Halaman

Senin, 08 Juli 2013

PESISIR

Jika mendengar kata ‘pesisir’, maka asosiasi kita segera terbayang pantai yang luas membiru, dengan pemandangan yang indah, lengkap dengan sejumlah perahu layar dan perahu nelayan. Lalu, terbayang sejumlah wisatawan sedang bercengkerama di pasir pantai yang bersih. Lalu, terbayang juga sejumlah anak-anak sedang bermain pasir, lengkap dengan jeritan dan teriakan gembira, saat ujung lidah ombak samodra menyapu bangunan pasir yang dibangunnya. Kadang juga terbayang matahari saat terbit atau tenggelam. Itu bayangan ‘klise’ kebanyakan orang. Memang tidak salah sih. Dan, sebut saja sisi ini adalah ‘sisi indah pesisir’. Tentang cerita yang berhubungan dengan soal senang-senang, wisata, dan indah ini; rasanya tak perlu diceritakan lagi. Sudah terlampau banyak cerita tentang itu. Tapi, pesisir juga menyimpan sisi-sisi kelam dan sendu, yang bisa membuat kita seketika terdiam trenyuh dan meneteskan air mata saat menemukan dan melihatnya. Dan, sebut saja sisi ini adalah ‘sisi kelam pesisir’. Karenanya, jangan hanya mengunjungi lokasi pariwisata semata. Sebab, jika hanya lokasi ini yang kita kunjungi, maka kita hanya memperoleh gambaran tidak lengkap tentang pesisir.

Mobil ‘Colt’ tua buatan Jepang itu, dengan bak barang yang sudah reot, berjalan perlahan terseok-seok di jalanan antar kampung yang kering kerontang. Di sisi jalan itu, terlihat deretan pohon asam, yang daunnya rontok dimakan sinar matahari yang begitu terik. Tapi, pohon asam itu tetap bertahan dengan batang tuanya yang besar dan kuat. Colt tua bermuatan ikan dalam keranjang-keranjang besar itu, sedang menuju pasar di kota, setelah memuati bak tuanya di tempat pelelangan ikan tadi pagi. Sang pemilik ikan-ikan itu, duduk di kabin depan sambil membayangkan keuntungan yang akan diperoleh, saat ia sampai di pasar nanti. Sementara, di tempat pelelangan ikan, Wardi memandangi uang yang didapatnya dari lelang ikan yang tadi berhasil dijualnya. Hasilnya hari ini, tidak terlalu banyak. Ia masih harus menyisihkan untuk membayar sewa perahu kepada juragan, membayar solar, membayar hutang, membayar kawan-kawan seiringnya yang bersama-sama dirinya menangkap ikan, lalu masih harus memikirkan uang untuk makan keluarganya, juga uang sekolah anak-anaknya. Sisanya tidak banyak dan benar-benar habis dibagi seluruh kebutuhannya. Wardi berjalan gontai bersama rekan kerjanya, ditimpa panas teriknya matahari. Badannya terlihat lebih kurus dari tiga empat tahun yang lampau. Kulitnya hitam legam. Keringatnya menetes di dahinya. Ada perasaan sedih, saat ia memikirkan besar uang yang akan diberikannya kepada isterinya. Bertiga mereka berjalan pelan sambil saling berdiam diri. Masing-masing dengan pikiran dan lamunannya sendiri.
Dari kejauhan, isterinya melambaikan tangan kepadanya sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Sejenak Wardi memandang wajah isterinya yang penuh harap. Wardi tak berani memandang mata isterinya. Ada perasaan malu kepada isterinya. Cepat-cepat tangannya dijulurkan kepada isterinya sambil menggenggam uang dan menyerahkannya kepada isterinya. Isterinya sedikit tertegun memandang uang di telapak tangannya yang tak seberapa itu. Tapi, itu hanya berlangsung sekejab. Tiba-tiba saja isterinya berkata: “Mas Wardi, ayo kita ke rumah. Kita makan ya bersama anak-anak. Tadi saya sudah menanak nasi. Lauknya seperti biasa Mas, ikan asin, tempe goreng, dan sambal. Pasti Mas Wardi lelah ya? Ayo sekarang saja Mas,” begitu celoteh isterinya sambil menarik tangan Wardi. Sementara teman-teman Wardi berpamitan kepadanya dan menuju rumah masing-masing. Wardi memandang teman-teman kerjanya, sambil membayangkan apa yang akan mereka katakan kepada isteri masing-masing. Selama ini, memang sahabat-sahabatnya itu tak pernah berkata apa-apa tentang ‘uang pendapatan hari ini yang hanya secuil’ itu. Tak ada keluhan apa-apa. Mungkin mereka juga menyadari keadaan yang mereka hadapi bersama.

Di rumah gubuk bambunya yang reyot dan sebenarnya tak layak huni, Wardi makan bersama isteri dan anak-anaknya. Mimpinya tentang hidup ‘sejahtera’ seperti yang sering ia dengar saat para calon wakil rakyat dan calon pemimpin di daerahnya berkampanye, seakan semakin jauh saja dari kenyataan. Wardi seperti tenggelam begitu saja ke dalam kubangan lumpur kemiskinan tak bertepi. Sudah bertahun-tahun ia bermimpi mempunyai perahu sendiri.  Perahu bekas juga tidak apa-apa. Tapi harga perahu bekas sekalipun, benar-benar tak terjangkau olehnya. Semakin lama, Wardi merasa semakin yakin, bahwa orang-orang seperti dia, hanya punya hak bermimpi, tapi sepertinya tak pernah punya kesempatan membuat mimpinya menjadi kenyataan. Tapi, ia juga sering memikirkan, bagaimana ia dan sahabat-sabahatnya itu masih bisa bertahan hidup dalam kondisi dan situasi yang menyedihkan seperti itu. Mimpinya sebenarnya juga tak muluk-muluk. Sekedar bermimpi mempunyai perahu sendiri untuk melaut. Tak lebih dari itu! Perahu itulah yang ia bayangkan bisa mengubah hidupnya suatu saat nanti. Mimpi punya perahu! Ya, punya perahu sendiri! Mimpi dan harapannya hanya itu…

Kemiskinan seperti itu, sebenarnya tidak hanya terjadi di wilayah pesisir saja, Di tempat-tempat lain juga ada kemiskinan seperti itu. Kalaupun ada perbedaan, hanya terlihat dari situasi dan kondisi yang terjadi di sekitarnya. Sedangkan soal kemiskinannya, sebenarnya sama sekali tidak berbeda. Di sisi-sisi pinggir kota besar, selalu bisa kita temukan kemiskinan yang parah. Orang kota sering menyebutnya sebagai ‘orang pinggiran’. Sebutan yang menyakitkan, karena mempunyai konotasi mereka itu diabaikan dan bisa jadi juga sering dilecehkan. Harga diri di wilayah-wilayah ini seperti tak ada. Semuanya lalu, seperti bisa dihitung dan dihargai dengan sekedar beberapa lembar uang yang nilainya tak sepadan. Kehidupan yang compang-camping, menimbulkan aroma yang tak sedap. Bagi orang kota, semuanya ini merupakan aroma yang tak sedap. Tak sedap dipandang mata, tak sedap diberitakan, tak sedap dibicarakan, dan juga tak sedap untuk diperjuangkan; karena jelas tidak menghasilkan apa-apa bagi mereka yang duduk sebagai wakil rakyat atau pemimpin. Memandang mereka dengan sebelah matapun tidak.  

Derita, kesulitan hidup, ganasnya alam, kemiskinan, dan kehidupan yang penuh penderitaan; di manapun di dunia ini, selalu menghasilkan kelompok masyarakat yang lalu mengekspresikan semua itu dalam bentuk-bentuk budaya dan kesenian setempat. Mungkin kita sudah melupakan, dulu sekitar tahun 1960-an, wilayah Wono-Giri, Gunung Kidul, dan Pacitan; merupakan wilayah minus yang gersang, tandus, tidak banyak tanaman pertanian yang bisa tumbuh di wilayah ini, wilayahnya merupakan pegunungan kapur, sulit mendapatkan air, dan dulu wilayah-wilayah ini lebih dikenal sebagai suatu wilayah yang penduduknya hidup miskin, serta merupakan wilayah ‘HO’ (singkatan dari bahasa Belanda ‘honger oedeem’), istilah untuk penyakit kurang makan, kurang gizi; yang berakibat kaki bengkak (disebut penyakit ‘kaki gajah’).  Gaplek dan gogik, merupakan makanan sehari-hari. Tanaman singkong dan sedikit jagung, merupakan sedikit tanaman pertanian yang masih bisa tumbuh di wilayah kering kerontang ini. Udara di wilayah ini benar-benar bersuhu tinggi (panas) terik dengan debu kapur yang selalu beterbangan, setiap kali angin bertiup. Dan, apa yang pada itu dan masa-masa penuh kesulitan itu dihasilkan dari wilayah Wono-Giri, Pacitan, dan Gunung Kidul? Tak lain dan tak bukan, salah satunya adalah suara-suara merdu pesindhen-nya. Banyak sekali pesindhen yang bagus berasal dari wilayah itu dan sekitarnya. Dari negeri-negeri seberang yang jauh, kita juga bisa mendapati adanya fenomena yang sama. Misalnya, dari wilayah-wilayah pedalaman pegunungan terjal di Asia Kecil, Eropa Tengah, dan Eropa Timur; yang selama berabad-abad masyarakatnya dulu hidup dalam kesulitan luar biasa. Contohnya lalu ada tembang-tembang sendu yang berasal dari wilayah pedalaman pegunungan Eropa Timur. Atau, dari wilayah pada pasir di sekitar Arabia yang tandus dan gersang. Atau, dari wilayah sekitar gurun Sahara, di Afrika Utara.
Dari semua wilayah di dunia ini, selalu saja ada wilayah-wilayah tertentu yang kehidupannya begitu sukar mendera masyarakat setempat selama bertahun-tahun, bahkan ratusan tahun. Kehidupan yang sukar, akan selalu membuat manusia bermimpi dan berharap. Karena, hanya dengan bermimpi dan berharap itulah, manusia bisa bertahan hidup. Jadi, sekali lagi, mimpi dan harapanlah yang membuat manusia bisa bertahan hidup. Kekuatan mimpi dan harapan itulah, yang lalu membuat manusia lalu menyalurkan seluruh perasaan sedihnya dalam berbagai bentuk seni (seni lukis, seni patung, seni suara, seni musik, dan juga seni tari). Seni yang dihasilkan, merupakan ekspresi dari seluruh kehidupannya. Ini yang dengan segera membedakannya dengan seni yang dihasilkan oleh masyarakat yang hidupnya tidak pernah mengalami kesulitan.  Bagi mereka yang sehari-hari bergumul dengan kesulitan hidup, ekspresi seni merupakan bagian dari hidupnya. Bagian dari cara untuk menyampaikan mimpi-mimpi dan harapannya. Karena itulah, ekspresi seni yang diungkapkan lalu cenderung bernada sedih, sendu, muram, syahdu, melankolis, dan juga romantis; seiring dengan segala kesulitan hidup yang menderanya setiap saat.

Mimpi dan harapan itulah yang akhirnya menjadi salah satu kekuatan luar biasa untuk tidak saja bertahan hidup, tetapi juga menampilkan berbagai bentuk seni yang sangat khas. Dalam beberapa hal, mimpi-mimpi dan harapan itu juga larut dalam berbagai ritual adat yang berkembang sejalan dengan kepercayaan yang dianut dan hidup dalam kelompok-kelompok masyarakat itu. Maka kita lalu bisa mengenal dan melihat berbagai upacara adat bermunculan di wilayah-wilayah kelam itu. Awalnya, tentu saja kepada nenek-moyang merekalah dilantunkan doa dan mantera untuk memohon kesejahteraan dan keselamatan hidup. Lalu, setelah agama mulai memasuki kehidupan mereka, berbagai kepercayaan itu larut dan menyatu dengan berbagai agama yang kemudian dipeluk. Hal yang sama, berlangsung pula di wilayah-wilayah kelam Nusantara, yang dulu kita kenal sebagai wilayah minus yang gersang, kering kerontang, dan penuh dengan derita serta kegetiran hidup.

Lalu bagaimana dengan wilayah sepanjang pantai? Cobalah kita cermati wilayah pantai, terutama di sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Kehidupan penuh kemiskinan yang mendera masyarakatnya, kehidupan di lautan yang seringkali ditimpa badai ganas dan ombak besar, banjir bandang di musim hujan, atau sebaliknya musim kemarau yang membuat semua pepohonan benar-benar rontok daunnya karena suhu udara yang sangat tinggi; semua itu juga berakibat masyarakat menjadi bermimpi dan berharap. Di wilayah-wilayah seperti ini, kehidupan berkesenian lalu berkembang sebagai sarana untuk menghibur diri dari kesengsaraan hidup. Tetapi, seperti apa yang diajarkan oleh berbagai agama dan kepercayaan, ‘kemelaratan seringkali cenderung membuat orang berubah menjadi kufur’. Dan, ‘kufur’ artinya adalah segala peri-laku yang sifatnya mengeksploitasi naluri rendah manusia, bahkan mungkin juga mendekati peri-laku biadab. Bagian dari kehidupan yang terlampau sengsara, umumnya memang menghasilkan berbagai peri-laku yang negatif; meskipun semuanya juga didasarkan atas mimpi dan harapan. Pada kondisi dan situasi yang seperti ini, berbagai bentuk seni yang tumbuh dan berkembang, cenderung merupakan seni dan budaya yang amat sangat mengeksploitasi naluri rendah manusia. Ini harus dianggap wajar, karena tujuannya adalah menghibur diri dan menyenangkan diri; melupakan sejenak segala penderitaan hidup. Maka kita tidak perlu tercengang, saat melihat kenyataan bahwa kesenian yang disukai juga yang sangat mengeksploitasi soal kesenangan duniawi itu. Misalnya, dangdut, dangdut koplo, dongbret, tayub, ronggeng, atau bentuk kesenian sejenisnya. Berbagai pertunjukan yang mengeksploitasi mimpi dan harapan, menjadi sangat laku di kalangan masyarakat yang hidup sengsara. Itu pula yang membuat serial sinetron televisi yang sangat mengeksploitasi kehidupan mewah kota besar yang penuh dengan berbagai mimpi dan kemudahan hidup, dan seringkali bahkan sampai pada tingkat tidak masuk akal, menjadi salah satu tontonan yang sangat disukai. Misalnya seperti di bawah ini...


http://www.youtube.com/watch?v=Ub-eQHAGJ6U

Lalu, dimanakah letak karakter sendu, syahdu, romantis, dan melankolis? Jika kita mulai mencermatinya, maka semua karakter ini seperti sama sekali tidak ada di wilayah-wilayah yang masyarakatnya hidup terlampau sengsara. Benarkah demikian? Ternyata tidak! Bagian dari segala kontradiksi ini muncul seketika, saat mereka mulai mengekspresikan perasaannya, kesengsaraan hidupnya, keinginannya, dan juga kesedihannya. Karena itu, muncullah berbagai bentuk rupa kesenian yang sangat mengeksploitasi segala kesengsaraan, kesedihan, mimpi-mimpi, dan segala harapan mereka. Karena yang dieksplotasi adalah kesedihan, kesengsaraan, derita hidup yang berkepanjangan, dan ketidak-mampuan mereka; maka yang tumbuh adalah berbagai bentuk seni yang cenderung bernuansa sendu, sedih, romantis, dan melankolis. Karena itulah, kesenian mereka itu, jika ditampilkan memakai gamelan, lalu lebih cenderung memakai nada-nada yang sendu, yakni ‘laras slendro barang miring’, yang memang menggunakan nada-nada ‘minor’. Segala hal yang menyedihkan dan menyengsarakan itu, lalu seakan didramatisasi dalam berbagai bentuk seni, syair, tembang, sastra, cerita, ungkapan kalimat, atau puisi. Sesekali, coba lihat dan cermati ungkapan kalimat yang ditulis di bagian belakang bak truk antar kota jarak jauh. Kalimat seperti ‘doa ibu’, ‘aku pasti akan kembali’, ‘rindu kamu’, ‘mau pulang malu, tapi rindu’, atau ‘aku pasti pulang sayang’; merupakan kalimat-kalimat yang penuh dengan ungkapan melankolis; yang mewakili seluruh kehidupan dan derita yang dialami para penjelajah jalanan antar kota ini. Ungkapan kalimatnya, umumnya mengandung mimpi dan harapan.

Kecenderungan lain, yang juga patut untuk dicermati, adalah tumbuhnya rasa berterima-kasih kepada Sang Penguasa Jagat Raya, jika seseorang yang hidupnya sengsara dan miskin, menerima suatu karunia atau berkah, meskipun jumlahnya mungkin kecil, dan barangkali untuk ukuran orang kota bisa dikatakan ‘tidak ada apa-apanya’ (maksudnya, benar-benar kecil dan sama sekali tak berarti). Saat mereka mendapatkan sedikit kesenangan, karena hasil jerih payahnya menghasilkan uang, maka pada setiap hari dan bulan tertentu, mereka lalu melakukan suatu ritual untuk menyampaikan rasa terima-kasihnya kepada Sang Penguasa Jagat Raya, atau kepada sesuatu yang dipandang sebagai penguasa kehidupannya. Dalam hal kepercayaan animisme, maka segala unek-unek dan perasaannya itu, lalu disampaikan kepada arwah nenek-moyangnya. Saat ada hal-hal kecil semacam itu, maka muncul pula sebuah kebahagiaan luar biasa, yang orang-orang kota besar tak pernah bisa memahami atau merasakannya. Hal itu, disebabkan, hidup mereka yang benar-benar sengsara dan penuh derita. Maka, saat ada sedikit kegembiraan dan kebahagiaan, segera saja mereka berterima-kasih kepada Sang Penguasa Jagat Raya. Secuil kebahagiaan, yang bisa membuat sekelompok orang menjadi sangat religius seketika. Itulah yang terjadi pada sekelompok masyarakat penuh derita ini.
Jadi, ringkasnya pesisir dan/atau kelompok-kelompok orang yang dipinggirkan, sebenarnya mempunyai tiga karakter yang benar-benar sangat berlawanan. Mereka adalah masyarakat yang dipinggirkan oleh berbagai kondisi dan keadaan. Kesulitan hidup yang mendera setiap hari, badai dan topan yang bertiup tanpa ampun, banjir bandang yang menghanyutkan segala harapan, lalu kekeringan yang menguapkan segala mimpi-mimpi, dan gelombang besar yang menghancurkan segala sendi kehidupan; telah menghasilkan tiga karakter yang benar-benar berbeda, yaitu:
  1. Karakter dan peri-laku yang cenderung mengeksploitasi keinginan untuk memenuhi perasaan ingin menikmati kesenangan sejenak, yang tujuannya untuk melupakan dan melarikan diri dari berbagai kesulitan hidup, penderitaan, kesengsaraan, kemelaratan, kemiskinan, dan berbagai penderitaan yang dialami.
  2. Karakter dan peri-laku yang cenderung mengeksploitasi keinginan untuk memenuhi perasaan ingin mengekspresikan diri dalam berbagai bentuk kesenian dan budaya, yang tujuannya menampilkan ekspresi diri.
  3. Karakter dan peri-laku yang cenderung mengeksploitasi keinginan untuk memenuhi rasa berterima-kasih kepada Sang Penguasa Jagat Raya.
Tembang Suluk Pesisir, sebagai suatu kelompok kecil yang berusaha untuk mempertahankan, mempelajari kembali, mengajarkan, dan mengembangkan budaya Pesisir; khususnya dalam bidang ‘tembang suluk’, bisalah dimasukkan ke dalam kategori yang kedua. Mudah-mudahan segala upaya ini menghasilkan pemahaman dan membuat budaya Nusantara menjadi lebih semarak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar