Halaman

Senin, 08 Juli 2013

SAAT PERTAMA KALI BERKENALAN DENGAN PAGELARAN WAYANG KULIT PURWA GAGRAK PESISIR


Semula, saya hanya bermimpi untuk bisa melantunkan ‘tembang suluk Pesisir’. Dan hal ini sudah berlangsung bertahun-tahun yang lampau. Selama ini, ketertarikan saya justru bukan di bidang ‘tembang’, tetapi lebih banyak ke bidang rancangan ‘ricikan gamelan’ (instrumen gamelan). Karena itu pula, maka judul skripsi saya adalah ‘Gamelan Jawa’. Isinya tentu saja segala hal tentang ricikan gamelan Jawa, sejak dari filosofinya, para pembuatnya, teknik pembuatannya, dan segala renik-renik yang semuanya berhubungan dengan ricikan gamelan Jawa. Namun, pada sekitar tahun 1980-an, dalam rangka pelaksanaan penelitian lapangan untuk menyusun skripsi saya itu, tiba-tiba saja saya mendapat kesempatan melihat suatu pagelaran wayang kulit purwa yang sangat aneh. Pagelaran ini, dilaksanakan di Desa Dhadhap-Ayam, yang lokasinya beberapa kilometer ke sebelah timur-laut Kota Salatiga, di suatu wilayah pedalaman dan pegunungan yang sunyi. Pagelarannya sendiri dilakukan di pendapa kantor kelurahan. Saya ke sana, bersama seorang sahabat saya, yang juga sedang menyusun skripsi, yaitu Mas Didi Sunardi. Berdua saya berangkat menjelang sore hari ke Desa Dhadhap-Ayam menggunakan sebuah mobil pick-up dari Kota Salatiga.
Pagelaran wayang kulit purwa berlangsung seperti biasanya. Seakan-akan tidak ada yang aneh. Tetapi segera setelah pagelaran dimulai, setidaknya mulai saat ‘gendhing sore’ mulai dibunyikan, saya seperti mendengar ada nada yang aneh. Terlebih lagi, saat  dhalang memulai pagelarannya, mulailah secara sadar saya merasakan beberapa keanehan atau bolehlah disebut kejanggalan. Antara lain:
  • Gamelan yang dipakai adalah jenis ‘gamelan nggunung’ yang ukuran fisiknya relatif kecil, dan hanya memakai gamelan laras slendro. Jenis gamelan ini menghasilkan getar nada suara yang relatif pendek. Besar kemungkinan hal ini disebabkan ukuran fisiknya yang relatif kecil.
  • Dhalang-nya sudah tua, dan dinyatakan oleh penduduk setempat sebagai ‘dhalang tiban’, yang hanya memainkan wayang sekali setahun, yakni hanya untuk acara ‘ruwat desa’ atau ‘merti desa’ (bersih desa). Di luar acara itu, beliau dikenal sebagai seorang petani setempat dan tidak pernah melakukan pagelaran wayang kulit purwa.  
  • Permainan gendhing dan karawitan-nya terdengar agak berbeda dibandingkan dengan permainan karawitan gaya Surakarta atau Yogyakarta; meskipun secara umum gendhing-gendhing-nya bisa kita temukan pada permainan karawitan gaya Surakarta atau Yogyakarta.
  • Bunyi ‘keprak’ yang dimainkan oleh dhalang juga unik. Bentuk rupa keprak-nya sama dengan keprak wayang gaya Surakarta, yakni berupa  beberapa lempeng-lempeng logam yang relatif luas permukaannya. Begitu juga bunyi keprak-nya, seperti keprak gaya Surakarta (berbunyi ‘jrek jrek jrek’), tetapi cara membunyikannya sangat mirip dengan bunyi keprak gaya Yogyakarta (Mataram).  Begitu pula gaya membunyikan gedhog-nya.
  • Gaya permainan dan wayangnya, sebenarnya sangat mirip dengan gaya Surakarta, tetapi gaya bahasa yang digunakan untuk ‘janturan’ (narasi), sangat mirip dengan janturan gaya Mataram Lama, yang pada pagelaran wayang kulit purwa gaya Mataram (Yogyakarta) sendiri, bahkan gaya ini sudah lama ditinggalkan dan tidak pernah dipakai lagi.
  • Gaya ‘anta-wacana’ (dialog) yang dipakai sangat khas, dan sangat mirip dengan gaya anta-wacana yang lazim dipakai pada pedhalangan gaya Mataram Lama, yang para dhalang wayang kulit purwa gaya Mataram sekalipun, sudah tidak pernah lagi memakai.
  • Beberapa penyebutan nama kerajaan, sangat berbeda. Seperti misalnya, Kerajaan Dwarawati, disebut sebagai Kerajaan Jenggala-Manik.
  • Seluruh tembang sulukan dhalang, yaitu pathetan, sendhon, dan ada-ada; semuanya menerapkan komposisi nada ‘slendro barang miring’ (minor). Tentang hal ini, saya saat itu menanyakan kepada seorang pradangga dan mendapat jawaban bahwa itu merupakan kekhasan ‘gagrak Pesisir’ (gaya Pesisir). Begitu pula alunan nada suara sindhenan-nya.
  • Pagelaran wayang kulit purwa semalam suntuk yang berlangsung itu, memakai ‘kecer wayang’ sepanjang malam. Hanya saja, karena ricikan kecer wayang-nya saat itu tidak tersedia, maka seorang pesindhen dengan kreatifitasnya memakai sebuah piring makan (berbahan keramik putih), sendok dan garpu; yang dibunyikan persis seperti bunyi kecer wayang. Untuk yang satu ini, saya bahkan sempat belajar mendadak kepada ibu pesindhen, dan mencoba memainkannya dengan agak susah payah selama beberapa saat.
  • Ricikan gong ageng yang digunakan, tidak seperti gamelan pada umumnya, karena memakai gong ageng yang nadanya seperti gong suwukan bernada 1 laras slendro, tetapi berukuran fisik lebih besar dan menghasilkan suara berat dengan ‘ombak-ombakan’ (alunan nada) yang cepat. Sehingga bunyinya menjadi ‘jiiiiiiiriiiriiiriiir’. Bunyinya, sangat mirip dengan suara gong ageng pada gamelan Bali.
Pada awalnya, saya tidak terlalu memperhatikan bunyi seluruh gamelannya. Tetapi saat saya mendengar gong ageng dibunyikan, baru terasa sangat aneh. Misalnya, gendhing jatuh pada gong bernada enam, tetapi yang terdengar dibunyikan adalah gong suwukan bernada 1 laras slendro. Untuk beberapa saat, saya merasa tidak saja aneh, tetapi juga merasa tidak nyaman saat mendengarkannya. Bayangkan saja, ada adegan budhalan wadya, memakai iringan Lancaran Manyar-Sewu, tetapi gong yang dibunyikan sebagai gong terakhir, adalah gong suwukan bernada 1 laras slendro, padahal nada akhir gendhing-nya jatuh pada nada tiga. Begitu juga saat adegan jejeran, gong ageng yang dibunyikan bernada 1 laras slendro. Juga pada setiap akhir pathetan, sendhon, atau ada-ada; dibunyikan gong ageng bernada aneh itu. Ada sekitar satu jam kira-kira, saya merasa tidak nyaman dengan bunyi nada aneh itu. Tetapi selewat itu, entah karena apa, pelan-pelan saya jadi merasa ‘normal’ setiap kali mendengar gong ageng itu dibunyikan. Selewat jam yang kedua, saya sudah bisa menikmati pagelaran wayang kulit purwa yang ajaib itu tanpa merasa ada keanehan sedikitpun.

Udara yang dingin di Desa Dhadhap-Ayam, saat berlangsungnya pagelaran wayang kulit purwa, membuat pesindhen menikmati hangatnya rokok kretek....

Pagelaran wayang kulit purwa dalam rangka ‘merti desa’ itu berlangsung secara meriah. Saya dan sahabat saya Mas Didi Sunardi, selama pagelaran wayang berlangsung, ditemani oleh Pak Lurah, yang orang Jawa, tetapi ternyata seorang tentara, anggauta RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat), yang sebutannya kemudian berganti menjadi ‘Pasukan Sandhi Yudha’, lalu sekarang berganti menjadi ‘Komando Pasukan Khusus’ (Kopasus). Pak Lurah ini, yang duduk semalam suntuk menemani saya dan sahabat saya itu, tidak berpakaian sipil, tetapi memakai pakaian loreng seragam tempur pasukan khusus, lengkap dengan menenteng senapan serbu AK-47. Secara bergurau, saya sempat bertanya mengapa beliau memakai pakaian seragam dan membawa senjata siap tembak. Sambil tertawa terbahak-bahak, beliau menjawab: “Daerah sini masih rawan Mas. Banyak rampog, ‘begal’, dan ‘kecu’. Saya harus siap sedia setiap saat, kalau terjadi apa-apa.” Satu hal lagi, Pak Lurah yang anggauta pasukan khusus itu, ternyata ‘drop-dropan’ dari Markas RPKAD, Batu-Jajar, Bandung. Jadi, kami bertiga lalu memakai bahasa ‘sandi’, yang hanya dimengerti oleh kita bertiga, yaitu bahasa Sunda….

Bagian terakhir pagelaran wayang kulit purwa gaya Pesisir yang dilaksanakan di Desa Dhadhap-Ayam, menampilkan adegan 'Tari Golek', memakai dua buah wayang golek putri...

Itu merupakan saat pertama kali perkenalan saya, yang benar-benar nyata dengan pagelaran wayang kulit purwa yang memakai gaya Pesisir. Sampai sekarang, saya juga merasa masih aneh. Yakni, mengapa pagelaran wayang kulit purwa gaya Pesisir, saya temukan justru di pedalaman dan di wilayah pegunungan, yang benar-benar jauh dari wilayah pesisir. Pagi harinya, setelah seluruh pagelaran wayang kulit purwa itu selesai. Hanya dalam waktu sekitar satu jam, seluruh kelengkapan pagelaran wayang itu sudah selesai dikemas. Dan, sekitar jam tujuh pagi. Para nayaga yang malam tadi nabuh gamelan semalam suntuk, pagi itu semuanya memanggul ricikan gamelan dan kotak wayang, yang ternyata semuanya dilengkapi dengan lubang-lubang besar pada setiap sisi-sisinya, yang digunakan untuk memasukkan batang bambu, yan akan dipakai untuk memanggul. Hanya dalam waktu beberapa menit, seluruh gamelan, kotak wayang, layar wayang, beserta seluruh kelengkapannya, sudah lenyap dari pandangan mata saya. Para nayaga itu, ternyata orang-orang gunung yang sangat tangguh dan kuat. Seluruh peralatan pagelaran itu, dipanggul memakai batang-batang bambu panjang dan dibawa menyusuri pematang sawah pegunungan ke desa lainnya. Sungguh sangat luar biasa dan menakjubkan…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar