Halaman

Selasa, 02 Juli 2013

PAGELARAN WAYANG KULIT PURWA PERTAMA, BERSAMA SEMBILAN BIDADARI KECIL

Bayang-bayang dalam pagelaran wayang kulit purwa, membuat kita merenungkan tentang hidup kita di alam janaloka...


Kala itu, sekitar tahun 1966. Saya masih anak-anak, baru berumur sekitar 14 tahun, dan masih duduk di kelas dua Sekolah Menengah Pertama Negeri I (SMPN-I). Lokasi sekolah saya, di Jl. Kartini, Kota Salatiga. Selama tinggal di Kota Salatigaitulah saya belajar menabuh gamelan. Pertama kali belajar menabuh gamelan, sayaikut bergabung dengan para pegawai PN Perhutani,[1] Brigade Planologi Kehutanan,[2]  tempat ayah saya bekerja sebagai Kepala Brigade Planologi. Kelompok para pegawai itu, membentuk grup kesenian Jawa di kantor, dan berlatih secara rutin setiap hari Jum’at siang, seusai sholat Jum’at, mulai dari pukul dua siang sampai sore hari. Latihan berakhir sekitar pukul lima sore. Acara itu, berlangsung terus secara rutin selama sekitar setahun. Pertama kali, saya belajar menabuh ricikan‘saron barung’, lalu berikutnya saya belajar menabuh ricikan ‘bonang barung’. Pada awalnya, setiap kali latihan karawitan itu, saya selalu ditemani ibu saya.[3]  Ibu saya waktu itu, juga belajar menabuh gamelan. Biasanya beliau menabuh ricikan bonang barung. Sedangkan saya menabuh ricikan saron barung. Pelatih karawitan kelompok para pegawai itu, adalah Pak Hardja Prewita, seorang nayaga wayang kulit purwa senior dari Desa Karang-Pete.

Seperti lazimnya siswa yang baru saja belajar menabuh ricikan gamelan, kepada saya dan para pegawai yang ikut latihan karawitan, untuk pertama kalinya diperkenalkan sejumlah ‘gendhing standard’. Misalnya, Lancaran Manyar-Sewu dan Lancaran Ricik-ricik, kemudian juga diperkenal dengan gendhing Ladrang Slamet; yang pada masa selanjutnya, saya agak bingung, saat di tempat lain gendhing Ladrang Slamet ini disebut Ladrang Wilujeng. Setelah latihan karawitan berlangsung sekitar sebulan, kepada kita semua diperkenalkan gendhing Ladrang Asmarandana dan Ladrang Pangkur. Semuanya memakai gamelan Laras Pelog Pathet Barang, karena di kantor ayah saya itu, gamelan yang ada hanya berlaras Pelog. Itulah pertama kalinya saya berkenalan dengan gamelan. Setelah itu, untuk lebih memperdalam pengetahuan tentang cara menabuh gamelan itu, saya lalu ikut dengan sebuah grup karawitan yang didirikan oleh Pak Hardja Prewita di Desa Karang-Pete. Grup karawitan itu, namanya ‘Laras Mudha Irama’. Anggautanya tentu saja anak-anak sebaya saya. Latihannya dilakukan di rumah Pak Hardja Prewita, di Desa Karang-Pete, dua kali seminggu, setiap hari Rabu malam dan Sabtu malam.

Letak Desa Karang-Pete agak jauh dari tempat tinggal orang tua saya.  Kira-kira, berjarak lima kilometer, melalui jalan raya satu-satunya di Kota Sala-Tiga, yaitu Jalan Solo (sekarang kalau tidak salah disebut Jalan Jenderal Sudirman); ke arah utara menyusuri jalan raya, lalu belok ke arah timur, dan kemudian belok ke arah utara menyusuri Jalan Ngenthak. Menyusuri jalan ini, terus ke utara akan sampai ke Desa Karang-Pete. Jalannya agak naik-turun. Di masa itu, jalan yang menuju ke arah Desa Karang-Pete, khususnya setelah melewatu turunan Jalan Ngenthak, masih merupakan jalan desa berbatuan yang belum diaspal, gelap gulita jika kita melewatinya pada malam hari. Sepanjang jalan desa itu, sama sekali tidak ada lampu jalan. Lalu, juga melewati sebuah kuburan. Jika malam hari, selain gelap, juga sepi sekali. Hanya sesekali ada orang yang lewat atau berpapasan dengan orang yang naik sepeda. Saya, biasanya berangkat dari rumah sehabis magrib, setelah makan malam. Berpakaian sarung batik khas Jawa, memakai baju hangat, dan kadang-kadang memakai ikat kepala. Udara Kota Sala-Tiga saat itu terasa dingin sekali. Dari rumah sampai ke tempat tinggal guru saya, jika saya berjalan cepat, biasanya memakan waktu kira-kira tiga-per-empat jam. Karena jalannya naik-turun, maka sesampainya di rumah guru saya, biasanya badan saya berkeringat dan cukup hangat.

Setiap hari Rabu dan Sabtu malam, dengan diterangi sebuah lampu ‘petromax’, kita melakukan latihan karawitan sampai sekitar pukul sepuluh malam. Sesekali, latihan karawitan berakhir sekitar pukul setengah sebelas malam. Waktu itu, pulang malam hari ke arah pusat kota Sala-Tiga merupakan sebuah perjalanan yang terasa jauh, agak melelahkan, dan agak menakutkan bagi saya. Pertama, karena gelap sekali. Kedua, karena harus melewati kuburan itu. Ketiga, karena harus melalui jalan menanjak saat melewati Jalan Ngenthak dan Jalan Solo. Keempat,jelas karena badan sudah capai. Lelah atau tidak, begitu juga takut atau tidak;jalan itu toh harus saya lalui juga. Dan, itu berlangsung selama kira-kira tiga tahun, paling tidak ya setiap hari Rabu dan Sabtu malam. Gamelan yang dipakai latihan, adalah seperangkat gamelan besi sederhana, yang semua sumber bunyinya berbentuk ‘wilah’  (bilah) panjang. Hanya ‘kempul’  saja yang berbentuk bulat. Bahkan gong ageng-nya juga berbentuk dua bilah. Gong semacam ini lazimnya disebut‘gong jun’, karena di bawah kedua bilahnya diletakkan sebuah ‘jun’ tempat air berukuran besar, berbahan tembikar yang dibuat dari tanah liat. Kadang-kala juga disebut ‘gong anggang-anggang’, bentuknya seperti serangga air yang lazim disebut ‘anggang-anggang’. Mungkin agak aneh, melihat hampir semua ricikannya berbentuk bilah. Bahkan ricikan bonang barung, bonang penerus, kethuk, dan kenong; semuanya berbentuk bilah ataukotak, dengan tonjolan ‘pencu’ ditengahnya. Selama hampir tiga tahun, saya dan sejumlah sahabat-sahabat saya, berlatih memakai gamelan besi sederhana itu. Di depan seperangkat ricikan gamelansederhana itu, oleh guru saya dipasang sebuah ‘geber’ (layar wayang) sederhana, berbentuk empat persergi panjang, berukuran kira-kira 1,5 x2,5 meter. Pada bagian bawah geber wayang itu, dipasang ikatan jerami yang ‘dibongkok’ menjadi satu kesatuan dan diikat di beberapa tempat. Pada ‘bongkokan’jerami inilah ditancapkan wayang-wayang yang dipakai latihan ‘sabetan’ atau ‘jejeran’.

Selama enam bulan, saya berlatih penuh semangat bersama sahabat-sahabat kecil saya, yang sebagian merupakan murid SMP dan SD yang tinggal di Desa Karang-Pete. Saya merupakan satu-satunya murid guru saya yang bukan berasal dari Desa Karang-Pete, melainkan dari Desa Nggendhongan, jauh di sebelah selatan Desa Karang-Pete. Jumlah seluruh anggauta, ada sekitar lima-belas orang. Bahan yang dilatihkan adalah gendhing-gendhing  yang dipakai untuk pagelaran wayang kulit purwa semalam suntuk. Misalnya, jenis ayak-ayak, srepegan, sampak, lancaran, ketawang, ladrang, dan satu dua gendhing alit. Semua bahan latihan itu, dipersiapkan untuk dimainkan pada Pathet Nem, Pathet Sanga, dan Pathet Manyura; termasuk Gendhing Talu Wayangan dan Klenengan Wayangan. Mulai bulan ketiga, kami semua sudah berlatih karawitan memakai wayang kulit. Jadi sejak bulan ketiga itu, sifat latihannya sudah agak berubah menjadi latihan pagelaran wayang kulit secara lengkap. Semua nayaga-nya anak-anak sebaya saya, begitu jugapesindhen-nya.

Pada akhir bulan keenam, guru saya pada suatu hari mengumpulkan kami semua. Beliau mengatakan, bahwa perangkat desa hendak mengadakan ‘ruwatan merti desa’. Dan grup kesenian Laras Mudha Irama diberi kesempatan untuk melakukan pagelaran wayang kulit purwa secara lengkap semalam suntuk. Saat itu, baru terasa ada permasalahan serius. Pertama, di grup kesenian kami itu, tidak ada yang bisa memainkan ‘ricikan alusan’  seperti rebab, gender barung, gender penerus, siter, dan gambang. Kedua, semua anggauta grup karawitan Laras Mudha Irama ini, adalah anak-anak yang masih kecil, yang selama ini berlatih memainkan ‘ricikan balungan’, dan sama sekali belum pernah melakukan pagelaran wayang kulit purwa semalam suntuk. Saat pembicaraan itu dilakukan, kami semua sebenarnya amat sangat gembira. Tapi juga bertanya-tanya, bagaimana mengatasi kekurangan penabuh ricikan alusan itu. Setelah semua bahan pagelaran wayang itu dijelaskan oleh guru saya, beliau lalu menjelaskan bahwa pada pagelaran wayang kulit purwa nanti, yang bertindak sebagai dhalang bukan beliau, melainkan seorang dhalang muda dari desa lain. Sementara guru saya, akan bertindak sebagai pemain kendhang. Semula kami semua mengira beliau yang akan jadi dhalang-nya. Jika itu yang terjadi, maka justru hal itulah yang membuat kami semua khawatir, karena dengan demikian maka pemain kendhang-nya pasti orang lain. Sedangkan kami semua, sudah terlanjur terbiasa mendengar aba-aba kendhang  yang dimainkan beliau; dan sama sekali masih asing dengan aba-aba kendhang yang dimainkan orang lain. Setelah mendengar penjelasan beliau, kita semua menjadi lega.

Pada akhir pembicaraan, beliau menjelaskan juga bahwa khusus untuk sejumlah ricikan alusan, beliau akan meminta bantuan beberapa sahabatnya yang memang nayaga profesional di Kota Sala-Tiga. Saya masih ingat benar, empat dari lima orang sahabat beliau itu, adalah Pak Hardja Tingtong, Pak Hardja Cukur, Pak Suparmin, dan Pak Musrin. Orang pertama, adalah Pak Hardja Tingtong. Dijuluki begitu, karena beliau selalu naik sepeda, yang pada saat datang di tempat latihan atau di tempat pagelaran, beliau selalu membunyikan bel sepedanya. Bunyinya ‘ting tong ting tong’. Maka semua sahabat dekatnya lalu menjulukinya dengan tambahan nama Hardja Tingtong. Orangnya bertubuh kurus, berkulit hitam legam, perokok berat, peramah, dan lucu. Saat bertemu, yang pertama saya ingat adalah beliau selalu tersenyum lebar. Pak Hardja Tingtong, pada pagelaran wayang nanti, diminta untuk memainkan ricikan gender barung. Orang kedua, adalah Pak Hardja Cukur. Disebut demikian, karena pekerjaan sehari-harinya adalah tukang cukur di terminal bis Kota Sala-Tiga, yang letaknya dulu sedikit di sebelah utara Pasar Kota Sala-Tiga; dekat pertigaan antara Jalan Taman Sari, Jalan Solo, dan Jalan Dipo-Negara, berseberangan dengan rumah dinas walikota Sala-Tiga. Pak Hardja Cukur, badannya tinggi besar serta mempunyai suara yang bagus dan bernada rendah. Biasanya beliau memainkan kendhang. Tetapi permainan kendhang-nya agak ‘ditakuti’ para nayaga lain, karena iramanya seringkali tak teratur dan agak sukar dikuti. Tetapi, karena kendhangsudah dimainkan oleh guru saya, maka beliau akan diserahi memainkan ricikan rebab. Orang ketiga, adalah Pak Suparmin. Beliau telah lanjut usianya, perawakan tubuhnya kurus, dan tuna-netra. Beliau ini, seorang pemain ricikan siter yang bagus. Karena tempat tinggal Pak Suparmin lebih dekat ke tempat tinggal saya, maka saya ditugasi oleh guru saya untuk menjemput dan mengantarkan pulang Pak Suparmin. Orang keempat, adalah Pak Musrin. Orangnya berkulit hitam legam, juga perokok berat, dan sangat rajin bekerja. Beliau, merupakan tetangga sebelah rumah guru saya, yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang kayu pembuat berbagai mainan anak-anak, bidak catur, dan juga pembuat ricikan siter. Di depan rumah beliau, terdapat mesin bubut kayu buatan sendiri, yang digerakkan menggunakan velg  roda sepeda. Roda besar ini, digerakkan memakai pedal seperti pedal mesin jahit.[4]Pada pagelaran wayang nanti, Pak Musrin, diserahi memainkan ricikan gender penerus. Orang kelima, saya benar-benar lupa namanya. Beliau diserahi memainkan ricikan gambang. Saya sendiri, dalam pagelaran wayang kulit purwa nanti, diserahi memainkanricikan  saron barung penacah atau saron racik, yang tugasnya memainkan melodi. Putera guru saya (saya lupa namanya) yang masih duduk di kelas enam SDdan sangat pintar memainkan ricikanbonang barung,bersama seorang sahabat saya yang bernama Darmono, tugasnya berpasangan memainkan ricikan bonang barung dan bonang penerus.  Demikianlah, semua ricikan gamelan sudah terisi lengkap penabuhnya. Adapun sembilan putri yang menjadi murid guru saya dan sedang belajar menjadi pesindhen, semuanya akan mendampingi pesindhen yang asli, mereka semua juga ikut ‘manggung’ untuk mempraktikkan hasil belajarnya. Seminggu menjelang hari pagelaran, kami semua giat berlatih menabuh seluruh gendhing-gendhing yang akan dipakai. Guru saya, selama seminggu itu juga sibuk mempersiapkan tulisan ‘not gendhing’ (notasi ataupartitur gendhing) yang akan dipakai.

Hari pagelaran yang dinanti-nanti pun tiba. Pukul tiga sore, semua anggauta grup karawitan Laras Mudha Irama sudah berkumpul dan semuanya lalu memakai pakaian adat tradisional Jawa gaya Surakarta, yaitu memakai kain batik yang polanya semuanya seragam ‘Parang Rusak’, dengan baju beskap berwarna putih, dan ‘blangkon’ (di pedesaan ‘blangkon’ sering disebut ‘mit’). Demikian pula sembilan putri yang akan berperan sebagai pesindhen, semuanya sudah berkumpul dan sudah memakai baju kebaya brokat putih lengan panjang, yang bagian depannya memakai ‘kuthu baru’,  dengan kain batik berpola Parang Rusak. Sebuah selendang, diselempangkan di pundak. Para putri ini, semuanya bersanggul dengan ‘cundhuk mentul’  yang berhiaskan sederetan manik-manik kecil, yang membuat cundhuk mentul itu terlihat gemerlap berkelap-kelip saat terkena cahaya. Kesembilan putri kecil itu, sekarang sudah berubah bagaikan sembilan bidadari kecil yang turun dari kahyangan. Berjingkat-jingkat mereka berjalan perlahan-lahan dan berhati-hati, memakai selop yang agak tinggi. Mungkin karena belum terbiasa dengan pakaian adat dan selop yang agak tinggi itu. Senyum kesembilan bidadari kecil itu terlihat sumringah.

Pagelaranakan dilaksanakan secara lengkap, dan dimulai dari sekitar jam setengah lima sore, terus menerus sampai subuh, pagi hari berikutnya. Meskipun materinya sederhana, tetapi jumlah dan materigendhing-nya lengkap. Ada gendhing-gendhing soran, yang dimainkan sore hari (antara pukul setengah lima sampai magrib) sebagai bagian dari ‘klenengan sore’. Bagian ini, seluruhnya dimainkan oleh seluruh anggauta grup karawitan Laras Mudha Irama. Karena merupakan gendhing soran, maka tidak memerlukan pemain ricikan alusan. Kebanyakan merupakan gendhing-gendhing jenis lancaran dan ladrang berirama cepat, yang dimainkan dalam pola ‘soran’ (ditabuh keras-keras), tanpa disertai suara vokal pesindhen. Seluruh permainan gendhing soran, ditetapkan memakai gamelan Laras Pelog. Tujuannya, jelas supaya berkesan meriah dan ramai. Menjelang magrib, permainan dihentikan sejenak, untuk memberikan kesempatan sholat magrib.

Selepas magrib, permainan dilanjutkan dengan pilihan gendhing-gendhing yang lebih  halus. Pada bagian ini, mulai dimainkan ‘klenengan wayangan’ yang kebanyakan memakai tangga-nada Slendro Pathet Manyura. Sembilan bidadari yang berperan menjadi‘ pesindhen ajaran’, mulai melakukan tugasnya, tetapi tidak disertai pesindhen asli. Berbagai gendhing alusan dimainkan sampai menjelang isya. Tepat menjelang sholat isya, permainan dihentikan. Lalu, semua penabuh anak-anak turun panggung untuk melakukan sholat isya dan setelah itu makan malam bersama dalam bentuk ‘slametan’. Saat makan bersama itulah, untuk pertama kali kami semua bertemu dan diperkenalnya oleh guru saya, dengan bapak-bapak para penabuh profesional, yaitu Pak Hardja Tingtong, Pak Hardja Cukur, Pak Suparmin, dan Pak Musrin. Selain itu, juga diperkenalkan dengan ibu pesindhen asli yang baru datang bersama pak dhalang  yang akan membawakan cerita malam itu. Senang sekali rasanya bisa bertemu dengan mereka semua. Dengan seksama, kami semua berusaha mendengarkan dan mengikuti pembicaraan antara dhalang dengan para penabuh danpesindhen. Beberapa bagian dari pembicaraan itu bersifat sangat teknis, meliputi gendhing pengiring apa saja yang akan dipakai selama pagelaran berlangsung, beserta sejumlah penjelasan tentang detail cara‘garap’-nya. Guru saya juga mewanti-wanti pak dhalang, supaya selalu ingat, bahwa kali ini yang mengiringinya, lebih dari separoh merupakan ‘nayaga ajaran’  (pemain gamelan yang sedang dalam tahap belajar). Karena itu, berkali-kali guru saya mengingatkan pak dhalang supaya tidak meminta dimainkannyagendhing lain, selain yang ditulis dalam lembar-lembar not gendhing. Pak dhalang dan para pemain profesional beserta ibu pesindhen asli, semuanya mengangguk-angguk, sambil sesekali tersenyum ‘ngayem-ayemi’  kepada para ‘nayaga ajaran’  yang semuanya masih anak-anak dan terlihat agak was-was. Mungkin, karena malam itu untuk pertama kalinya, kami semua akan mengiringi pagelaran wayang kulit purwa semalam suntuk. Pembicaraan panjang-lebar itu, dipimpin oleh guru saya, dikelilingi semua peserta, sambil menyantap makan malam yang terasa sangat sedap. Setelah seluruh pembicaraan selesai, maka barulah kami semua bisa menyantap makan malam dengan lahap.

Pukul setengah sembilan malam, kami semua naik ke panggung pagelaran disertai tepuk tangan meriah para penonton. Ada perasaan sangat senang, bercampur bercampur sedikit rasa was-was, saat kami naik ke panggung pagelaran. Meskipun sebelumnya kami semua sudah memainkan gamelan sejak sore hari sampai sebelum isya tadi, tetapi memang terasa sangat berbeda saat kami naik kembali ke panggung sebagai pengiring pagelaran wayang kulit purwa semalam suntuk. Apalagi, sekarang kami naik panggung bersama dengan para penabuh gamelan profesional. Para bidadari kecil yang cantik-cantik sahabat saya, semuanya duduk berjajar bersama dengan ibu pesindhen  asli. Pak Hardja Tingtong, sudah menempati tempat duduknya dan sedang menyetel rebab. Pak Hardja Cukur duduk di tempat ricikan gender barung. Pak Musrin duduk di depan ricikan gender penerus. Pak Suparmin, sibuk menyetel dawai-dawai siter-nya,menyesuaikan dengan nada gamelan yang dipakai. Adapun guru saya, duduk dan mengatur kembali letak kendhang kosek wayangan, kendhang sabet wayangan, kendhang ciblon, serta kendhang bem; di sekeliling tempat duduknya, sambil menyesuaikan letaknya, supaya sesuai dengan jangkauan tangannya. Beberapa saat kemudian, terasa sunyi. Kami semua merasa agak tegang. Waktu terasa berjalan lambat. Lalu rebab Pak Hardja Tingtong tiba-tiba memperdengarkan suara senggrengan  yang sangat khas. Sesaat kemudian, terdengar aba-aba buka rebab. Dan, kemudian, tak terasa kami sudah memainkan gendhing  Ladrang Mugi Rahayu laras Slendro Pathet Manyura. Gendhing Talu Wayangan-pun dimulai, berhiaskan suara merdu gerongan dan sindhenan para bidadari kecil yang menjadi ‘pesindhen ajaran’ ditimpali suara merdu ibu pesindhen asli. Ketegangan perlahan-lahan menjadi cair, saat seluruh rangkaian Gendhing Talu Wayang mulai dimainkan. Saat itu, saya merasakan perasaan yang luar biasa, tak terperikan, dan sangat sukar untuk diceritakan. Ada perasaan senang, bahagia, bangga, dan yang jelas saya amat sangat menikmati malam pagelaran yang semarak itu. Gendhing Ladrang Mugi Rahayu, lalu dipindahkan ke Ayak-ayak Talu. Perpindahan ke Ayak-ayak membuat hati saya berdebar. Ada kesan mistis yang sangat kuat terasa. Lalu, Srepegan Manyura, disambut dengan Sampak Manyura yang gemuruh bertalu-talu. Dan, beberapa saat kemudian, gemuruh Sampak-pun berhenti tiba-tiba dengan nada-nada monoton yang mencekam. Pak dhalang  sudah naik panggung dan duduk tepat di depan gunungan. Bersamaan dengan itu, lampu-lampu dipadamkan, dan hanya ditinggalkan sebuah lampu ‘blencong’ yang menerangi layarwayang. Tiba-tiba saja, saya mencium bau asap bakaran kemenyan. Dari sudut depan, saya melihat seseorang membakar kemenyan. Sementara pak dhalang  terlihat menundukkan kepala, sambil menutupi bagian atas kepalanya memakai sebuah gunungan.  Gapit gunungan-nya dipegang memakai tangan kanan, sedangkan ujung gunungan itu dipegangnya dengan jari tangan kirinya. Gunungan-nya sedikit ditekuk ujungnya, sehingga lembarnya melengkung dan menutupi bagian atas kepalanya. Ia terlihat khusuk membaca doa dan mantera pagelaran. Suasana yang remang-remang, berkesan sangat mistis. Apalagi dengan terciumnya bau kemenyan dan asapnya yang mengepul melayang kemana-mana. Beberapa saat, terjadi kesunyian yang mencekam. Lalu, sesaat kemudian, terdengar bunyi gedhog, memberikan aba-aba pertanda jejerpertama dimulai. Gendhing Ayak-ayak Manyura mulai menggema,l alu pagelaran wayang semalam suntukpun dimulailah.

Sayasama tak bisa melupakan peristiwa itu sepanjang hayat. Pagelaran wayang yang pertama, semuanya seperti baru terjadi hari kemarin saja. Dan, sejak itu pula, saya selalu merindukan pagelaran wayangan kulit purwa yang klasik dan sangat tradisional. Merindukan tidak saja nonton, tetapi juga ikut terlibat mengiringinya. Merindukan alunan Gendhing Talu Wayangan, merindukan untuk selalu mendengarkan saat-saat perpindahan ke Ayak-ayak Talu yang bisa membuat bulu kuduk meremang, merasakan magis, mistik,dan merinding. Terasa tak ada duanya. Semuanya bagai mimpi, yang saya sampai sekarang bahkan masih bisa mendengar secara jelas bagaimana bunyi gamelannya, bagaimana suara merdu sembilan bidadari kecil sahabat-sahabat saya membawakan tembang parwa  yang sangat memukau, memikat,dan tak bisa terlupakan…..

_________________________________


[1]  Sebutan PN Perhutani (Perusahaan Negara Perhutani) kemudian lalu diganti menjadi Perum Perhutani (Perusahaan Umum Perhutani). Untuk wilayah Jawa Tengah, sebutan resmi perusahaan ini adalah Perum Perhutani Unit I JawaTengah.

[2]  Sekarang, sebutan ‘Brigade Planologi’ sudah diganti menjadi ‘Biro Perencanaan’. Pimpinan Brigade Planologi disebut ‘Kepala Brigade Planologi’. Tetapi setelah sebutannya berubah menjadi ‘Biro Perencanaan’, pimpinannya lalu disebut ‘Kepala Biro Perencanaan’.

[3]  Ibu saya juga seorang penari Jawa gaya Yogyakarta.

[4] Dari Pak Musrin inilah saya belajar membuat sendiri berbagai jenis mesin bubut kayu. Semua yang diajarkan kepada saya, pernah saya buat sendiri saat saya masih duduk di kelas dua SMP. Misalnya, mesin bubut kayu jenis ‘pancingan’, yang memakai buluh bambu panjang sebagai per penarik dan pemutar benda kerjanya. Mesin bubut kedua, saya buat persis seperti yang dipakai Pak Musrin, yaitu memakai velg roda sepeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar