Sekitar
tahun 1966, saya dan guru karawitan saya, Pak Hardja Prewita, tiba-tiba diminta
bergabung dengan suatu grup kesenian baru, yang lokasinya berada sedikit di
sebelah utara Kota Sala-Tiga. Guru saya, yang juga seorang dhalang, diminta
melatih tidak saja anggauta grup karawitan itu, tetapi juga melatih Pak
Sukardjo, pemilik seperangkat gamelan dan wayang, yang rupanya sangat ingin
belajar menjadi dhalang wayang kulit
purwa. Seingat saya, Pak Sukardjo itu bekerja di kantor Dinas Pejagalan
Kotamadya Sala-Tiga. Gamelan perunggu milik Pak Sukardjo itu, merupakan gamelan
baru laras slendro. Gamelannya cukup
lengkap dan suaranya benar-benar bagus. Seluruh bilah dan pencon-nya
benar-benar kinclong. Saat pertama kali saya melihatnya, saya benar-benar terpesona
oleh kilau cemerlang gamelan baru Pak Sukardjo itu. Lalu, Pak Sukardjo juga
menunjukkan sekotak wayang yang juga baru. Di dalam rumahnya, Pak Sukardjo
secara sengaja mengubah salah satu ruangnya, menjadi tempat gamelan dan
sekaligus tempat latihan wayang. Di sana ada sebuah layar wayang berukuran tak
begitu besar, yang dipakai untuk berlatih ‘sabetan’.
Malam
itu, kami diperkenalkan dengan seluruh anggauta grup karawitan itu. Kebanyakan anggautanya sudah tua, serta berasal dari berbagai golongan dan profesi yang
berbeda-beda. Ada yang merupakan pegawai negeri yang masih aktif, ada pensiunan
pegawai, ada karyawan swasta, tukang batu, kuli bangunan, dan ada yang
berprofesi sebagai tukang kayu. Seperti saat kami dulu hendak belajar
mengiringi pagelaran wayang kulit purwa yang pertama kali, guru saya juga
memberikan sejumlah wejangan dan pengetahuan dasar. Dari seluruh wejangannya,
yang saya sampai sekarang masih benar-benar ingat, adalah bahwa pagelaran
wayang kulit purwa tidaklah selalu harus menggunakan gendhing-gendhing yang rumit. Jadi, seperti pagelaran sebelumnya,
yang dulu dilakukan di Desa Karang-Pete, gendhing-gendhing
yang hendak dipakai juga sangat sederhana. Apalagi, para penabuhnya hampir semuanya
juga baru belajar menabuh, meskipun hampir semuanya sudah berumur rata-rata di
atas 40 tahun. Dalam grup itu, saya dan seorang pemuda sebaya, termasuk orang
yang paling muda saat itu.
Saya
benar-benar masih bisa mengingat luar kepala seluruh rangkaian gendhing-gendhing yang dirancang guru
saya untuk mengiringi pagelaran wayang kulit purwa semalam suntuk, yang nantinya
akan dibawakan oleh Pak Sukardjo itu.
- Untuk ‘gendhing klenengan sore’, digunakan beberapa gendhing jenis lancaran ‘standar’, seperti Lancaran Manyar-Sewu, Lancaran Ricik-ricik, Lancaran Bendrong, Lancaran Rena-rena. Sedangkan untuk gendhing yang lebih halus, dirancang menggunakan Ladrang Slamet (yang di kemudian hari saya mengenal di tempat lain sebagai Ladrang Wilujeng), Ketawang Kinanthi Pawukir, Ketawang Kinanthi Sandhung, dan Ketawang Pucung. Hanya gendhing-gendhing ini yang dipersiapkan untuk melakukan pagelaran gendhing klenengan sore.
- Untuk pagelaran ‘klenengan wayangan’, dipersiapkan beberapa gendhing jenis ladrang sederhana yang bersuasana agak gembira dan semarak. Antara lain, Ladrang Sumirat, dan Ladrang Kijing Miring, dan Ladrang Sri Widodo.
- Untuk ‘gendhing talu wayangan’, dipersiapkan memakai gendhing Ladrang Mugi Rahayu yang sangat pendek, lalu dilanjutkan Ayak-Ayak Talu, kemudian diteruskan dengan Srepegan Manyura, dan diakhiri dengan Sampak Manyura. Sudah hanya itu saja!
- Sedangkan untuk pengiring jejer pathet nem, direncanakan menggunakan Ayak-ayak Manyura, yang dilanjutkan dengan Ladrang Sri-Katon. Untuk adegan ‘mundur kedhaton’, hanya diiringi dengan Ayak-ayak Nem. Lalu ‘jejer kedhaton’, menggunakan Ladrang Asmarandana yang di-garap kebar untuk pengiring adegan Limbukan. Adegan ‘paseban njawi’, dibuka menggunakan iringan Ladrang Moncer yang berirama cepat, lalu suwuk sesegan. Adegan ‘budhalan wadya’ dan ‘kapalan’ diiringi Lancaran Manyar-Sewu. Adegan ‘jejer sabrang’, memakai Ladrang Dwirada-Meta suwuk gropak. Menurut pandangan saya waktu itu, ini merupakan satu-satunya gendhing yang paling sukar garap-nya. Tentu saja adegan lainnya, cukup diiringi memakai gendhing Srepegan Nem, Sampak Nem, dan Ayak-ayak Nem.
- Lalu jejeran pathet sanga cukup memakai Ladrang Pangkur. Lalu diseling dengan sejumlah ‘gendhing dolanan’, yang salah satunya adalah Jineman Uler Kambang. Untuk adegan ‘Perang Kembang’ diawali dengan Ketawang Kinanthi Subakastawa, lalu dilajutkan dengan Ayak-ayak Sanga, kemudian diteruskan dengan Srepegan Sanga, dan tentu saja juga Sampak Sanga.
- Jejer pathet manyura, atas permintaan Bapak-Bapak anggauta karawitan, diusulkan untuk diiringi dengan Gendhing Perkutut Manggung, yang memang merupakan salah satu gendhing yang populer dan sangat disukai saat itu. Sedangkan ‘adegan srambahan’ lainnya, cukup diiringi dengan Ayak-ayak Manyura. Lalu tentu saja tidak dilupakan Srepegan Manyura dan Sampak Manyura. Dan sebagai penutup pagelaran, dimainkan Ayak-ayak Pamungkas.
Sesederhana
itulah seluruh rangkaian gendhing-gendhing yang hendak dipakai untuk mengiringi
pagelaran wayang kulit purwa semalam suntuk. Bahkan, selama semalam suntuk itu,
hanya digunakan satu ‘gendhing
serius’ (itu istilah saya), yaitu Gendhing Perkutut Manggung. Mengakhiri
‘briefing-nya’ guru saya memberikan komentarnya untuk ‘ngayem-ayemi’ (menenteramkan) para siswa-siswanya, yang kelihatan
agak kecut saat mendengar daftar gendhing
yang harus dikuasai: “Kabeh gendhing-gendhing
mau kuwi nabuhe gampang! Karo
cengengesan wae mesthi bisa!” (Semua gendhing-gendhing
tadi itu, memainkannya mudah! Sambil ketawa cengengesan saja pasti bisa!).
Dalam hati, saya mengatakan: “Ya itu kan untuk njenengan Pak Guru, kalau untuk siswa-siswanya mungkin ya tetap
sudah cukup sukar”. Tapi, saya memang sudah menguasai sebagian besar materi
yang tadi dipaparkan oleh guru saya. Sekurang-kurangnya, selain sudah berlatih
jauh sebelumnya, beberapa gendhing-nya
juga sudah pernah digunakan pada saat kami yang masih ‘anak-anak kecil’ itu
melakukan pagelaran wayang semalam suntuk yang pertama kali, di Desa
Karang-Pete beberapa bulan yang lampau.
Dan,
seperti perkiraan saya, gendhing yang
paling sukar adalah Ladrang Dwirada-Meta, yang tabuhannya cukup ruwet, dan
harus ‘suwuk gropak’ (ditabuh sangat
keras, lalu berhenti mendadak dalam irama yang sangat cepat). Beberapa kali
kami berlatih penggarapan gendhing
ini dengan susah payah. Beberapa penggarapan gendhing ini kali gagal total dan rusak, terutama saat suwuk gropak, yang saya pandang amat
sangat berrisiko itu. Setelah berlatih selama tiga minggu terus-menerus dan gendhing yang super sukar itu diulang
beberapa kali pada setiap sesi latihan, maka akhirnya Ladrang Dwirada-Meta itu
berhasilkan dimainkan secara sempurna, lengkap dengan suwuk gropak-nya. Saya masih ingat benar, pada saat untuk pertama
kalinya, Ladrang Dwirada-Meta itu lengkap dengan suwuk gropak-nya sukses dimainkan tanpa kesalahan sedikitpun, para pradangga yang sudah ‘sepuh-sepuh’ itu berteriak-teriak
gembira seperti anak-anak kecil saja, sambil saling bersalaman! Luar biasa
menyenangkan melihat peristiwa itu.
Kegembiraan
itu, belum berakhir. Setelah sesi latihan selesai, untuk ‘memperingati’
kesuksesan memainkan Ladrang Dwirada-Meta yang super sukar itu, semua ‘nayaga sepuh’ itu, lalu berkumpul di
ruang latihan, sambil tertawa-tawa gembira mereka minum kopi dan teh
bersama-sama, sambil menikmati hidangan goreng pisang hangat. Mereka seakan tak
ingat lagi bahwa mereka semua sudah berumur, sudah pada ‘sepuh’ semuanya. Latihan hari itu, saya ingat benar, berlangsung
lebih lama dari biasanya, dan sampai agak larut malam baru selesai. Sebenarnya,
yang membuat lama bukanlah latihannya, tetapi berbincang-bincang membicarakan
kisah ‘succes story’ saat memainkan
Ladrang Dwirada-Meta yang super sukar itu.
Setelah
berlatih hampir tiga bulan lamanya, akhirnya sampailah pada hari pagelaran yang
ditunggu-tunggu. Pak Sukardjo yang telah dengan amat sangat serius dan penuh
semangat ‘empat lima’ berlatih sabetan,
sulukan, antawacana (dialog), dan janturan
(narasi); hampir setiap hari, selama tiga bulan penuh itu, akahirnya siap juga
untuk ‘madeg dadi dhalang’. Malam
itu, Pak Sukardjo dalam pakaian adat gaya Surakarta, tampak jauh lebih
berwibawa dari pada yang terlihat sehari-hari. Tubuhnya yang tinggi besar dan
agak gemuk, tampak gagah dengan ‘keris
ladrangan’ diselipkan di bagian belakang beskap-nya. Bersama-sama dengan sejumlah pejabat pemerintah
setempat, ia duduk bersama-sama dengan Mbak Jaenah, seorang pesindhen muda belia dari Bringin (di
sebelah utara Kota Sala-Tiga), yang saat itu sedang naik daun dan sangat
terkenal. Ia, sebenarnya merupakan seorang gadis remaja, yang baru beumur
sekitar 17 tahun. Mbak Jaenah, terkenal tidak saja karena cantik dan sexy, tapi
juga karena suaranya amat sangat merdu. Puluhan pasang mata para tamu diam-diam
banyak yang melirik dan memandang penuh kekaguman oleh pesona pada Mbak Jaenah.
Dan, Mbak Jaenah rupanya juga tahu bahwa ia menjadi bahan lirikan para tamu
pria yang terkagum-kagum. Ia rupanya juga senang menjadi bahan gunjingan para
tamu pria itu. Menebarkan senyum manis penuh gemas, Mbak Jaenah dan Pak
Sukardjo yang malam itu memakai gelar Ki Sukardjo, membuat pagelaran wayang
kulit purwa malam itu benar-benar semarak sampai pagi hari. Dan, tanpa terasa,
tiba-tiba saja Ayak-ayak Pamungkas sudah terdengar mengalun, menandakan seluruh
pagelaran wayang kulit purwa itu selesai. Semuanya, pulang dengan kenangan
masing-masing, termasuk kenangan atas senyum manis Mbak Jaenah yang suara merdu
sindhenan-nya akan diam-diam akan menjadi
kenangan manis yang tak terlupakan sepanjang hayat….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar