta khusus kehutanan), pisau rimba, ‘veldvles’ (tempat minum versi militer, yang digantung di sabuk celana), sepatu ‘laars’, dan tak lupa juga sebuah jaket. Ayah saya, biasanya memakai baju ‘dinas’ berupa baju safari lengan pendek dan celana panjang yang dibuat dari bahan ‘dril’ berwarna ‘khaki’ (coklat muda). Ia biasanya juga memakai topi pet, berwarna coklat muda. Pada masa itu, kain yang bisa dibeli hanyalah kain dril warna cokla muda itu dan kain belacu warna putih. Seperti juga kesenangan saya ikut truk hutan, saya juga sangat senang jika tourne dilakukan di wilayah hutan sekitar Sempolan. Penyebabnya juga sama, yaitu karena sering mampir di kantor kemantren Sempolan itu.

Selain bersama pengemudi jip Willys tua yang bernama Pak Saleh, seringkali ayah saya juga melakukantourne bersama beberapa pegawai kantor KPH Jember. Di antara mereka, yang paling sering ikut melakukan peninjauan bersama, adalah ‘sinder hutan’ dan ‘mantri hutan’ yang menanggung-jawabi wilayah hutan yang akan ditinjau. Pemeriksaan wilayah hutan seringkali dilaksanakan dengan cara jalan kaki potong kompas, dengan hanya melihat peta petak, langsung menuju petak hutan yang akan ditinjau. Jip Willys tua dan pengemudinya, biasanya dititipkan di rumah penduduk desa setempat, diparkir begitu saja di sisi jalan hutan, atau diminta menunggu di suatu tempat di wilayah sekitar petak hutan yang akan dituju.

Pada masa itu, sebagian wilayah hutan di sekitar Sempolan sedang ditebang dan diganti dengan tanaman hutan produksi jenis pohon pinus. Saat liburan, saya juga sering ikut truk hutan yang mengangkut bibit pohon pinus, yang tingginya sekitar 15 – 20 cm dan diletakkan (dengan media tanahnya) di keranjang-keranjang kecil, yang dibuat dari anyaman bambu. Bibit pohon pinus yang masih kecil ini, biasanya diambil dari tempat pembibitan, yang lokasinya dekat dengan base camp peralatan mekanik Sempolan. Beratus-ratus bibit pohon pinus ini, kemudian diangkut ke tempat penanaman, jauh di tengah hutan. Di tempat penanaman pohon pinus itu, biasanya sudah ada sekelompok besar penduduk desa ‘mager-sari’, yang oleh PN Perhutani diperbolehkan melakukan kegiatan bertani palawija sambil menanam dan memelihara pohon-pohon pinus yang masih kecil. Biasanya, mereka akan tinggal selama beberapa tahun di lokasi yang sama, sampai pohon-pohon pinus itu menjadi cukup besar dan bisa ditinggalkan. Setelah pohon-pohon pinus itu besar (setinggi kira-kira 2 – 3 meter), mereka akan dipindahkan ke lokasi lain, untuk melakukan peran dan kegiatan yang sama.  Jika kita sekarang melakukan perjalanan dari Kota Jember ke arah Banyu-Wangi, maka setelah melewati Sempolan, sebelum memasuki wilayah hutan Garahan (hutan Gunung Kemitir), kita akan melewati hamparan hutan pohon pinus yang tumbuh subur dan sekarang sudah berubah menjadi pohon pinus yang sangat tinggi dan lebat. Melihat pemandangan ini, membuat saya terharu dan jadi teringat masa kecil saya, saat sering ikut menanam bibit pohon-pohon pinus kecil itu, di sekitar tahun 1962 – 1963. Waktu serasa berlalu sedemikian cepatnya. Tak terasa, pohon-pohon pinus yang dulu terlihat sangat kecil dan ringkih, sekarang sudah menjadi hutan pinus yang indah, lebat, teduh, dan rindang.

Di dalam hutan Sempolan, pada suatu lokasi yang jaraknya beberapa kilometer dari jalan-raya Jember – Banyu-Wangi, ada suatu tempat semacam base camp, tempat para pegawai kehutanan dari bagian mekanisasi kehutanan tinggal beserta seluruh keluarga dan alat-alat berat yang ditanggung-jawabi. Mereka itu, merupakan kelompok pegawai mekanik kehutanan pindahan dari Saradan. [4] Uniknya, semua pegawai mekanik ini (pengemudi traktor raksasa, pengemudi buldozer raksasa, pengemudi truk trailer pengangkut kayu gelondongan), beserta seluruh keluarganya, adalah pemain, penari, dan penabuh gamelan yang sangat canggih. Saya masih ingat benar, salah seorang pengemudi traktor penyeret kayu gelondongan bermesin diesel, beroda rantai raksasa, tipe D-9 merk Allis Chalmers, yang beratnya sekitar 39 ton; adalah seorang penari dan pemeran raksasa ‘cakil’ yang sangat bagus, terampil, sangat cekatan gerak tarinya. Tubuhnya yang tinggi ramping, terlihat sangat cocok dengan peran ‘cakil’-nya itu. Sekali sebulan, saat ada perayaan tertentu, perayaan ‘syawalan’, atau peringatan hari kemerdekaan; mereka bisa tiba-tiba berubah menjadi sekumpulan grup kesenian, lengkap dengan penari dan penabuh gamelan-nya. Di base campmereka itu, setiap bulan sekali kita bisa menyaksikan mereka melakukan pagelaran wayang wong ataukethoprak.

Di antara sejumlah pagelaran wayang itu, beberapa kali dilaksanakan di halaman depan kantor kemantrenSempolan. Biasanya, yang menjadi dhalang ya Pak Mantri Sugondo itu. Sedangkan penabuh gamelan, pesindhen, dan wiraswara-nya; para pegawai mekanik kehutanan dan keluarganya. Tetapi ada suatupagelaran wayang kulit purwa yang benar-benar unik. Pagelaran wayang ini dilakukan di tengah hutan di tengah hutan rimba di sisi barat laut Sempolan. Pada masa itu, PN Perhutan KPH Jember sedang giat-giatnya membuat jalan rintisan (jalan tembus hutan) di wilayah pedalaman barat luat Sempolan. Bukan membuat jalan raya, tetapi membuat jalan hutan yang bisa dilewati truk dan jip saja. Pada saat awal, jalan hutan itu dibuat dengan cara meratakan tanah memakai buldozer raksasa dari unit  mekanisasi Sempolan dan beberapa peralatan berat lainnya. Pembuatan jalan hutan ini memakan waktu selama beberapa bulan. Jika menemui hambatan berupa jurang atau sungai, biasanya dilakukan upaya untuk membuat jembatan. Biasanya yang dibangun adalah jembatan kayu. Beberapa dari jembatan kayu itu, mempunyai bentangan yang cukup panjang dan melewati sungai atau jurang yang cukup dalam.

Pada saat awal pembangunan, biasanya seluruh pegawai PN Perhutani yang terlibat proses pembangunan, termasuk teknisi dan para operator peralatan berat, dipimpin oleh kepala proyek, akan melakukan selamatan, di lokasi dekat jembatan. Selamatan, biasanya dilakukan siang hari, dan hanya secara sederhana saja.  Peristiwa yang benar-benar menyenangkan tetapi juga agak mencemaskan, sebenarnya bukan saat awal pembangunan, tetapi saat jembatan itu sudah jadi dan akan diresmikan pemakaiannya. Pada saat jembatan di tengah hutan rimba itu sudah diselesaikan, maka seperti awalnya, akan dilakukan selamatan dan syukuran. Tetapi yang bagi saya paling menyenangkan, adalah dilaksanakan pagelaran wayang kulit purwa lengkap semalam suntuk. Ceritanya biasanya dipilih yang menarik dan ramai. Dhalang-nya….? Ya Pak Gondo itulah, lengkap dengan para penabuh gamelan yang para operator peralatan berat.

Sejak pagi hari, ‘tarub’ (tenda besar) biasanya sudah didirikan di dekat lokasi jembatan baru. Lalu sekumpulan ibu-ibu (para isteri) keluarga operator peralatan berat itu sudah kelihatan sibuk memasak, di sejumlah tarub kecil, dibantu sejumlah ‘blandhong’ dan anak-anak putri mereka. Sementara, para pria biasanya mempersiapkan penyembelihan sapi, kerbau, atau beberapa kambing. Suasana di sekitar jembatan baru itu, benar-benar semarak dan kelihatan sangat sibuk. Sebagian dari para pria itu, selain sibuk meletakkan deretan kursi, meja, dan tikar mendong untuk duduk lesehan yang dibentangkan di atas lembaran ‘gedheg’ (anyaman bambu); juga sibuk memasang selang-selang kecil di tiang-tiang tarub, yang akan dipasang pada lampu-lampu ‘stromking’. [5]

Siang hari, sekitar jam satu siang, setelah selesai makan, saya bersama ayah melihat-lihat berkeliling dan memperhatikan bagaimana beberapa penabuh gamelan yang sehari-harinya adalah para operator alat berat itu memasang ‘geber wayang’ (layar wayang) dan ‘menyimping’ (menata) wayang kulit dan menancapkannya di atas ‘debog’ pisang panjang, di sebelan kanan dan kiri gunungan. Saya memperhatikan saat wayang-wayang kulit itu ditata secara berurut dan sangat rapi. Beberapa orang sibuk menata ricikan gamelan dan mengatur letaknya, sehingga ada ruang yang cukup untuk para penabuhnya duduk saat menabuh. Tepat di bagian tengah layar wayang, agak ke atas, beberapa orang terlihat sedang sibuk memasang lampu stroomking. Sekitar jam empat sore, seluruh proses penataan panggung pagelaran wayang sudah selesai. Di mata saya, panggung wayang dan gamelan itu tampak sangat indah dan memberikan kesan semarak. Apalagi dengan rancak gamelan-nya yang berwarna merah menyala dengan hiasan ornamen berwarna keemasan.

Sekitar jam tujuh malam, para pejabat PN Perhutani dan para undangan lainnya, termasuk penduduk desa setempat, para sepepuh desa, lurah, carik, kepala dukuh, serta sanak keluarga para operator peralatan berat dan seluruh pekerja proyek jembatan; sudah pada hadir dan duduk di tempat masing-masing.Gendhing-gendhing juga sudah mulai dimainkan. Suara gendhing-nya biasanya bisa terdengar dari kejauhan (beberapa kilometer). Beberapa saat kemudian, upacara pembukaan pun dimulai. Biasanya dilakukan sambutan-sambutan resmi dari para pejabat, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa yang dilakukan oleh kyai setempat. Setelah seluruh acara resmi dan pembacaan doa selesai dilaksanakan, lalu dilanjutkan dengan makan bersama-sama.  Hidangan yang paling disukai adalah sate sapi dan sate kambing, dengan saus kacang dan kecap yang pedas bercampur potongan bawang merah. Sementara itu, ada juga hidangan gulai daging kerbau. Ada juga sayur sop dengan potongan-potongan kecil wortel, kentang, dan kubis, yang biasanya sangat gurih rasanya. Sudah barang tentu, kiriman makanan yang berasal dari sumbangan Pak Mantri Sugondo yang sangat khas, yaitu ‘sambel goreng krecek’, tidak pernah lupa disajikan. Nasi hangat (memakai beras ‘Raja Lele’) yang masih mengepul, membuat perut seluruh pengunjung semakin lapar saja. Suasana makan bersama ini, berlangsung sekitar satu jam dengan penuh kegembiraan.

Sebagai pelengkap, biasanya disajikan rokok. Rokok putih, umumnya tidak terlalu disukai. Sebaliknya, lazimnya disajikan rokok kretek, yang biasanya dihidangkan dalam keadaan sudah dibuka bungkusnya dan batang-batang rokoknya diletakkan di dalam gelas-gelas. Berbagai merk rokok kretek dicampur begitu saja di dalam gelas-gelas. Minuman teh hangat dan kopi umumnya menjadi minuman standar yang disajikan. Suasana malam peresmian jembatan itu benar-benar semarak dan membuat senang seluruh yang hadir. Deretan kursi (tidak terlampau banyak), biasanya ditempati para pejabat dan para pamong desa, sedangkan para hadirin lainnya dan penduduk setempat biasanya duduk lesehan di atas tikar. Seluruh yang hadir, biasanya berjumlah sekitar 150 – 200 orang. Semuanya duduk berkumpul di bawah naungan tarub besar itu.

Sekitar jam delapan malam, udara sudah semakin dingin. Gendhing-gendhing dimainkan para pengrawitmenemani para hadirin makan bersama. Bulan sudah purnama dan menyinarkan cahayanya bagaikan bola emas bersinar terang di angkasa. Dan, sekitar jam setengah sembilan malam, Gendhing Talu Wayang mulai dimainkan. Suasana mulai berubah menjadi semakin ‘gayeng’ dan semarak.  Hadirin sedikit demi sedikit berusaha mendekat ke arah panggung. Mereka duduk bersila lesehan di atas tikar. Lalu sekitar jam sembilan malam, Pak Mantri Sugondo yang sudah memakai pakaian tradisional Jawa, seakan ‘berubah’ peran dan menjelma menjadi seorang dhalang, berdiri tegak, lalu berjalan perlahan-lahan mendekati para pejabat, sesepuh, dan pamong desa. Sesaat, ia bersalaman dengan para pejabat dan memohon ijin untuk memulai pagelaran wayang. Bersamaan dengan terdengarnya Gendhing Sampak Manyura yang ditabuh bertalu-talu, ia naik ke atas panggung pagelaran. Tepat saat Gendhing Sampak Manyura berubah menjadi melambat dan terdengar semakin sayup-sayup karena hendak dihentikan, Pak Gondo yang sudah menjadidhalang pagelaran wayang kulit purwa malam itu, duduk tegak bersila di tempatnya, tepat di depan layar wayang.  Sesaat kemudian, nyala lampu-lampu stroomking dipadamkan. Dan, tinggal sebuah lampustroomking yang menyala di depan layar wayang. Tiba-tiba saja bau asap kemenyan menyeruak menyebar ke seluruh bagian dalam tarub. Suasana seketika berubah menjadi remang-remang penuh sakral. Begitu Gendhing Sampak Manyura berhenti. Suasanya hening sejenak. Tak ada yang berkata-kata. Hanya kesunyian yang terjadi. Dhalang membaca mantra dan doa sesaat. Suaranya terdengar lirih, seakan berbisik kepada Sang Penguasa Jagat Raya, memohon berkah, rakhmat, dan karunia-Nya. Hanya terdengar suara burung-burung malam di kejauhan dan gemerisik angin malam yang berhembus. Lalu gedhog dhalang dibunyikan, dan tiba-tiba pagelaran wayang pun dimulai……

Di tengah hutan rimba belantara, pagelaran wayang kulit purwa itu menghasilkan suasana yang menggetarkan. Selama beberapa waktu, saat gendhing jejer pathet nem mulai dimainkan, suara gamelanmengalun seakan menyihir seluruh hadirin, yang duduk terpaku di tempatnya masing-masing. Adegan demi adegan berlangsung di bawah sorot mata para hadirin. Perlahan-lahan, suasana berubah menjadi semakin cair. Semakin malam suasana semakin cair, dan semakin menyenangkan. Semua yang hadir, masuk ke dalam tarub besar itu dan berusaha menempatkan dirinya seenak mungkin.
Sementara di luar tarub besar, jauh di atas ranting dan dahan pohon-pohon rimba yang tegak berdiri agak jauh, samar-samar terlihat sejumlah pasangan cahaya bulat hijau kebiru-biruan bersinar terang di dalam kegelapan. Pasangan cahaya itu sesekali bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri. Jumlah pasangan cahaya itu, lebih dari sepuluh pasang. Saya yang berdiri di pinggir tarub, terpaku saat melihat pasangan cahaya yang jumlahnya cukup banyak dan selalu bergerak-gerak. Ada sedikit rasa takut saat melihat pasangan cahaya-cahaya itu. Saya mencoba menyipitkan mata, berusaha melihat lebih jelas dan bertanya-tanya dalam hati, cahaya apakah gerangan itu. Bermenit-menit saya berusaha memperhatikan titik-titik pasangan cahaya itu, tetapi tak juga mengerti apa sebenarnya pasangan cahaya itu.

Tanpa saya ketahui, rupanya seorang mandor hutan, melihat apa yang sedang saya perhatikan. Dia lalu menggamit bahu saya. Saya sedemikian terkejutnya, sampai-sampai terlonjak kaget. Mandor hutan itu lalu memberitahu saya sambil berbisik: “Anakmas, jangan keluar dari tarub ya.” Saya terkejut dan balik bertanya: “Kenapa Pak?” Dengan tetap berbicara perlahan-lahan, dia menjawab: “Sebab pasangan cahaya berwarna hijau kebiru-biruan yang bergerak-gerak dan ada jauh di atas dahan dan ranting pohon rimba di sana itu, adalah mata macan tutul dan macan kumbang yang akan bersinar jika terkena pendaran cahaya lampu. Harimau-harimau itu menunggu saat yang tepat untuk turun dan makan sisa hidangan, termasuk makan sisa-sisa daging hewan yang siang tadi disembelih di luar tarub. Jadi, sebaiknya Anakmas jangan ke luar dari tarub. Harimau-harimau itu takut pada api dan cahaya. Karena itu, di luar tarub orang menyalakan beberapa api unggun kecil. Api unggun ini harus tetap hidup sampai besok pagi. Harimau-harimau itu, sangat sabar menunggu. Nanti, setelah semua hadirin selesai menikmati makan malamnya, beberapablandhong akan melemparkan sisa-sisa makanan dan daging ke luar, dilempar jauh-jauh ke arah harimau-harimau itu.” Mendengar penjelasan pak mandor hutan itu, saya jadi bergidik dan timbul rasa takut juga. Tapi dia ‘ngayem-ayemi’ (menteramkan hati saya), dengan berkata: “ Jangan kuatir Anakmas, pokoknya jangan keluar dari tarub ya….” Saya hanya menganggukkan kepala. Pak mandor hutan itu rupanya tahu juga kekecutan hati saya. Ia lalu berkata kepada saya: “Begini saja Anakmas, bagaimana kalau Anakmas saya antar naik ke atas panggung, dan duduk di antara para penabuh gamelan?” Mendengar usulannya itu, saya terkejut dan balik bertanya: “Apa boleh begitu?” Dia menjawab: “Ya boleh saja. Ayo saya antar ke sana…..” Sesaat kemudian, saya diantar pak mandor hutan dan kemudian dicarikan tempat yang agak longgar di antara para penabuh ricikan saron dan demung yang letaknya di deretan paling belakang para penabuh. Nah, sejak itulah, jika nonton pagelaran wayang kulit purwa, saya selalu berusaha untuk naik ke panggung dan duduk di belakang para penabuh ricikan balungan.

Pagi-pagi tubuh saya terasa terguncang-guncang! Ternyata saya telah tertidur pulas di belakang badan para penabuh gamelan. Begitu membuka mata, samar-samar saya melihat ayah saya berdiri di belakang panggung dan berkata: “Ayo kita pulang, wayangan-nya sudah selesai dan hari sudah pagi….” Pagi itu, hari Minggu, dengan mata masih terkantuk-kantuk kami naik jip Willys tua yang setia, kembali ke Kota Jember. Saya tidak tahu lagi melewati mana saja perjalanan pulang itu, karena saya tak bisa lagi menahan kantuk dan meneruskan tidur di jok belakang jip tua itu. Sejak itulah, saya menyukai nonton pagelaran wayang kulit purwa dalam kondisi yang sangat tradisonal. Kenangan indah saat menonton pagelaran wayang kulit purwadi tengah hutan rimba belantara Sempolan itu, tidak akan pernah hilang dari ingatan saya sampai kapan pun…….

____________________________________ 

[1]       ‘Trikora’ adalah singkatan judul pidato Bung Karno, yang isinya memerintahkan rakyat Indonesia bergabung menjadi sukarelawan dan menyerbu Irian Barat, yang saat itu masih menjadi wilayah jajahan Belanda.

[2]       PN adalah singkatan dari ‘perusahaan negara’. Sekarang, sebutannya sudah berganti menjadi PERUM, singkatan dari ‘perusahaan umum’.

[3]       KPH merupakan singkatan dari ‘Kesatuan Pemangkuan Hutan’. Pejabat tertinggi di kantor KPH adalah seorang ‘administratur’, yang di kalangan kehutanan sering disingkat penyebutannya menjadi ADM. Seorang ADM, biasanya membawahi beberapa ‘sinder’ yang kantornya lazim disebut ‘kesinderan’. Seorang ‘sinder kehutanan’, biasanya membawahi beberapa ‘mantri hutan’, yang kantornya lazim disebut ‘kemantren’ atau kantor KRPH (Kesatuan Resor Pemangkuan Hutan). Seorang ‘mantri hutan’, biasanya membawahi sejumlah ‘mandor hutan’. Dan, seorang ‘mandor hutan’ biasanya membawahi sejumlah ‘blandhong’, yaitu pekerja yang bekerja secara langsung di hutan. Di wilayah kemantren tertentu, biasanya terdapat suatu lokasi yang khusus melakukan pembibitan atau penyemaian tanaman hutan, TPK (tempat penimbunan kayu) hasil tebangan hutan, dan kadang-kadang ada juga base workshop dan base station tempat menyimpan sejumlah peralatan berat untuk keperluan kehutanan, seperti traktor, buldozer, truk trailer, truk katrol, dan kelengkapan bahan bakar serta minyal pelumas untuk keperluan berbagai mesin itu. Unit ini, seringkali disebut sebagai unit peralatan mekanisasi kehutanan, yang lokasinya biasanya terpencil di tengah hutan.

[4]       Saradan, adalah nama sebutan sebuah TPK (tempat Penimbunan Kayu) gelondongan kayu jati dan pohon rimba milik PN Perhutani KPH Madiun, yang sangat terkenal dan sangat besar kapasitasnya. Lokasinya terletak di tengah hutan jati, di sebelah timur Kota Madiun; pada jalan raya Madiun – Jombang.

[5]       ‘Stroomking’ adalah sejenis lampu seperti ‘petromax’, tetapi mempunyai tangki minyak yang terpisah. Lampu stroomking, biasanya menerima minyak tanah bertekanan tinggi dari tangki melalui selang-selang kecil yang dipasang di antara tangki dan lampu stroomking. Tangki minyak tanah yang dipakai, biasanya berukuran cukup besar, karena harus bisa menyalakan semua lampu stroomking semalam suntuk. Seperti pada petromax, setiap lampu stroomking sebelum dinyalakan, harus dipanaskan lebih dahulu memakai minyak spiritus selama beberapa menit. Sementara lampu-lampu stroomking itu dipanaskan memakai minyak spiritus, tangki minyak tanah dipompa, sehingga menghasilkan tekanan yang cukup tinggi. Setelah lampu stroomking menjadi cukup panas dan tekanan minyak tanah sudah mencukupi, maka keran kecil pengatur aliran minyak tanah bertekanan di lampu stroomking itu dibuka sedikit demi sedikit, sehingga nyala lampu stroomking diatur sehingga menjadi terang benderang seperti lampu petromax. Sebagai tambahan, istilah ‘stroomking’ yang lazim dipakai di kalangan masyarakat, sebenarnya merupakan penyebutan yang salah dari merk lampu minyak tanah bertekanan itu. Lampu ini, sebenarnya bermerk ‘Storm King’. Tetapi bagi lidah penduduk lokal, mungkin karena sukar menyebutnya, lalu supaya mudah lalu disebut ‘stroomking’.

Pagelaran wayang beber di masa lampau. Sederhana, penuh ritual, sesaji, dan mistik.

Hutan pohon pinus yang indah, lebat, rindang, dan subur; di wilayah Garahan, yang letaknya di sebelah timur Sempolan.

Terowongan kereta-api di Garahan, merupakan salah satu pemandangan unik dan indah wilayah ini.

Tanjakan jalan raya di sekitar Garahan, pada rute Jember - Banyu-Wangi.

Kereta-api penumpang Sri-Tanjung sedang melewati rute di sekitar Garahan.