Halaman

Senin, 01 Juli 2013

PAGELARAN WAYANG KULIT PURWA DI TENGAH HUTAN RIMBA BELANTARA

Pagelaran 'bayang-bayang' wayang kulit purwa, yang menggetarkan hati, mengharu-biru emosi, dan memikat hati penonton, merupakan dambaan...

Membaca cerita pendek true story ini, ada baiknya sambil mendengarkan alunan Gendhing Laler Mengeng dan Gendhing Talu Wayangan, gaya tradisional yang sangat klasik (dari tahun 1970-an).....


Selamat membaca dan menikmati.....

Ini adalah kenangan indah saat saya masih anak-anak dan masih duduk di kelas 3 sampai kelas 6 Sekolah Rakyat (sekarang disebut Sekolah Dasar), di Kota Jember, Jawa Timur. Peristiwa ini terjadi pada sekitar tahun 1962 – 1963. Di masa-masa yang saat itu dikenal dengan sebutan ‘masa perebutan Irian Barat’, atau oleh kalangan masyarakat umum sering juga disebut ‘jaman Trikora’. [1]

Pada masa itu, ayah saya bekerja sebagai seorang ADM (administratur) PN Perhutani[2] di kantor KPH Jember. [3]  Jika sedang masa liburan, saya seringkali ikut truk milik PN Perhutani ke hutan. Kebetulan kita tinggal di komples perumahan dinas PN Perhutani, yang lokasinya berhadapan dengan garasi dan bengkel PN Perhutani, yang lokasinya di Patrang, sedikit di sisi utara Kota Jember. Naik truk ke hutan, merupakan salah satu pengalaman yang menyenangkan saya. Biasanya truk-truk PN Perhutani itu berangkat pagi-pagi, sekitar jam 07.00 pagi Waktu Jawa (sekarang penyebutan waktu sudah diubah menjadi jam 07.00 Waktu Indonesia Barat atau WIB),  dan pulang dari hutan sore hari. Pada masa itu, truk-truk tua yang dipakai umumnya bertonase sekitar 3,5 ton, merknya Chevrolet, Dodge, dan Fargo. Ketiga merk truk itu, buatan Amerika.

Pada masa itu, rute truk hutan yang paling saya sukai, adalah yang menuju hutan di sekitar Sempolan atau Garahan, yakni ke arah timur, di jalan raya yang menuju Kota Banyu-Wangi. Selewat kota kecil Kali-Sat, truk akan menuju Sempolan dan akhirnya berbelok ke kiri, memasuki jalan hutan. Sebelum masuk jalan hutan, truk-truk itu biasanya berhenti untuk melapor lebih dahulu di kantor ‘kemantren’ atau kantor KRPH (Kesatuan Resor Pemangkuan Hutan) Sempolan, yang lokasinya di sisi kiri jalan raya Jember – Banyu-Wangi.  Saya sangat senang dan karenanya juga sangat sering ikut truk yang melewati ke rute ini dan sangat senang jika truk yang saya tumpangi mampir ke ‘kemantren’ Sempolan ini. Mengapa? Tidak lain, karena Pak Mantri Hutan yang tinggal di sebelah kantor kemantren ini, adalah seorang dhalang wayang. Mantri hutan yang pada masa itu sangat terkenal ini, namanya Pak Sugondo; yang biasanya dipanggil Pak Gondo. Disebut sangat terkenal, karena seragam pakaiannya yang luar biasa gagah, memakai pakaian safari dan celana berwarna cokal muda, dengan ikat pinggang kulit berukuran besar. Di ikat pinggangnya, selalu tergatung sebuah pistol  Colt ‘revolver’ kaliber 38 dan sebuah ‘veldvles’ (tempat air minum), serta pisau rimba berukuran besar. Sementara sepatu yang digunakannya adalah jenis sepatu ‘laars’ kulit berwarna hitam, yang tingginya hampir mencapai lutut. Pak mantri hutan ini seringkali pergi memeriksa hutan sambil naik kuda. Saat naik kuda ia memakai topi lebar berwarna coklat tua, seperti topi ‘vilt’ yang biasa dipakai para koboi Amerika, tetapi dibuat dari anyaman ‘mendong’, yang salah satu sisi sampingnya sedikit dilengkungkan ke arah atas dan sisi samping lainnya rata. Kelihatannya gagah sekali, dan sangat mirip dengan seorang ‘sherif’ (kepala polisi ‘daerah pedalaman’ Amerika).

Di samping rumah dinas tempat tinggalnya, yang letaknya hanya beberapa meter di sebelah kanan kantorkemantren, saya bisa melihat beberapa orang sedang ‘ngerok’ (mengikis) lembaran kulit sapi atau kulit kerbau, yang ditarik kuat-kuat ke arah samping sampai tegang memakai tali-tali yang diikatkan pada konstruksi batang kayu berbentuk kotak (seperti pigura lukisan). Lembaran kulit sapi atau kerbau itu, dikikis memakai ‘pecok’ (seperti pacul kecil yang ditajamkan), supaya seluruh permukaan kulitnya rata, halus, dan hilang bulu-bulunya. Mengikis kulit sapi atau kerbau, biasanya dilakukan pagi hari sampai menjelang siang hari, dan dilakukan di halaman luar. Dan, yang lebih menyenangkan hati saya, sisa kikisan kulit yang berbentuk gulungan-gulungan kecil terputus-putus, sesudah dikeringkan, biasanya dimasak dengan cara digoreng, dan menjadi ‘krupuk kulit’ atau ‘krupuk krecek’. Atau, dimasak menjadi ‘sambel goreng krecek’,yang jangankan dimakan, bahkan saat melihat saja, sudah timbul air liur saya. Lembar-lembar kulit itu, setelah kering dan rata, lalu dipotong dan dipakai untuk membuat wayang kulit, yang proses pembuatannya juga dilakukan di teras rumah Pak Gondo.

Selain mengikuti truk hutan, saya juga sering ikut ayah melakukan pemeriksaan wilayah hutan, yang di kalangan kehutanan kegiatan seperti ini lazim disebut ‘tourne’. Mobil dinas milik PN Perhutani yang dipakai ayah, adalah sebuah kendaraan jip Willys kuno, buatan tahun 1942, warna hijau tua, dengan lampu besarnya yang sangat khas. Letak lampu depannya, di dalam lubang besar pada panel depan kendaraan. Jip Willys kuno yang bernomor polisi P-310 ini, setiap kali akan dipakai ‘tourne’ harus diisi air dingin lebih dulu. Peralatan baku ‘inventaris’ ayah saya yang dibawa di kendaraan ini, biasanya meliputi senapan laras ganda(double loop) berkaliber 16 mm lengkap dengan sekotak peluru (ukuran pelurunya besar sekali, karena berkaliber 16 mm dan panjang setiap peluru sekitar 10 cm), kompas, teropong binokular, peta petak (peta khusus kehutanan), pisau rimba, ‘veldvles’ (tempat minum versi militer, yang digantung di sabuk celana), sepatu ‘laars’, dan tak lupa juga sebuah jaket. Ayah saya, biasanya memakai baju ‘dinas’ berupa baju safari lengan pendek dan celana panjang yang dibuat dari bahan ‘dril’ berwarna ‘khaki’ (coklat muda). Ia biasanya juga memakai topi pet, berwarna coklat muda. Pada masa itu, kain yang bisa dibeli hanyalah kain dril warna cokla muda itu dan kain belacu warna putih. Seperti juga kesenangan saya ikut truk hutan, saya juga sangat senang jika tourne dilakukan di wilayah hutan sekitar Sempolan. Penyebabnya juga sama, yaitu karena sering mampir di kantor kemantren Sempolan itu.

Selain bersama pengemudi jip Willys tua yang bernama Pak Saleh, seringkali ayah saya juga melakukantourne bersama beberapa pegawai kantor KPH Jember. Di antara mereka, yang paling sering ikut melakukan peninjauan bersama, adalah ‘sinder hutan’ dan ‘mantri hutan’ yang menanggung-jawabi wilayah hutan yang akan ditinjau. Pemeriksaan wilayah hutan seringkali dilaksanakan dengan cara jalan kaki potong kompas, dengan hanya melihat peta petak, langsung menuju petak hutan yang akan ditinjau. Jip Willys tua dan pengemudinya, biasanya dititipkan di rumah penduduk desa setempat, diparkir begitu saja di sisi jalan hutan, atau diminta menunggu di suatu tempat di wilayah sekitar petak hutan yang akan dituju.

Pada masa itu, sebagian wilayah hutan di sekitar Sempolan sedang ditebang dan diganti dengan tanaman hutan produksi jenis pohon pinus. Saat liburan, saya juga sering ikut truk hutan yang mengangkut bibit pohon pinus, yang tingginya sekitar 15 – 20 cm dan diletakkan (dengan media tanahnya) di keranjang-keranjang kecil, yang dibuat dari anyaman bambu. Bibit pohon pinus yang masih kecil ini, biasanya diambil dari tempat pembibitan, yang lokasinya dekat dengan base camp peralatan mekanik Sempolan. Beratus-ratus bibit pohon pinus ini, kemudian diangkut ke tempat penanaman, jauh di tengah hutan. Di tempat penanaman pohon pinus itu, biasanya sudah ada sekelompok besar penduduk desa ‘mager-sari’, yang oleh PN Perhutani diperbolehkan melakukan kegiatan bertani palawija sambil menanam dan memelihara pohon-pohon pinus yang masih kecil. Biasanya, mereka akan tinggal selama beberapa tahun di lokasi yang sama, sampai pohon-pohon pinus itu menjadi cukup besar dan bisa ditinggalkan. Setelah pohon-pohon pinus itu besar (setinggi kira-kira 2 – 3 meter), mereka akan dipindahkan ke lokasi lain, untuk melakukan peran dan kegiatan yang sama.  Jika kita sekarang melakukan perjalanan dari Kota Jember ke arah Banyu-Wangi, maka setelah melewati Sempolan, sebelum memasuki wilayah hutan Garahan (hutan Gunung Kemitir), kita akan melewati hamparan hutan pohon pinus yang tumbuh subur dan sekarang sudah berubah menjadi pohon pinus yang sangat tinggi dan lebat. Melihat pemandangan ini, membuat saya terharu dan jadi teringat masa kecil saya, saat sering ikut menanam bibit pohon-pohon pinus kecil itu, di sekitar tahun 1962 – 1963. Waktu serasa berlalu sedemikian cepatnya. Tak terasa, pohon-pohon pinus yang dulu terlihat sangat kecil dan ringkih, sekarang sudah menjadi hutan pinus yang indah, lebat, teduh, dan rindang.

Di dalam hutan Sempolan, pada suatu lokasi yang jaraknya beberapa kilometer dari jalan-raya Jember – Banyu-Wangi, ada suatu tempat semacam base camp, tempat para pegawai kehutanan dari bagian mekanisasi kehutanan tinggal beserta seluruh keluarga dan alat-alat berat yang ditanggung-jawabi. Mereka itu, merupakan kelompok pegawai mekanik kehutanan pindahan dari Saradan. [4] Uniknya, semua pegawai mekanik ini (pengemudi traktor raksasa, pengemudi buldozer raksasa, pengemudi truk trailer pengangkut kayu gelondongan), beserta seluruh keluarganya, adalah pemain, penari, dan penabuh gamelan yang sangat canggih. Saya masih ingat benar, salah seorang pengemudi traktor penyeret kayu gelondongan bermesin diesel, beroda rantai raksasa, tipe D-9 merk Allis Chalmers, yang beratnya sekitar 39 ton; adalah seorang penari dan pemeran raksasa ‘cakil’ yang sangat bagus, terampil, sangat cekatan gerak tarinya. Tubuhnya yang tinggi ramping, terlihat sangat cocok dengan peran ‘cakil’-nya itu. Sekali sebulan, saat ada perayaan tertentu, perayaan ‘syawalan’, atau peringatan hari kemerdekaan; mereka bisa tiba-tiba berubah menjadi sekumpulan grup kesenian, lengkap dengan penari dan penabuh gamelan-nya. Di base campmereka itu, setiap bulan sekali kita bisa menyaksikan mereka melakukan pagelaran wayang wong ataukethoprak.

Di antara sejumlah pagelaran wayang itu, beberapa kali dilaksanakan di halaman depan kantor kemantrenSempolan. Biasanya, yang menjadi dhalang ya Pak Mantri Sugondo itu. Sedangkan penabuh gamelan, pesindhen, dan wiraswara-nya; para pegawai mekanik kehutanan dan keluarganya. Tetapi ada suatupagelaran wayang kulit purwa yang benar-benar unik. Pagelaran wayang ini dilakukan di tengah hutan di tengah hutan rimba di sisi barat laut Sempolan. Pada masa itu, PN Perhutan KPH Jember sedang giat-giatnya membuat jalan rintisan (jalan tembus hutan) di wilayah pedalaman barat luat Sempolan. Bukan membuat jalan raya, tetapi membuat jalan hutan yang bisa dilewati truk dan jip saja. Pada saat awal, jalan hutan itu dibuat dengan cara meratakan tanah memakai buldozer raksasa dari unit  mekanisasi Sempolan dan beberapa peralatan berat lainnya. Pembuatan jalan hutan ini memakan waktu selama beberapa bulan. Jika menemui hambatan berupa jurang atau sungai, biasanya dilakukan upaya untuk membuat jembatan. Biasanya yang dibangun adalah jembatan kayu. Beberapa dari jembatan kayu itu, mempunyai bentangan yang cukup panjang dan melewati sungai atau jurang yang cukup dalam.

Pada saat awal pembangunan, biasanya seluruh pegawai PN Perhutani yang terlibat proses pembangunan, termasuk teknisi dan para operator peralatan berat, dipimpin oleh kepala proyek, akan melakukan selamatan, di lokasi dekat jembatan. Selamatan, biasanya dilakukan siang hari, dan hanya secara sederhana saja.  Peristiwa yang benar-benar menyenangkan tetapi juga agak mencemaskan, sebenarnya bukan saat awal pembangunan, tetapi saat jembatan itu sudah jadi dan akan diresmikan pemakaiannya. Pada saat jembatan di tengah hutan rimba itu sudah diselesaikan, maka seperti awalnya, akan dilakukan selamatan dan syukuran. Tetapi yang bagi saya paling menyenangkan, adalah dilaksanakan pagelaran wayang kulit purwa lengkap semalam suntuk. Ceritanya biasanya dipilih yang menarik dan ramai. Dhalang-nya….? Ya Pak Gondo itulah, lengkap dengan para penabuh gamelan yang para operator peralatan berat.

Sejak pagi hari, ‘tarub’ (tenda besar) biasanya sudah didirikan di dekat lokasi jembatan baru. Lalu sekumpulan ibu-ibu (para isteri) keluarga operator peralatan berat itu sudah kelihatan sibuk memasak, di sejumlah tarub kecil, dibantu sejumlah ‘blandhong’ dan anak-anak putri mereka. Sementara, para pria biasanya mempersiapkan penyembelihan sapi, kerbau, atau beberapa kambing. Suasana di sekitar jembatan baru itu, benar-benar semarak dan kelihatan sangat sibuk. Sebagian dari para pria itu, selain sibuk meletakkan deretan kursi, meja, dan tikar mendong untuk duduk lesehan yang dibentangkan di atas lembaran ‘gedheg’ (anyaman bambu); juga sibuk memasang selang-selang kecil di tiang-tiang tarub, yang akan dipasang pada lampu-lampu ‘stromking’. [5]

Siang hari, sekitar jam satu siang, setelah selesai makan, saya bersama ayah melihat-lihat berkeliling dan memperhatikan bagaimana beberapa penabuh gamelan yang sehari-harinya adalah para operator alat berat itu memasang ‘geber wayang’ (layar wayang) dan ‘menyimping’ (menata) wayang kulit dan menancapkannya di atas ‘debog’ pisang panjang, di sebelan kanan dan kiri gunungan. Saya memperhatikan saat wayang-wayang kulit itu ditata secara berurut dan sangat rapi. Beberapa orang sibuk menata ricikan gamelan dan mengatur letaknya, sehingga ada ruang yang cukup untuk para penabuhnya duduk saat menabuh. Tepat di bagian tengah layar wayang, agak ke atas, beberapa orang terlihat sedang sibuk memasang lampu stroomking. Sekitar jam empat sore, seluruh proses penataan panggung pagelaran wayang sudah selesai. Di mata saya, panggung wayang dan gamelan itu tampak sangat indah dan memberikan kesan semarak. Apalagi dengan rancak gamelan-nya yang berwarna merah menyala dengan hiasan ornamen berwarna keemasan.

Sekitar jam tujuh malam, para pejabat PN Perhutani dan para undangan lainnya, termasuk penduduk desa setempat, para sepepuh desa, lurah, carik, kepala dukuh, serta sanak keluarga para operator peralatan berat dan seluruh pekerja proyek jembatan; sudah pada hadir dan duduk di tempat masing-masing.Gendhing-gendhing juga sudah mulai dimainkan. Suara gendhing-nya biasanya bisa terdengar dari kejauhan (beberapa kilometer). Beberapa saat kemudian, upacara pembukaan pun dimulai. Biasanya dilakukan sambutan-sambutan resmi dari para pejabat, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa yang dilakukan oleh kyai setempat. Setelah seluruh acara resmi dan pembacaan doa selesai dilaksanakan, lalu dilanjutkan dengan makan bersama-sama.  Hidangan yang paling disukai adalah sate sapi dan sate kambing, dengan saus kacang dan kecap yang pedas bercampur potongan bawang merah. Sementara itu, ada juga hidangan gulai daging kerbau. Ada juga sayur sop dengan potongan-potongan kecil wortel, kentang, dan kubis, yang biasanya sangat gurih rasanya. Sudah barang tentu, kiriman makanan yang berasal dari sumbangan Pak Mantri Sugondo yang sangat khas, yaitu ‘sambel goreng krecek’, tidak pernah lupa disajikan. Nasi hangat (memakai beras ‘Raja Lele’) yang masih mengepul, membuat perut seluruh pengunjung semakin lapar saja. Suasana makan bersama ini, berlangsung sekitar satu jam dengan penuh kegembiraan.

Sebagai pelengkap, biasanya disajikan rokok. Rokok putih, umumnya tidak terlalu disukai. Sebaliknya, lazimnya disajikan rokok kretek, yang biasanya dihidangkan dalam keadaan sudah dibuka bungkusnya dan batang-batang rokoknya diletakkan di dalam gelas-gelas. Berbagai merk rokok kretek dicampur begitu saja di dalam gelas-gelas. Minuman teh hangat dan kopi umumnya menjadi minuman standar yang disajikan. Suasana malam peresmian jembatan itu benar-benar semarak dan membuat senang seluruh yang hadir. Deretan kursi (tidak terlampau banyak), biasanya ditempati para pejabat dan para pamong desa, sedangkan para hadirin lainnya dan penduduk setempat biasanya duduk lesehan di atas tikar. Seluruh yang hadir, biasanya berjumlah sekitar 150 – 200 orang. Semuanya duduk berkumpul di bawah naungan tarub besar itu.

Sekitar jam delapan malam, udara sudah semakin dingin. Gendhing-gendhing dimainkan para pengrawitmenemani para hadirin makan bersama. Bulan sudah purnama dan menyinarkan cahayanya bagaikan bola emas bersinar terang di angkasa. Dan, sekitar jam setengah sembilan malam, Gendhing Talu Wayang mulai dimainkan. Suasana mulai berubah menjadi semakin ‘gayeng’ dan semarak.  Hadirin sedikit demi sedikit berusaha mendekat ke arah panggung. Mereka duduk bersila lesehan di atas tikar. Lalu sekitar jam sembilan malam, Pak Mantri Sugondo yang sudah memakai pakaian tradisional Jawa, seakan ‘berubah’ peran dan menjelma menjadi seorang dhalang, berdiri tegak, lalu berjalan perlahan-lahan mendekati para pejabat, sesepuh, dan pamong desa. Sesaat, ia bersalaman dengan para pejabat dan memohon ijin untuk memulai pagelaran wayang. Bersamaan dengan terdengarnya Gendhing Sampak Manyura yang ditabuh bertalu-talu, ia naik ke atas panggung pagelaran. Tepat saat Gendhing Sampak Manyura berubah menjadi melambat dan terdengar semakin sayup-sayup karena hendak dihentikan, Pak Gondo yang sudah menjadidhalang pagelaran wayang kulit purwa malam itu, duduk tegak bersila di tempatnya, tepat di depan layar wayang.  Sesaat kemudian, nyala lampu-lampu stroomking dipadamkan. Dan, tinggal sebuah lampustroomking yang menyala di depan layar wayang. Tiba-tiba saja bau asap kemenyan menyeruak menyebar ke seluruh bagian dalam tarub. Suasana seketika berubah menjadi remang-remang penuh sakral. Begitu Gendhing Sampak Manyura berhenti. Suasanya hening sejenak. Tak ada yang berkata-kata. Hanya kesunyian yang terjadi. Dhalang membaca mantra dan doa sesaat. Suaranya terdengar lirih, seakan berbisik kepada Sang Penguasa Jagat Raya, memohon berkah, rakhmat, dan karunia-Nya. Hanya terdengar suara burung-burung malam di kejauhan dan gemerisik angin malam yang berhembus. Lalu gedhog dhalang dibunyikan, dan tiba-tiba pagelaran wayang pun dimulai……

Di tengah hutan rimba belantara, pagelaran wayang kulit purwa itu menghasilkan suasana yang menggetarkan. Selama beberapa waktu, saat gendhing jejer pathet nem mulai dimainkan, suara gamelanmengalun seakan menyihir seluruh hadirin, yang duduk terpaku di tempatnya masing-masing. Adegan demi adegan berlangsung di bawah sorot mata para hadirin. Perlahan-lahan, suasana berubah menjadi semakin cair. Semakin malam suasana semakin cair, dan semakin menyenangkan. Semua yang hadir, masuk ke dalam tarub besar itu dan berusaha menempatkan dirinya seenak mungkin.
Sementara di luar tarub besar, jauh di atas ranting dan dahan pohon-pohon rimba yang tegak berdiri agak jauh, samar-samar terlihat sejumlah pasangan cahaya bulat hijau kebiru-biruan bersinar terang di dalam kegelapan. Pasangan cahaya itu sesekali bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri. Jumlah pasangan cahaya itu, lebih dari sepuluh pasang. Saya yang berdiri di pinggir tarub, terpaku saat melihat pasangan cahaya yang jumlahnya cukup banyak dan selalu bergerak-gerak. Ada sedikit rasa takut saat melihat pasangan cahaya-cahaya itu. Saya mencoba menyipitkan mata, berusaha melihat lebih jelas dan bertanya-tanya dalam hati, cahaya apakah gerangan itu. Bermenit-menit saya berusaha memperhatikan titik-titik pasangan cahaya itu, tetapi tak juga mengerti apa sebenarnya pasangan cahaya itu.

Tanpa saya ketahui, rupanya seorang mandor hutan, melihat apa yang sedang saya perhatikan. Dia lalu menggamit bahu saya. Saya sedemikian terkejutnya, sampai-sampai terlonjak kaget. Mandor hutan itu lalu memberitahu saya sambil berbisik: “Anakmas, jangan keluar dari tarub ya.” Saya terkejut dan balik bertanya: “Kenapa Pak?” Dengan tetap berbicara perlahan-lahan, dia menjawab: “Sebab pasangan cahaya berwarna hijau kebiru-biruan yang bergerak-gerak dan ada jauh di atas dahan dan ranting pohon rimba di sana itu, adalah mata macan tutul dan macan kumbang yang akan bersinar jika terkena pendaran cahaya lampu. Harimau-harimau itu menunggu saat yang tepat untuk turun dan makan sisa hidangan, termasuk makan sisa-sisa daging hewan yang siang tadi disembelih di luar tarub. Jadi, sebaiknya Anakmas jangan ke luar dari tarub. Harimau-harimau itu takut pada api dan cahaya. Karena itu, di luar tarub orang menyalakan beberapa api unggun kecil. Api unggun ini harus tetap hidup sampai besok pagi. Harimau-harimau itu, sangat sabar menunggu. Nanti, setelah semua hadirin selesai menikmati makan malamnya, beberapablandhong akan melemparkan sisa-sisa makanan dan daging ke luar, dilempar jauh-jauh ke arah harimau-harimau itu.” Mendengar penjelasan pak mandor hutan itu, saya jadi bergidik dan timbul rasa takut juga. Tapi dia ‘ngayem-ayemi’ (menteramkan hati saya), dengan berkata: “ Jangan kuatir Anakmas, pokoknya jangan keluar dari tarub ya….” Saya hanya menganggukkan kepala. Pak mandor hutan itu rupanya tahu juga kekecutan hati saya. Ia lalu berkata kepada saya: “Begini saja Anakmas, bagaimana kalau Anakmas saya antar naik ke atas panggung, dan duduk di antara para penabuh gamelan?” Mendengar usulannya itu, saya terkejut dan balik bertanya: “Apa boleh begitu?” Dia menjawab: “Ya boleh saja. Ayo saya antar ke sana…..” Sesaat kemudian, saya diantar pak mandor hutan dan kemudian dicarikan tempat yang agak longgar di antara para penabuh ricikan saron dan demung yang letaknya di deretan paling belakang para penabuh. Nah, sejak itulah, jika nonton pagelaran wayang kulit purwa, saya selalu berusaha untuk naik ke panggung dan duduk di belakang para penabuh ricikan balungan.

Pagi-pagi tubuh saya terasa terguncang-guncang! Ternyata saya telah tertidur pulas di belakang badan para penabuh gamelan. Begitu membuka mata, samar-samar saya melihat ayah saya berdiri di belakang panggung dan berkata: “Ayo kita pulang, wayangan-nya sudah selesai dan hari sudah pagi….” Pagi itu, hari Minggu, dengan mata masih terkantuk-kantuk kami naik jip Willys tua yang setia, kembali ke Kota Jember. Saya tidak tahu lagi melewati mana saja perjalanan pulang itu, karena saya tak bisa lagi menahan kantuk dan meneruskan tidur di jok belakang jip tua itu. Sejak itulah, saya menyukai nonton pagelaran wayang kulit purwa dalam kondisi yang sangat tradisonal. Kenangan indah saat menonton pagelaran wayang kulit purwadi tengah hutan rimba belantara Sempolan itu, tidak akan pernah hilang dari ingatan saya sampai kapan pun…….

____________________________________ 

[1]       ‘Trikora’ adalah singkatan judul pidato Bung Karno, yang isinya memerintahkan rakyat Indonesia bergabung menjadi sukarelawan dan menyerbu Irian Barat, yang saat itu masih menjadi wilayah jajahan Belanda.

[2]       PN adalah singkatan dari ‘perusahaan negara’. Sekarang, sebutannya sudah berganti menjadi PERUM, singkatan dari ‘perusahaan umum’.

[3]       KPH merupakan singkatan dari ‘Kesatuan Pemangkuan Hutan’. Pejabat tertinggi di kantor KPH adalah seorang ‘administratur’, yang di kalangan kehutanan sering disingkat penyebutannya menjadi ADM. Seorang ADM, biasanya membawahi beberapa ‘sinder’ yang kantornya lazim disebut ‘kesinderan’. Seorang ‘sinder kehutanan’, biasanya membawahi beberapa ‘mantri hutan’, yang kantornya lazim disebut ‘kemantren’ atau kantor KRPH (Kesatuan Resor Pemangkuan Hutan). Seorang ‘mantri hutan’, biasanya membawahi sejumlah ‘mandor hutan’. Dan, seorang ‘mandor hutan’ biasanya membawahi sejumlah ‘blandhong’, yaitu pekerja yang bekerja secara langsung di hutan. Di wilayah kemantren tertentu, biasanya terdapat suatu lokasi yang khusus melakukan pembibitan atau penyemaian tanaman hutan, TPK (tempat penimbunan kayu) hasil tebangan hutan, dan kadang-kadang ada juga base workshop dan base station tempat menyimpan sejumlah peralatan berat untuk keperluan kehutanan, seperti traktor, buldozer, truk trailer, truk katrol, dan kelengkapan bahan bakar serta minyal pelumas untuk keperluan berbagai mesin itu. Unit ini, seringkali disebut sebagai unit peralatan mekanisasi kehutanan, yang lokasinya biasanya terpencil di tengah hutan.

[4]       Saradan, adalah nama sebutan sebuah TPK (tempat Penimbunan Kayu) gelondongan kayu jati dan pohon rimba milik PN Perhutani KPH Madiun, yang sangat terkenal dan sangat besar kapasitasnya. Lokasinya terletak di tengah hutan jati, di sebelah timur Kota Madiun; pada jalan raya Madiun – Jombang.

[5]       ‘Stroomking’ adalah sejenis lampu seperti ‘petromax’, tetapi mempunyai tangki minyak yang terpisah. Lampu stroomking, biasanya menerima minyak tanah bertekanan tinggi dari tangki melalui selang-selang kecil yang dipasang di antara tangki dan lampu stroomking. Tangki minyak tanah yang dipakai, biasanya berukuran cukup besar, karena harus bisa menyalakan semua lampu stroomking semalam suntuk. Seperti pada petromax, setiap lampu stroomking sebelum dinyalakan, harus dipanaskan lebih dahulu memakai minyak spiritus selama beberapa menit. Sementara lampu-lampu stroomking itu dipanaskan memakai minyak spiritus, tangki minyak tanah dipompa, sehingga menghasilkan tekanan yang cukup tinggi. Setelah lampu stroomking menjadi cukup panas dan tekanan minyak tanah sudah mencukupi, maka keran kecil pengatur aliran minyak tanah bertekanan di lampu stroomking itu dibuka sedikit demi sedikit, sehingga nyala lampu stroomking diatur sehingga menjadi terang benderang seperti lampu petromax. Sebagai tambahan, istilah ‘stroomking’ yang lazim dipakai di kalangan masyarakat, sebenarnya merupakan penyebutan yang salah dari merk lampu minyak tanah bertekanan itu. Lampu ini, sebenarnya bermerk ‘Storm King’. Tetapi bagi lidah penduduk lokal, mungkin karena sukar menyebutnya, lalu supaya mudah lalu disebut ‘stroomking’.

Pagelaran wayang beber di masa lampau. Sederhana, penuh ritual, sesaji, dan mistik.

Hutan pohon pinus yang indah, lebat, rindang, dan subur; di wilayah Garahan, yang letaknya di sebelah timur Sempolan.

Terowongan kereta-api di Garahan, merupakan salah satu pemandangan unik dan indah wilayah ini.

Tanjakan jalan raya di sekitar Garahan, pada rute Jember - Banyu-Wangi.

Kereta-api penumpang Sri-Tanjung sedang melewati rute di sekitar Garahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar