Jika
mendengar kata ‘pesisir’, maka asosiasi kita segera terbayang pantai yang luas
membiru, dengan pemandangan yang indah, lengkap dengan sejumlah perahu layar
dan perahu nelayan. Lalu, terbayang sejumlah wisatawan sedang bercengkerama di
pasir pantai yang bersih. Lalu, terbayang juga sejumlah anak-anak sedang
bermain pasir, lengkap dengan jeritan dan teriakan gembira, saat ujung lidah
ombak samodra menyapu bangunan pasir yang dibangunnya. Kadang juga terbayang
matahari saat terbit atau tenggelam. Itu bayangan ‘klise’ kebanyakan orang.
Memang tidak salah sih. Dan, sebut saja sisi ini adalah ‘sisi indah pesisir’. Tentang
cerita yang berhubungan dengan soal senang-senang, wisata, dan indah ini;
rasanya tak perlu diceritakan lagi. Sudah terlampau banyak cerita tentang itu. Tapi,
pesisir juga menyimpan sisi-sisi kelam dan sendu, yang bisa membuat kita seketika
terdiam trenyuh dan meneteskan air mata saat menemukan dan melihatnya. Dan,
sebut saja sisi ini adalah ‘sisi kelam pesisir’. Karenanya, jangan hanya
mengunjungi lokasi pariwisata semata. Sebab, jika hanya lokasi ini yang kita
kunjungi, maka kita hanya memperoleh gambaran tidak lengkap tentang pesisir.
Mobil
‘Colt’ tua buatan Jepang itu, dengan bak barang yang sudah reot, berjalan
perlahan terseok-seok di jalanan antar kampung yang kering kerontang. Di sisi
jalan itu, terlihat deretan pohon asam, yang daunnya rontok dimakan sinar
matahari yang begitu terik. Tapi, pohon asam itu tetap bertahan dengan batang
tuanya yang besar dan kuat. Colt tua bermuatan ikan dalam keranjang-keranjang
besar itu, sedang menuju pasar di kota, setelah memuati bak tuanya di tempat
pelelangan ikan tadi pagi. Sang pemilik ikan-ikan itu, duduk di kabin depan
sambil membayangkan keuntungan yang akan diperoleh, saat ia sampai di pasar
nanti. Sementara, di tempat pelelangan ikan, Wardi memandangi uang yang
didapatnya dari lelang ikan yang tadi berhasil dijualnya. Hasilnya hari ini,
tidak terlalu banyak. Ia masih harus menyisihkan untuk membayar sewa perahu
kepada juragan, membayar solar, membayar hutang, membayar kawan-kawan
seiringnya yang bersama-sama dirinya menangkap ikan, lalu masih harus
memikirkan uang untuk makan keluarganya, juga uang sekolah anak-anaknya.
Sisanya tidak banyak dan benar-benar habis dibagi seluruh kebutuhannya. Wardi
berjalan gontai bersama rekan kerjanya, ditimpa panas teriknya matahari.
Badannya terlihat lebih kurus dari tiga empat tahun yang lampau. Kulitnya hitam
legam. Keringatnya menetes di dahinya. Ada perasaan sedih, saat ia memikirkan
besar uang yang akan diberikannya kepada isterinya. Bertiga mereka berjalan pelan
sambil saling berdiam diri. Masing-masing dengan pikiran dan lamunannya sendiri.
Dari
kejauhan, isterinya melambaikan tangan kepadanya sambil menggendong anaknya
yang masih kecil. Sejenak Wardi memandang wajah isterinya yang penuh harap.
Wardi tak berani memandang mata isterinya. Ada perasaan malu kepada isterinya.
Cepat-cepat tangannya dijulurkan kepada isterinya sambil menggenggam uang dan
menyerahkannya kepada isterinya. Isterinya sedikit tertegun memandang uang di
telapak tangannya yang tak seberapa itu. Tapi, itu hanya berlangsung sekejab.
Tiba-tiba saja isterinya berkata: “Mas Wardi, ayo kita ke rumah. Kita makan ya
bersama anak-anak. Tadi saya sudah menanak nasi. Lauknya seperti biasa Mas,
ikan asin, tempe goreng, dan sambal. Pasti Mas Wardi lelah ya? Ayo sekarang
saja Mas,” begitu celoteh isterinya sambil menarik tangan Wardi. Sementara
teman-teman Wardi berpamitan kepadanya dan menuju rumah masing-masing. Wardi
memandang teman-teman kerjanya, sambil membayangkan apa yang akan mereka
katakan kepada isteri masing-masing. Selama ini, memang sahabat-sahabatnya itu
tak pernah berkata apa-apa tentang ‘uang pendapatan hari ini yang hanya secuil’
itu. Tak ada keluhan apa-apa. Mungkin mereka juga menyadari keadaan yang mereka
hadapi bersama.
Di
rumah gubuk bambunya yang reyot dan sebenarnya tak layak huni, Wardi makan
bersama isteri dan anak-anaknya. Mimpinya tentang hidup ‘sejahtera’ seperti
yang sering ia dengar saat para calon wakil rakyat dan calon pemimpin di
daerahnya berkampanye, seakan semakin jauh saja dari kenyataan. Wardi seperti
tenggelam begitu saja ke dalam kubangan lumpur kemiskinan tak bertepi. Sudah
bertahun-tahun ia bermimpi mempunyai perahu sendiri. Perahu bekas juga tidak apa-apa. Tapi harga
perahu bekas sekalipun, benar-benar tak terjangkau olehnya. Semakin lama, Wardi
merasa semakin yakin, bahwa orang-orang seperti dia, hanya punya hak bermimpi,
tapi sepertinya tak pernah punya kesempatan membuat mimpinya menjadi kenyataan.
Tapi, ia juga sering memikirkan, bagaimana ia dan sahabat-sabahatnya itu masih
bisa bertahan hidup dalam kondisi dan situasi yang menyedihkan seperti itu.
Mimpinya sebenarnya juga tak muluk-muluk. Sekedar bermimpi mempunyai perahu
sendiri untuk melaut. Tak lebih dari itu! Perahu itulah yang ia bayangkan bisa
mengubah hidupnya suatu saat nanti. Mimpi punya perahu! Ya, punya perahu
sendiri! Mimpi dan harapannya hanya itu…
Kemiskinan
seperti itu, sebenarnya tidak hanya terjadi di wilayah pesisir saja, Di
tempat-tempat lain juga ada kemiskinan seperti itu. Kalaupun ada perbedaan,
hanya terlihat dari situasi dan kondisi yang terjadi di sekitarnya. Sedangkan
soal kemiskinannya, sebenarnya sama sekali tidak berbeda. Di sisi-sisi pinggir
kota besar, selalu bisa kita temukan kemiskinan yang parah. Orang kota sering
menyebutnya sebagai ‘orang pinggiran’. Sebutan yang menyakitkan, karena
mempunyai konotasi mereka itu diabaikan dan bisa jadi juga sering dilecehkan.
Harga diri di wilayah-wilayah ini seperti tak ada. Semuanya lalu, seperti bisa
dihitung dan dihargai dengan sekedar beberapa lembar uang yang nilainya tak
sepadan. Kehidupan yang compang-camping, menimbulkan aroma yang tak sedap. Bagi
orang kota, semuanya ini merupakan aroma yang tak sedap. Tak sedap dipandang
mata, tak sedap diberitakan, tak sedap dibicarakan, dan juga tak sedap untuk
diperjuangkan; karena jelas tidak menghasilkan apa-apa bagi mereka yang duduk
sebagai wakil rakyat atau pemimpin. Memandang mereka dengan sebelah matapun
tidak.
Derita,
kesulitan hidup, ganasnya alam, kemiskinan, dan kehidupan yang penuh
penderitaan; di manapun di dunia ini, selalu menghasilkan kelompok masyarakat
yang lalu mengekspresikan semua itu dalam bentuk-bentuk budaya dan kesenian
setempat. Mungkin kita sudah melupakan, dulu sekitar tahun 1960-an, wilayah
Wono-Giri, Gunung Kidul, dan Pacitan; merupakan wilayah minus yang gersang,
tandus, tidak banyak tanaman pertanian yang bisa tumbuh di wilayah ini,
wilayahnya merupakan pegunungan kapur, sulit mendapatkan air, dan dulu
wilayah-wilayah ini lebih dikenal sebagai suatu wilayah yang penduduknya hidup
miskin, serta merupakan wilayah ‘HO’ (singkatan dari bahasa Belanda ‘honger oedeem’), istilah untuk penyakit
kurang makan, kurang gizi; yang berakibat kaki bengkak (disebut penyakit ‘kaki
gajah’). Gaplek dan gogik, merupakan makanan sehari-hari. Tanaman singkong dan sedikit
jagung, merupakan sedikit tanaman pertanian yang masih bisa tumbuh di wilayah
kering kerontang ini. Udara di wilayah ini benar-benar bersuhu tinggi (panas)
terik dengan debu kapur yang selalu beterbangan, setiap kali angin bertiup. Dan,
apa yang pada itu dan masa-masa penuh kesulitan itu dihasilkan dari wilayah
Wono-Giri, Pacitan, dan Gunung Kidul? Tak lain dan tak bukan, salah satunya
adalah suara-suara merdu pesindhen-nya.
Banyak sekali pesindhen yang bagus
berasal dari wilayah itu dan sekitarnya. Dari negeri-negeri seberang yang jauh,
kita juga bisa mendapati adanya fenomena yang sama. Misalnya, dari
wilayah-wilayah pedalaman pegunungan terjal di Asia Kecil, Eropa Tengah, dan
Eropa Timur;
yang selama berabad-abad masyarakatnya dulu hidup dalam kesulitan luar biasa. Contohnya lalu ada tembang-tembang sendu yang berasal dari wilayah pedalaman pegunungan Eropa Timur. Atau, dari wilayah
pada pasir di sekitar Arabia yang tandus dan gersang. Atau, dari wilayah
sekitar gurun Sahara, di Afrika Utara.
Dari semua
wilayah di dunia ini, selalu saja ada wilayah-wilayah tertentu yang
kehidupannya begitu sukar mendera masyarakat setempat selama bertahun-tahun, bahkan
ratusan tahun. Kehidupan yang sukar, akan selalu
membuat manusia bermimpi dan berharap. Karena, hanya dengan bermimpi dan
berharap itulah, manusia bisa bertahan hidup. Jadi, sekali lagi, mimpi dan
harapanlah yang membuat manusia bisa bertahan hidup. Kekuatan mimpi dan harapan
itulah, yang lalu membuat manusia lalu menyalurkan seluruh perasaan sedihnya
dalam berbagai bentuk seni (seni lukis, seni patung, seni suara, seni musik,
dan juga seni tari). Seni yang dihasilkan, merupakan ekspresi dari seluruh kehidupannya.
Ini yang dengan segera membedakannya dengan seni yang dihasilkan oleh masyarakat
yang hidupnya tidak pernah mengalami kesulitan.
Bagi mereka yang sehari-hari bergumul dengan kesulitan hidup, ekspresi
seni merupakan bagian dari hidupnya. Bagian dari cara untuk menyampaikan
mimpi-mimpi dan harapannya. Karena itulah, ekspresi seni yang diungkapkan lalu
cenderung bernada sedih, sendu, muram, syahdu, melankolis, dan juga romantis;
seiring dengan segala kesulitan hidup yang menderanya setiap saat.
Mimpi dan
harapan itulah yang akhirnya menjadi salah satu kekuatan luar biasa untuk tidak
saja bertahan hidup, tetapi juga menampilkan berbagai bentuk seni yang sangat
khas. Dalam beberapa hal, mimpi-mimpi dan harapan itu juga larut dalam berbagai
ritual adat yang berkembang sejalan dengan kepercayaan yang dianut dan hidup
dalam kelompok-kelompok masyarakat itu. Maka kita lalu bisa mengenal dan
melihat berbagai upacara adat bermunculan di wilayah-wilayah kelam itu.
Awalnya, tentu saja kepada nenek-moyang merekalah dilantunkan doa dan mantera
untuk memohon kesejahteraan dan keselamatan hidup. Lalu, setelah agama mulai
memasuki kehidupan mereka, berbagai kepercayaan itu larut dan menyatu dengan
berbagai agama yang kemudian dipeluk. Hal yang sama, berlangsung pula di
wilayah-wilayah kelam Nusantara, yang dulu kita kenal sebagai wilayah minus
yang gersang, kering kerontang, dan penuh dengan derita serta kegetiran hidup.
Lalu bagaimana
dengan wilayah sepanjang pantai? Cobalah kita cermati wilayah pantai, terutama
di sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Kehidupan penuh kemiskinan yang mendera
masyarakatnya, kehidupan di lautan yang seringkali ditimpa badai ganas dan
ombak besar, banjir bandang di musim hujan, atau sebaliknya musim kemarau yang
membuat semua pepohonan benar-benar rontok daunnya karena suhu udara yang
sangat tinggi; semua itu juga berakibat masyarakat menjadi bermimpi dan
berharap. Di wilayah-wilayah seperti ini, kehidupan berkesenian lalu berkembang
sebagai sarana untuk menghibur diri dari kesengsaraan hidup. Tetapi, seperti
apa yang diajarkan oleh berbagai agama dan kepercayaan, ‘kemelaratan seringkali cenderung membuat orang berubah menjadi kufur’. Dan, ‘kufur’ artinya adalah segala
peri-laku yang sifatnya mengeksploitasi naluri rendah manusia, bahkan mungkin juga
mendekati peri-laku biadab. Bagian dari kehidupan yang terlampau sengsara,
umumnya memang menghasilkan berbagai peri-laku yang negatif; meskipun semuanya
juga didasarkan atas mimpi dan harapan. Pada kondisi dan situasi yang seperti
ini, berbagai bentuk seni yang tumbuh dan berkembang, cenderung merupakan seni
dan budaya yang amat sangat mengeksploitasi naluri rendah manusia. Ini harus
dianggap wajar, karena tujuannya adalah menghibur diri dan menyenangkan diri;
melupakan sejenak segala penderitaan hidup. Maka kita tidak perlu tercengang,
saat melihat kenyataan bahwa kesenian yang disukai juga yang sangat mengeksploitasi
soal kesenangan duniawi itu. Misalnya, dangdut, dangdut koplo, dongbret, tayub, ronggeng, atau bentuk kesenian
sejenisnya. Berbagai pertunjukan yang mengeksploitasi mimpi dan harapan,
menjadi sangat laku di kalangan masyarakat yang hidup sengsara. Itu pula yang
membuat serial sinetron televisi yang sangat mengeksploitasi kehidupan mewah
kota besar yang penuh dengan berbagai mimpi dan kemudahan hidup, dan seringkali
bahkan sampai pada tingkat tidak masuk akal, menjadi salah satu tontonan yang
sangat disukai. Misalnya seperti di bawah ini...
http://www.youtube.com/watch?v=Ub-eQHAGJ6U
http://www.youtube.com/watch?v=Ub-eQHAGJ6U
Lalu, dimanakah letak karakter sendu, syahdu, romantis, dan melankolis? Jika kita mulai mencermatinya, maka semua karakter ini seperti sama sekali tidak ada di wilayah-wilayah yang masyarakatnya hidup terlampau sengsara. Benarkah demikian? Ternyata tidak! Bagian dari segala kontradiksi ini muncul seketika, saat mereka mulai mengekspresikan perasaannya, kesengsaraan hidupnya, keinginannya, dan juga kesedihannya. Karena itu, muncullah berbagai bentuk rupa kesenian yang sangat mengeksploitasi segala kesengsaraan, kesedihan, mimpi-mimpi, dan segala harapan mereka. Karena yang dieksplotasi adalah kesedihan, kesengsaraan, derita hidup yang berkepanjangan, dan ketidak-mampuan mereka; maka yang tumbuh adalah berbagai bentuk seni yang cenderung bernuansa sendu, sedih, romantis, dan melankolis. Karena itulah, kesenian mereka itu, jika ditampilkan memakai gamelan, lalu lebih cenderung memakai nada-nada yang sendu, yakni ‘laras slendro barang miring’, yang memang menggunakan nada-nada ‘minor’. Segala hal yang menyedihkan dan menyengsarakan itu, lalu seakan didramatisasi dalam berbagai bentuk seni, syair, tembang, sastra, cerita, ungkapan kalimat, atau puisi. Sesekali, coba lihat dan cermati ungkapan kalimat yang ditulis di bagian belakang bak truk antar kota jarak jauh. Kalimat seperti ‘doa ibu’, ‘aku pasti akan kembali’, ‘rindu kamu’, ‘mau pulang malu, tapi rindu’, atau ‘aku pasti pulang sayang’; merupakan kalimat-kalimat yang penuh dengan ungkapan melankolis; yang mewakili seluruh kehidupan dan derita yang dialami para penjelajah jalanan antar kota ini. Ungkapan kalimatnya, umumnya mengandung mimpi dan harapan.
Kecenderungan
lain, yang juga patut untuk dicermati, adalah tumbuhnya rasa berterima-kasih
kepada Sang Penguasa Jagat Raya, jika seseorang yang hidupnya sengsara dan
miskin, menerima suatu karunia atau berkah, meskipun jumlahnya mungkin kecil,
dan barangkali untuk ukuran orang kota bisa dikatakan ‘tidak ada apa-apanya’
(maksudnya, benar-benar kecil dan sama sekali tak berarti). Saat mereka
mendapatkan sedikit kesenangan, karena hasil jerih payahnya menghasilkan uang,
maka pada setiap hari dan bulan tertentu, mereka lalu melakukan suatu ritual
untuk menyampaikan rasa terima-kasihnya kepada Sang Penguasa Jagat Raya, atau
kepada sesuatu yang dipandang sebagai penguasa kehidupannya. Dalam hal
kepercayaan animisme, maka segala unek-unek dan perasaannya itu, lalu disampaikan
kepada arwah nenek-moyangnya. Saat ada hal-hal kecil semacam itu, maka muncul
pula sebuah kebahagiaan luar biasa, yang orang-orang kota besar tak pernah bisa
memahami atau merasakannya. Hal itu, disebabkan, hidup mereka yang benar-benar
sengsara dan penuh derita. Maka, saat ada sedikit kegembiraan dan kebahagiaan,
segera saja mereka berterima-kasih kepada Sang Penguasa Jagat Raya. Secuil
kebahagiaan, yang bisa membuat sekelompok orang menjadi sangat religius
seketika. Itulah yang terjadi pada sekelompok masyarakat penuh derita ini.
Jadi, ringkasnya
pesisir dan/atau kelompok-kelompok orang yang dipinggirkan, sebenarnya
mempunyai tiga karakter yang benar-benar sangat berlawanan. Mereka adalah
masyarakat yang dipinggirkan oleh berbagai kondisi dan keadaan. Kesulitan hidup
yang mendera setiap hari, badai dan topan yang bertiup tanpa ampun, banjir
bandang yang menghanyutkan segala harapan, lalu kekeringan yang menguapkan
segala mimpi-mimpi, dan gelombang besar yang menghancurkan segala sendi
kehidupan; telah menghasilkan tiga karakter yang benar-benar berbeda, yaitu:
- Karakter dan peri-laku yang cenderung mengeksploitasi keinginan untuk memenuhi perasaan ingin menikmati kesenangan sejenak, yang tujuannya untuk melupakan dan melarikan diri dari berbagai kesulitan hidup, penderitaan, kesengsaraan, kemelaratan, kemiskinan, dan berbagai penderitaan yang dialami.
- Karakter dan peri-laku yang cenderung mengeksploitasi keinginan untuk memenuhi perasaan ingin mengekspresikan diri dalam berbagai bentuk kesenian dan budaya, yang tujuannya menampilkan ekspresi diri.
- Karakter dan peri-laku yang cenderung mengeksploitasi keinginan untuk memenuhi rasa berterima-kasih kepada Sang Penguasa Jagat Raya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar