Halaman

Selasa, 30 September 2014

GAMELAN PERUNGGU WULUNG, KYAI SEKAR GANESA LOKANANTA

Perangkat kempul, gong suwukan, dan gong ageng yang merupakan kelengkapan gamelan wulung 'Kyai Sekar Ganesa Lokananta'


Pagi-pagi buta, menjelang sekitar pukul empat, beberapa hari yang lampau, tiba-tiba saja saya bertemu dengan seorang sahabat kinasih saya, Mas Asep Nata melalui media ‘chatting’  di facebook.  Sebuah pertemuan di facebook yang tak terduga-duga, tiba-tiba saja menyeruakkan kembali segala ingatan dan kenangan masa lampau, saat saya masih berstatus mahasiswa dan sedang menyelesaikan skripsi tentang pembuatan gamelan. Seakan-akan seperti memutar ulang waktu, seperti kembali melakukan perjalanan kembali menapaki desa-desa pedalaman di sekitar Jatiteken dan Kadhokan (kedua desa ini berada di sebelah timur Kota Surakarta). Masih terbayang, bagaimana embun pagi dengan kabut tipis menggantung di wilayah persawahan dan kebun tebu yang luas di wilayah sebelah timur Bengawan Solo. Sementara saya melakukan perjalanan kembali setiap pagi, ke desa-desa itu, untuk menemui para 'panji' pembuat gamelan yang menjadi guru saya. Saat Mas Asep Nata bercerita tentang perjalanan hidupnya, yang ternyata sangat mirip saya, yaitu belajar membuat gamelan, seakan-akan semuanya membayang kembali seperti baru terjadi hari kemarin saja.....

Lalu, mendadak topik pembicaraan menyinggung soal 'gamelan wulung' atau 'gamelan cemengan'. Ingatan saya, tiba-tiba saja bagaikan tersambar halilintar, saat Mas Asep Nata menanyakan kepada saya nama julukan gamelan wulung milik PSTK-ITB. Apa ya nama julukannya? Saat itu, selintas yang saya ingat gamelan hitam itu dijuluki 'Kyai Ganesa Lokananta'. Tetapi beberapa hari kemudian, setelah saya periksa di ruang latihan PSTK-ITB, ternyata julukan lengkapnya adalah 'Kyai Sekar Ganesa Lokananta'. Salah satu bagian dari gamelan itu, yang selalu saya ingat, adalah bentuk ular naga yang merupakan ukiran hiasan yang terletak di atas gayor gong. Bentuk rupa hiasan ular naga pada gamelan ini, saya kira tidak ada duanya di dunia, karena bentuknya berupa sepasang ular naga lengkap dengan kulitnya yang bersisik dan tubuh yang meliuk-liuk, tetapi berkepala gajah (ganesa). Kedua hiasan ular naga ini, posisinya saling membelakangi. Aneh sekali....!

Seluruh ingatan saya perlahan-lahan seperti hidup kembali. Seluruh bayang-bayang masa lampau itu tiba-tiba seperti hidup kembali. Membangun wujudnya, seakan-akan semuanya baru terjadi hari kemarin.  Semuanya bermula dari sekitar tahun 1980-an. Di suatu siang, sekitar pukul dua (selepas makan), saat saya sedang bekerja di pabrik, mendadak kedatangan serombongan tamu, sejumlah anggauta pengurus PSTK-ITB, yang saat itu dipimpin oleh seorang mahasiswi, yaitu Mbak Tya. Tentang Mbak Tya ini, saya selama ini mengira bahwa ia adalah ketua PSTK-ITB. Tetapi setelah saya periksa di dokumentasi PSTK-ITB beberapa hari yang lampau, ternyata pada masa itu tidak ada ketua PSTK-ITB yang seorang wanita (mahasiswi). Jadi kemungkinan Mbak Tya adalah koordinator umum, atau semacam itulah jabatannya di PSTK-ITB. Saya hanya mengingat namanya 'Tya'. Bahkan, saya tak pernah tahu nama lengkapnya! Puluhan tahun saya hanya mengingat nama 'Tya' itu. Saya juga tidak pernah mengingat, siapa yang menemani dan bersama dengan Mbak Tya, saat datang menemui saya di kantor.


Pada pertemuan dengan saya, Mbak Tya dan sejumlah rekannya (semua memperkenalkan diri sebagai anggauta PSTK-ITB) menyatakan bahwa mereka bermaksud mendiskusikan konsep sebuah ‘gamelan baru’ untuk PSTK-ITB, yang menurut mereka sedang direncanakan untuk dipesan pembuatannya. Saat itu, saya bertanya: “Apakah sudah ada konsepnya?” Jawab mereka: “Belum ada. Karena itulah kami berkunjung ke Pak Bram.” Demikianlah awal pembicaraan siang itu. Sayang sekali saya lupa hari dan tanggal tepatnya. Satu-satunya yang saya ingat, pertemuan itu dilaksanakan diruang kerja saya, di lantai 3 gedung baru PT Radio Frequency Communication (PTRFC), tempat saya bekerja. Hari sudah sore, saat pertemuan itu diakhiri. MbakTya sebelum pulang mengajukan permintaan kepada saya untuk memikirkan dan menyusunkan sebuah konsep gamelan baru untuk PSTK-ITB. Saya tertegun sejenak mendengar permintaan itu, tetapi akhirnya saya sepakat untuk membuatkan konsep tentang gamelan baru itu. Saat itu saya meminta waktu kira-kira seminggu untuk menuliskannya secara lengkap, dengan perjanjian nanti di minggu depan akan dilakukan pertemuan kembali untuk mendiskusikan konsep yang saya susun.

Setelah selama seminggu dipikirkan, akhirnya jadilah konsep gamelan baru untuk PSTK-ITB itu. Gagasannya, dimulai dari situasi dan kondisi nyata PSTK-ITB saat itu, yaitu anggauta baru biasanya banyak, tetapi pelatih karawitan terlalu sedikit. Sebagai gambaran latar belakang, untuk melatih karawitan para mahasiswa-mahasiswi ITB, dulu PSTK-ITB sampai perlu mendatangkan pelatih dari luar. Misalnya, untuk pelatih karawitan para mahasiswa-mahasiswi PSTK-ITB dilatih oleh Bapak Ragil Suripto; untuk kegiatan ‘wayangan’, dilatih oleh Bapak Rono Suripto; sedangkan untuk ‘beksa’ (tari) dilatih oleh Mas Nuryantoro. Hal itu, sudah berlangsung agak lama. Setahu saya, sudah berlangsung sejak sekitar tahun 1970-an, sampai menjelang tahun 1980-an. Sedangkan gamelan yang saat itu dipakai PSTK-ITB, adalah gamelan yang oleh para anggauta PSTK-ITB lebih dikenal dengan sebutan ‘gamelan merah’ (karena ‘rancak’-nya berwarna merah). Gamelan ini, dulunya tidak berwarna merah, tetapi berwarna biru tua. Sebagian besar ricikan  gamelannya dibuat menggunakan bahan besi pelat drum bensin yang relatif agak lebih tebal pelat besinya. Gamelan ini, dulunya dipesan dan dibuat oleh para pembuat ‘gamelan tosan’ (gamelan besi) dari Desa Loceret, yang lokasinya sedikit ke arah selatan dari Kota Nganjuk, Jawa Timur.


Perangkat ricikan kethuk, kempyang, dan kenong; yang merupakan bagian dari gamelan Kyai Sekar Ganesa Lokananta.

Selain menggunakan gamelan merah itu, para anggauta PSTK-ITB juga sering berlatih karawitan menggunakan gamelan perunggu gaya Yogyakarta, milik Bapak Windu almarhum, yang tempat tinggalnya di Jalan Sumur Bandung (lokasinya di belakang Kampus ITB). Saat itu, bisa dikatakan Bapak Windu berperan sebagai ‘orang yang dituakan’ di antara para anggauta muda PSTK-ITB. Sebagian besar anggauta PSTK-ITB saat itu, senang berlatih menggunakan gamelan perunggu milik Bapak Windu almarhum, karena suara dan laras-nya bagus. Dalam ingatan saya, ‘gegedhug’anggauta PSTK-ITB yang seringkali mengajak para anggauta lain untuk berlatih menggunakan gamelan perunggu milik Bapak Windu, adalah Mas Ariyatno (Jurusan Mesin ITB, angkatan 1970-an), yang lebih terkenal dengan sebutan ‘Simbah Ariyatno’.[1] Jadi, ringkasnya pada masa itu, para anggauta PSTK-ITB bolehlah dikatakan berlatih karawitan memakai dua gamelan, yakni gamelan merah milik PSTK-ITB dan gamelan milik Bapak Windu almarhum.

Bilah-bilah gambang 'gamelan merah' ini selamat dari pencuri, karena seluruh bilah-bilahnya dibuat dari kayu......

Kembali kepada ‘gamelan merah’ yang legendaris. Gamelan itu, seperti telah disinggung di atas, dulunya berwarna biru tua. Sebagai informasi, warna resmi ITB yang disepakati saat itu untuk berbagai keperluan resmi (seragam, jaket, tas, logo, dan sebagainya) adalah warna biru tua. Pada suatu hari Minggu, saya berkunjung ke tempat latihan PSTK-ITB di depan ruang Aula Barat, dan memandangi gamelan milik PSTK-ITB yang berwarna biru tua itu. Dalam pandangan saya, gamelan itu terlihat kusam, tak bercahaya, dan terlihat suram. Saat itu, saya nyeletuk: “Gamelan kok berwarna biru tua, seperti gamelan milik penjara saja.”  Lalu saya saat itu tiba-tiba saja mengusulkan untuk mengubah warna gamelan itu. Saya mengusulkan untuk mengubahnya menjadi berwarna merah dengan ragam hiasnya berwarna emas (bronze). “Supaya terlihat lebih cemerlang….,” begitu argumentasi saya saat itu.  Ternyata usulan saya disetujui pengurusPSTK-ITB, dan beberapa hari kemudian beberapa kaleng cat Duco berwarna merah darah (berwarna standar ‘red signal’), minyak Thinner, beserta sejumlah kuas sudah tersedia di ruang latihan itu.Lalu, selama tidak lebih dari dua hari, beramai-ramai para anggauta PSTK-ITB mengecat seluruh rancak gamelan itu dan mengubahnya menjadi berwarna merah. Sedangkan ragam hiasnya dicat warna emas. Sejak itulah, gamelan yang legendaris itu lalu disebut sebagai ‘gamelan merah’.

Gender barung laras Slendro, yang merupakan ricikan yang paling saya sukai, sebagai pengiring saat melakukan latihan tembang suluk Pesisir. Suaranya yang merdu, bagaikan bisa mempengaruhi seluruh emosi dan perasaan....

Seperti sudah disinggung diatas, gamelan merah yang legendaris itu, sebagian besar menggunakan bahan lempengan besi pelat bekas drum bensin untuk sejumlah kempul, gong suwukan, dan gong ageng-nya. Sedangkan bilah-bilah balungan dan gender-nya memakai lempengan logam pelat kuningan(brass). Seingat saya, Simbah Ariyatno-lah yang punya gagasan untuk lebih melengkapi dan menggantikan sebagian ricikannya yang dibuat dari pelat besi dengan kuningan atau perunggu. Tetapi, dana PSTK-ITB saat itu, ternyata tidak mencukupi. Meskipun demikian, dengan usaha keras, akhirnya dana yang diperlukan didapatkan juga. Dan, hasilnya, sebagian ricikan gamelan merah itu, termasuk sejumlah kempul dan gong suwukan, lalu diganti menggunakan kuningan cor dan tempa buatan Desa Mbarat, yang lokasinya sedikit di sebelah tenggara Kota Ngawi, Jawa Timur. Saya sendiri sudah lupa, apakah bahan gamelan pengganti itu berbahan dasar kuningan atau perunggu. Tetapi yang saya ingat, adalah gagasan mengganti bahan besi dengan bahan kuningan itu dilakukan dengan harapan supaya gamelannya agak terlihat seperti perunggu.

Pada deretan foto di sebelah kiri teks di bawah ini, diperlihatkan foto-foto gamelan Kyai Mangungun dan Nyai Gudho-Sih (Sumber: Foto koleksi Mas Asep Nata).


Pada masa itu, Pakdhe Dwi Hardjito juga sedang giat-giatnya melakukan penelitian nada gamelan (untuk keperluan studinya di Jurusan Mesin ITB), dan saya ingat benar, pada suatu pagi saat saya pergi ke ruang latihan PSTK-ITB yang di Aula Timur, tiba-tiba saja saya melihat ada potongan besar blok timah putih. Ukurannya besar dan berat sekali. “Kiriman dari Jakarta, sisa bahan penelitian,” begitu kata Pakdhe Dwi Hardjito kepada saya saat itu. Bahan timah putih itulah yang oleh Simbah Ariyatno dibawa be Mbarat, Ngawi untuk membuat ricikan perunggu. Saya juga masih ingat kata-kata Simbah Ariyatno: “Bahan ini nggak cukup Bram. Kurangnya masih banyak,” begitu katanya. Berdasar penjelasan Simbah Ariyatno itulah saya lalu menyakini, bahwa sebagian dari pesanan ricikan gamelan dari Mbarat itu tidak semuanya berbahan perunggu. Lepas dari persoalan mana yang benar (mungkin hanya Simbah Ariyatno yang bisa menjelaskan secara rinci tentang hal ini), tetapi nyatanya sejak itu gamelan merah menjadi semakin semarak warnanya, karena hampir semuanya lalu berwarna kuning berkilau. Saya tetap meyakini, dengan segala kecanggihan dan upayanya, Simbah Ariyatno berusaha melengkapi ricikan gamelan PSTK-ITB sehingga secara keseluruhan menjadi terlihat lebih anggun, karena berwarna ‘seperti perunggu’. Mungkin saja, karena bahan timah putihnya memang sangat kurang jumlahnya, maka ricikan gamelan yang berasal dari Mbarat itu berbahan dasar ‘perunggu anom’ (perunggu muda), yang mungkin juga dicampur bahan kuningan, untuk mencukupi seluruh pesanan PSTK-ITB. Seingat saya, bahan timah putih itu hanya cukup untuk membuat ricikan peking, saron racik, gong suwukan, dan kempul. Sampai sekarang, untuk bonang barung dan bonang penerus,masih tetap menggunakan bahan besi pelat dengan pencu yang dibuat dari lempeng kuningan. Antara badannya yang memakai bahan lempengan besi bekas drum bensin dan pencunya yang berbahan lempeng kuningan, digabungkan dengan cara dikeling. Hal ini pula yang berakibat jika bonang itu ditabuh agak keras, seringkali kelingnya yang menjadi longgar dan lalu terjadi suara bergetar (berbunyi‘theeer’). Untuk ‘mengelabui’ mata orang yang melihat, bagian dari ricikan gamelan yang dibuat dari lempeng besi ini dicat menggunakan cat bronze warna emas (kuning tua).

Selama bertahun-tahun kemudian, PSTK-ITB berkiprah dalam berbagai pagelaran memakai gamelan merah yang seluruh wilahdan pencon-nya berwarna kuning emas bagaikan perunggu. Di antara semuanya itu, sebuah kempul laras slendro nada barang (nada 1) tetap dipertahankan sebagai ‘perunggu wulung’. Kempulini, mempunyai nada yang sangat bagus dan terbukti sangat stabil nadanya. Dari sejak awal, gamelan merah itu memang dirancang untuk pengiring wayangan.  Gamelan ini juga terkenal sebagai gamelan yang menggunakan wilayah nada yang relatif tinggi, yang menerapkan ‘embat mucuk bung’Embat ini, merupakanembat khas wayangan. Gamelan merah yang ber-laras Slendro, sangat bagus dan sesuai untuk memainkan gendhing-gendhing Pathet Manyura. Sedangkan ricikan-nya yang ber-laras Pelog, sangat bagus dan sesuai untuk memainkan gendhing-gendhing Pathet Lima. Ini merupakan komposisi kompromis yang sangat khas wayangan.

Kembali kepada gamelan PSTK-ITB yang berwarna hitam. Setelah bertahun-tahun menggunakan ‘gamelan merah’, akhirnya PSTK-ITB mulai memikirkan perlunya sebuah gamelan yang lebih baik mutunya. Dan, seperti sudah saya singgung di atas, akhirnya tulisan yang berisi konsep 'gamelan baru' itu saya selesaikan dalam waktu seminggu. Pada minggu berikutnya Mbak Tya dan sejumlah anggauta pengurus PSTK-ITB berkunjung kembali ke tempat kerja saya. Sore itu, saya jelaskan seluruh konsepsi tentang gamelan baru itu, termasuk berbagai argumentasinya. Di antaranya sebagai berikut.

1) Gagasan membuat ‘gamelan perunggu wulung’ (juga dikenal dengan sebutan ‘gamelan cemengan), didasarkan atas hasil diskusi saya dengan Pak Samodra almarhum (pembina PSTK-ITB saat itu)[2]yang menyatakan bahwa gamelan perunggu yang tidak ‘digilap’ (tidak dikerok atau dikikir permukaan logamnya, sehingga tidak terlihat berkilau), akan mempunyai kestabilan nada yang jauh lebih baik. Hal ini disebabkan ketegangan permukaan logam (metal surface stress) yang dihasilkan, akan jauh lebih rendah (lebih kecil), jika dibandingkan dengan gamelan perunggu yang digilap.

2) Jumlah ricikan balungan diperbanyak, baik jumlah maupun jumlahnya. Dalam konsep yang saya susun, ricikan saron panembung (demung) dibuat empat pasang (slendro dan pelog), ricikan saron barung dibuat tujuh pasang (slendro dan pelog), ricikan saron penerus dibuat tujuh pasang (slendro dan pelog), dan ricikan saron racik (saron kembangan) dibuat empat pasang (slendro dan pelog). Selain itu, saya minta untuk dibuatkan ricikan ‘saron gender’(seperti pada gamelan Bali) sebanyak dibuat empat pasang (slendro dan pelog).[3]

3) Semua bilah ricikan balungan yang bertangga-nada slendro, dimulai dari nada 5 (nada bawah/rendah) dan diakhiri dengan nada 2 (nadatinggi/atas). Jadi, susunan bilah nadanya yang bertangga-nada slendro, terdiri dari nada-nada 5, 6, 1, 2, 3, 5, 6, 1, 2 (sembilan nada). Sedangkan bilah ricikan balungan yang bertangga-nada pelog, selain dimulai dari nada 5 (nada bawah/rendah) dan diakhiri dengan nada 2 (nada tinggi/atas); juga menerapkan bilah ganda nada 1 (bem) dan 7 (barang). Sehingga susunan bilah-bilah nadanya menjadi 5, 6, 7, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 1, 2 (duabelas nada) atau sekurang-kurangnya 5, 6, 7, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 1 (sebelas nada).  Susunan bilah nada seperti ini, pada masa itu sangat tidak lazim, karena susunan bilah nada yang lazim pada ricikan balungan bertangga-nada slendro adalah 1, 2, 3, 5, 6, 1, 2 (tujuh nada). Sedangkan susunan bilah nada pada ricikanbalungan bertangga-nada Pelog adalah  1, 2, 3, 4,5, 6, 7 (tujuh nada). Penjelasan mengapa susunan bilah nada yang agak aneh itu yang dipilih, dulunya dipicu oleh sebuah tulisan artikel pendek yang ditulis oleh Mas Panggah, yang menjelaskan bahwa jumlah bilah nada pada ricikan gamelan yang standar (baku, tujuh nada) dan sangat terbatas, sebenarnya tidak bisa mewakili seluruh nada yang diperlukan untuk memainkan ‘balungan gendhing’.[4]Sedangkan argumentasi yang saya ajukan pada saat itu adalah sebagai berikut.

  • Gendhing-gendhing yang menggunakan Laras Slendro Pathet Nem dan Pathet Sanga, sering diakhiri dengan gong bernada 5 (rendah/bawah). Sedangkan gendhing-gendhing Laras Slendro Pathet Manyura, sering diakhiri dengan gong bernada 6 (bawah/rendah). Karena itu, nada terrendah pada ricikanbalungan berlaras Slendro, sebaiknya juga disesuaikan untuk keperluan tersebut, yaitu disediakan nada 5 dan 6 (rendah/bawah).
  • Gendhing-gendhing yang menggunakan laras Pelog Pathet Lima, sering diakhiri dengan gong bernada 5 (rendah/bawah). Gendhing-gendhing yang menggunakan laras Pelog Pathet Nem dan Pathet Barang, sering diakhiri dengan gong bernada 6 (bawah/rendah). Karena itu, nada terrendah pada ricikan balungan  berlaras Pelog, sebaiknya juga disesuaikan untuk keperluan tersebut, yaitu disediakan nada 5 dan 6 (rendah/bawah).
  • Khusus untuk ricikan balungan  bertangga-nada Pelog, disediakan nada 1 (bem) dan 7 (barang) pada dua oktaf yang berbeda, sesuai dengan permainan gendhing. Dengan demikian, jika misalnya hendak memainkan suatu susunan nada (mengarah ke gong) yang notasinya 2327 3276, maka nada 7 yang dibunyikan bukan merupakan nada 7 tinggi (atas) melainkan nada 7 bawah (rendah). Dengan demikian susunan nada yang dihasilkan, akan lebih mewakili susunan nada balungan gendhing. Demikian juga jika misalnya hendak memainkan suatu susunan nada tinggi 3561 6516, maka nada 1 (bem) yang dimainkan pada susunan nada ini tidak menggunakan nada 1 rendah atau bawah.
4) ‘Gamelan wulung’ atau ‘gamelan cemengan’, pada masa itu tidak pernah ditemukan keberadaannya di luar keraton (Yogyakarta dan Surakarta).

5) Kelengkapan gamelan seperti yang dikonsepkan itu, pada masa itu belum pernah ada yang merealisasikannya. Dengan demikian, diharapkan ITB akan merupakan lembaga pertama (mungkin juga pertama di dunia) yang memiliki gamelan ageng yang lengkap seperti itu.

6) Konsep utama yang diterapkan, yakni memperbanyak jumlah ricikan balungan, adalah dengan tujuan supaya bisa mengakomodasi sebanyak mungkin peserta pelatihan karawitan dasar secara bersama-sama, dengan seorang instruktur/pelatih. Harap dicatat, pada masa itu persoalan pelatih karawitan yang mumpuni dan menguasai banyak bidang, merupakan salah satu persoalan serius yang sukar diatasi oleh PSTK-ITB, disebabkan oleh kelangkaannya.

Konsep gamelan baru PSTK-ITB itu kemudian saya serahkan kepada Mbak Tya dan tim kerjanya. Lalu, tahun berganti tahun, kepengurusan PSTK-ITB pun juga berganti. Beberapa tahun kemudian, gamelan wulung itupun jadi. Menurut Mas Asep Nata, gamelan itu dibuat oleh Pak Tentrem, dari Bekonang. Namun, harap dicatat, bahwa berdasar usulan saya, dulunya gamelan wulung itu saya usulkan untuk dibuat di dua tempat yang berbeda, dengan pertimbangan sebagai berikut.

  • Ricikan yang berbentuk ‘bunderan’ (bonang, kethuk, kenong,kempul, dan gong) seluruhnya diusulkan untuk dibuat di ‘besalen’milik Bapak Wignya Rahardjo di Desa Jatiteken, yang lokasinya di sebelah selatan Bekonang. Argumentasinya, Bapak Wignyo merupakan spesialis pembuat ricikan bunderan yang bagus dan bermutu tinggi.
  • Ricikan yang berbentuk ‘wilahan’ (gender, saron, demung,slenthem, saron gender, peking) seluruhnya diusulkan untuk dibuat di ‘besalen’ milik Bapak Widodo, di Desa Kadhokan, yang lokasinya di sebelah timur Grogol (di sebelah timur Bengawan Solo). Argumentasinya, Bapak Widodo merupakan spesialis pembuat ricikan wilahan yang bagus dan bermutu tinggi.
  • Bapak Wignyo Rahardjo dan Bapak Widodo, merupakan dua orang sahabat dekat, dua-duanya merupakan ‘panji gamelan’ (ahli membuat gamelan) yang sangat berpengalaman, dan dalam setiap kali pembuatan gamelan selalu bekerja-sama, sesuai keahlian masing-masing. Hasil kerja keduanya, terkenal sangat bagus dan bermutu tinggi, meskipun dari segi harga mungkin agak sedikit lebih mahal. Selain itu, kedua orang ini merupakan ‘guru’ saya yang  banyak memberikan pengetahuan tentang pembuatan gamelan dan segala seluk-beluknya.

Di luar ‘hubungan murid dan guru’ (saya dan kedua beliau itu) itu, terus terang saja pilihan atas keduanya juga atas usulan Simbah Ariyatno, yang pertama kali memperkenalkan kedua beliau ini (Bapak Wignyo Rahadjo dan Bapak Widodo) dengan saya. Selain itu, pada masa itu banyak terjadi penipuan pembuatan gamelan. Banyak pesanan gamelan yang seharusnya dibuat dari bahan perunggu, tetapi nyatanya dibuat dari kuningan atau perunggu muda (kebanyakan merupakan campuran pecahan logam perunggu bekas dengan kuningan). Nyatanya, orang yang bukan ahli atau tidak terbiasa dengan karakter khas perunggu, akan sangat mudah tertipu (mengira gamelan-nya memakai bahan perunggu, padahal memakai kuningan). Dan, harus diakui saja, pembuat gamelan di Pulau Jawa (mungkin juga di seluruh Indonesia) yang paling ahli dalam membuat ‘gamelan yang seakan-akan perunggu’ dan dibuat berbasis gabungan atau campuran bahan kuningan dan perunggu ‘ancuran’, sehingga menjadi ‘perunggu muda’ adalah para pembuat gamelan dari Desa Mbarat, Ngawi.[5]Pilihan atas kedua beliau ini, juga didasarkan atas kepeceryaan saya kepada keduanya, setelah saya melihat dan tinggal selama beberapa bulan di sana, menunggui seluruh proses pembuatan gamelan dari sejak awal sampai seluruhnya selesai. Sebagai catatan tambahan, saya sempat berguru cukup lama dan mendalam tentang berbagai hal yang berhubungan dengan proses pembuatan gamelan, filosofi, berbagai ritual, dan tata-caranya, kepada Bapak Prawiro, seorang'panji sepuh' ahli pembuat gamelan, yang merupakan ayahanda Bapak Wignyo Rahardjo.

Entah apa yang terjadi, prosesnya saya tidak mengikuti, beberapa tahun kemudian, gamelan hitam itu pun selesailah dan akhirnya dikirim ke PSTK-ITB. Informasi pertama yang saya dapat, adalah bahwa kelengkapan gamelan itu ternyata meleset jauh dan sangat berkurang dari jumlah yang semula direncanakan. Pada saat pertama kali saya melihat gamelan baru itu, kesimpulan saya adalah sebagai berikut.

1) Pengurus PSTK-ITB berikutnya (bukan pengurus PSTK-ITB yang menyusun konsepnya bersama saya) besar kemungkinan sama sekali tidak memahami konsep gamelan baru yang direncanakan. Juga sama sekali tidak memahami tujuan utama pembuatan gamelan baru itu, yang sebenarnya direncanakan secara khusus untuk mempermudah dan memperlancar proses kaderisasi pengrawit muda.

2) Wilayah nada gamelan baru itu, terlampau rendah; demikian pula penerapan embat-nya. Karenanya, hanya cocok untuk pengiring pagelaran klenengan dan tari; tetapi sangat tidak memadai (tidak cocok) untuk pengiring pagelaran wayang.

3) Jumlah dan kelengkapan ricikan balungan gamelan baru itu, menjadi standar dan sama saja dengan gamelan ageng lainnya. Memang tetap ada kekhususannya, yaitu merupakan ‘gamelan wulung’ atau ‘gamelan cemengan’. Tetapi kekhasannya yang amat sangat luar biasa, yang disebabkan ketidak-lazimannya sama sekali lenyap.

4) Jumlah bilah ricikan balungannya, diubah menjadi sangat baku (standar), sehingga bukan lagi merupakan ‘gamelan masa depan’ yang bersifat‘ luar biasa’ (extra ordinary), tetapi menjadi gamelan biasa (ordinary).[6]

Apa boleh buat, itulah yang terjadi; dan saya bersama sejumlah sahabat hanya bisa ‘menerima apa adanya’ dan tidak bisa berbuat apa-apa. Satu sisi, ada juga kegembiraan karena menerima gamelan baru. Tetapi di sisi yang lain ada juga penyesalan, karena gamelan baru itu sangat berbeda dengan yang dimimpikan. Memang menjadi  runyam urusannya, jika pemesan gamelan ternyata dilakukan oleh orang yang tidak tahu untuk apa gamelan itu direncanakan dan lebih fatal lagi, tidak tahu bagaimana sebenarnya konsep gamelan yang dikehendakinya itu. Tentu saja pembuat gamelan tidak bisa disalahkan, sebab ia hanya bekerja sesuai pesanan. Sejauh ini, memang tidak pernah ada penjelasan resmi, bagaimana duduk masalah yang sebenarnya, dan mengapa sampai terjadi perubahan yang sedemikian drastis dan benar-benar jauh meleset dari konsep awalnya. Tetapi, besar kemungkinan penyebab utamanya adalah ketidak-tahuan dan/atau ketidak-pahaman akan konsep gamelan itulah yang menjadi penyebab utamanya. Sekali lagi, apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur, dan memang tak ada gunanya menyesalinya....

Pada sekitar tahun 2003, sesaat sebelum dilakukan pagelaran wayangan dalam rangka tanggap warsa PSTK-ITB, gamelan wulung milik PSTK-ITB itu di-laras (ditala ulang). Sesuai permintaan saya, penalaan ulang dilakukan dengan cara menyamakan wilayah nada gamelan hitam itu dengan wilayah nada gamelan merah. Dengan demikian, maka seluruh ricikan gamelan merah dan hitam, bisa dimainkan bersama-sama. Selain itu, gamelan wulung itu lalu diubah wilayah nada dan embat-nya sehingga sama dengan gamelan merah. Atas permintaan saya pula, penalaan seluruh nada gamelan itu (gamelan merah dan hitam) dilakukan oleh Bapak Widodo dari Desa Kadhokan, beserta seorang asistennya. Pada pagelaran wayang kulit purwa itu, kedua gamelan itu disusun seluruhnya (merah dan hitam) dan dimainkan bersama-sama.

Mbak Jean Marlon Tahitoe, saat sedang tidak nembang suluk Pesisir, sesekali memainkan gender panembung (slenthem), yang merupakan bagian dari gamelan Kyai Sekar Ganesa Lokananta.

Gamelan wulung milik PSTK-ITB itu, diberi julukan 'Kyai Sekar Ganesa Lokananta'. Gong ageng-nya seluruh permukaannya tidak ada yang di-gilap,[7]melainkan dibiarkan hitam seluruh permukaan logamnya. Menurut penjelasan Mas Asep Nata, di luar keraton, besar kemungkinan juga di seluruh dunia, hanya ada tiga gamelan yang dibuat berwarna hitam (wulung ataucemengan).

1) Gamelan wulung atau gamelan cemengan milik PSTK-ITB, bertangga-nada Slendro dan Pelog, kedua laras gamelan itu diberi julukan ‘Kyai Sekar Ganesa Lokananta’.

2) Gamelan wulung atau gamelan cemengan milik UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), Bandung. Gamelan bertangga-nada Slendro dan Pelog ini, diberi julukan ‘Sekar Ageng Kyai Fatahilah’.

3) Gamelan wulung atau gamelan cemengan milik USU (Universitas Sumatra Utara) di Medan. Gamelan yang bertangga-nada Slendro, diberi julukan ‘Kyai Mangungun’. Sedangkan yang bertangga-nada Pelog diberi julukan ‘Nyai Gudho-Sih’. Sayang sekali, kedua gamelan ini menurut kabar, telah raib (hilang) entah ke mana tak tentu rimbanya.

Pada sisi kiri di bawah ini, tampak beberapa pemakaian ricikan gamelan Kyai Sekar Ganesa Lokananta, saat dipakai latihan tembang suluk Pesisir. Tampak pada foto tersebut, Mas Lukman Samboja, Mas Bambang Sadarta, Mbak Ayu 'Kuke' Wulandari, Mbak Sherika, dan Mbak Vilda Sintadela.

Beberapa ricikan gamelan merah dan hitam milik PSTK-ITB, saat disimpan di salah satu ruang CC (Campus Center) ITB, ternyata juga dicuri orang. Pencurian dilakukan terhadap bilah-bilah ricikan wilahan. Mungkin karena wilahan (bilah) lebih mudah disembunyikan saat dibawa memakai tas atau ransel. Sayang sekali….

Gamelan merah milik PSTK-ITB, meskipun bukan merupakan gamelan yang dapat dikategorikan bagus, tetapi seperti pernah dikatakan oleh Mas Bambang Sadarta: “Gamelan merah itu merupakan sebuah legenda, dan sangat bersejarah bagi PSTK-ITB. Karenanya, perlu dilestarikan. Jika perlu, ya dilengkapi lagi, sehingga cukup memadai untuk diikut-sertakan dalam suatu pagelaran.” Saya setuju 100% dengan pendapat Mas Bambang Sadarta. Ini memang soal bagaimana menghargai sejarah dan tidak meninggalkannya begitu saja, setelah mendapat gamelan yang lebih baru.

Sedangkan gamelan wulung milik PSTK-ITB, saat ini sangat memerlukan perhatian, karena sudah memerlukan pemeliharaan dan penalaan ulang. Beberapa kempul  dan gong suwukan-nya mulai bergeser nadanya. Belum bergeser secara ekstrim, tetapi sudah mulai terasa berbeda. Ombak-ombakan  pada gong suwukan dan gong ageng-nya sudah waktunya dihidupkan kembali, supaya suaranya menjadi lebih mengalun dan kembali menyebarkan aura kebesarannya.

Di luar itu semua, mungkin memang sudah patut dipikirkan kembali, di mana dan bagaimana seharusnya penempatan gamelan merah dan hitam itu. Sebaiknya, memang dalam dua ruang yang saling berdekatan atau disatukan dalam satu ruang besar. Gamelan, layar wayang, kotak wayang, dan tempat latihan tari; meskipun semuanya hanya sekedar pelengkap kegiatan ekstra-kurikuler mahasiswa dan mahasiswi, sudah saatnya dipikirkan secara lebih serius. Menghargai dengan menempatkannya secara apik, ditata, dan diatur rapi dalam suatu ruangan besar yang memadai, mungkin bisa dimimpikan sejak sekarang. Tidak lagi sekedar menumpuk ricikan gamelan legendaris itu di gudang, dan membiarkannya tanpa tanggung-jawab yang jelas, saat mulai hilang satu persatu.

Sama dengan ‘wayang ukur’ generasi pertama, yang hanya ada satu-satunya di dunia dan sekarang tersimpan di PSTK-ITB. Maka, demikian pula gamelan wulung ‘Kyai Sekar Ganesa Lokananta’, yang sekarang sangat mungkin hanya ada tiga perangkat di seluruh dunia. Sudah saatnya benda-benda lama ini mendapat perhatian lebih dari kita semua, dan membuatnya kembali bersinar saat menapak abad 21…. Camkan itu baik-baik….!

Sebagai penutup, saya mengucapkan terima-kasih yang tak berhingga kepada sahabat kinasih saya, Mas Asep Nata, yang telah mengingatkan saya, memicu gagasan untuk menuliskan riwayat gamelan cemengan itu, dan menyumbangkan berbagai bahan tulisan serta penjelasan; termasuk koleksi foto pemakaian gamelan Kyai Mangungun dan Nyai Gudho-Sih, milik Universitas Sumatra Utara, tempat almamaternya dulu. Semoga sumbang-sihnya menjadi berguna untuk seluruh khalayak ramai. Sekali lagi terima-kasih untuk semuanya......



Sesekali menyenangkan juga memainkan gender barung sambil nembang suluk Pesisir bersama-sama, sambil bercengkerama, di ruang terbuka, misalnya di lapangan rumput di depan Aula Timur ITB, saat sore hari....


_____________________________

[1] Mas Ariyatno,  setahu dan seingat saya, sejak lulus ITB sampai sekarang, bekerja di Pabrik Gula Bunga Mayang, Lampung Utara, Sumatra Selatan.

[2] Bapak Samodra almarhum, merupakan salah seorang dosen pada Jurusan Mesin ITB, yang tidak saja ahli dalam bidang logam (metalurgi), tetapi juga sangat ahli dalam memainkan alat musik biola. Meskipun di kalangan para mahasiswa Jurusan Mesin ITB beliau termasuk salah seorang dosen yang terkenal ditakuti, tetapi kenyataannya setiap kali bertemu dengan para mahasiswa-mahasiswi anggauta PSTK-ITB (yang sebagian juga berasal dari Jurusan Mesin ITB), beliau merupakan seorang ‘bapak’ yang selalu bersikap hangat, terbuka, ramah, murah senyum, suka berbagai ilmu pengetahuan dan wawasan, serta jauh dari sikap ‘menakutkan’ seperti yang sering diceritakan oleh para mahasiswanya.

[3] Tentang jumlah ricikan balungan yang harus disediakan pada satu satu gamelan baru yang dikonsepkan, seingat saya seperti yang dijelaskan pada bahasan di atas. Ada kemungkinan riciannya sedikit berbeda, karena dokumentasi asli yang saya miliki tidak dapat ditemukan (tersimpan di hard disk komputer milik perusahaan dan tidak sempat dicopy).

[4] Mas Panggah, bertemu pertama kali dengan saya, saat saya sedang menyusun skripsi tentang pembuatan gamelan. Pertemuan berlangsung di ASKI (sekarang sudah berubah menjadi ISI) Surakarta, sekitar tahun 1980-an. Saat itu, Mas Panggah masih berstatus sebagai mahasiswa. Dalam diskusi pendek itulah tercetus bahwa bilah-bilah nada gamelan, nyatanya memang tidak bisa mewakili ‘balungan gendhing’ secara nyata, disebabkan oleh keterbatasan jumlah nada yang disediakan pada ricikan balungan. Beberapa tahun kemudian, saya membaca artikel tulisan Mas Panggah tentang hal yang sama ini, ditulis dalam Jurnal Masyarakat Musikologi Indonesia, Rahayu Supanggah, Balungan (Yayasan Masyarakat Musikologi Indonesia bekerja-sama dengan Duta Wacana University Press, Yogyakarta, Tahun I, No. 1, tahun 1990), hlm. 115 – 136.

[5] Pada saat proses penyusunan skripsidi antara tahun 1980 - 1983, saya secara khusus menyempatkan diri untuk berkunjung dan melakukan survei secara rinci tentang proses pembuatan gamelan di Desa Mbarat, Ngawi. Para pembuat gamelan di wilayah ini, hampir semuanya menguasai cara pembuatan gamelan kuningan dan perunggu muda, dengan cara dicor dan dicetak. Proses pembentukan rupanya dilakukan dengan hanya sedikit proses tempa. Proses penempaan, dilakukan hanya seperlunya, bukan dalam rangka melakukan proses pemadatan logam dan pembentukan, tetapi lebih tepat jika dikatakan sekedar proses merapikan bentuk semata. Penggunaan bahan remukan perunggu atau bahan perunggu yang sudah hancur (bekas gamelan yang sudah hancur atau bekas benda lain) yang dicampur logam kuningan, juga merupakan hal yang sejak lama lazim dilakukan para pembuat gamelan dari Desa Mbarat ini.

[6] Bandingkan dengan ‘gamelan ageng ’buatan masa kini, yang jumlah ricikan-nya memang cenderung ditambah dan bilah balungan ricikan-nya juga cenderung ditambah, seperti ‘gamelan wulung’  yang semula dikonsepkan.

[7] Bagian pencu gong ageng yang di-gilap (dibuat mengkilat dengan cara dikerok atau dikikir dan kemudian dihaluskan), lazim disebut berpola ‘padhang mbulan’.

MERENUNGKAN GENDHING TALU WAYANGAN...

Saat para pradangga mulai memainkan alunan Gendhing Talu Wayangan dengan penuh perasaan dan emosi, semua bayangan tentang kehidupan kita seperti dikhayalkan kembali, sejak kita masih dalam mimpi-mimpi orang tua kita, sampai kita nanti kembali ke haribaan Sang Penguasa Jagat Raya. Permainan yang dilakukan selama setengah sampai satu jam itu, seperti menceritakan kembali sejuta riwayat kita sebagai manusia. Sedangkan pagelaran yang digelar sang dhalang selama semalam suntuk itu, sebenarnya ibarat hanya seujung hitamnya kuku jari kita, dibandingkan dengan apa yang dikandung dalam syair dan makna alunan Gendhing Talu Wayangan yang memenuhi kenangan kita....
Ini merupakan koleksi sejumlah Gendhing Talu Wayangan dari masa yang lampau. Sangat indah, klasik, menyentuh perasaan, dan enak untuk didengarkan (terutama jika didengarkan di kesunyian malam); serta bisa membuat perasaan kita menjadi tenang.

Sejumlah besar Gendhing Talu Wayangan lengkap ini disunting secara khusus dari berbagai pagelaran wayang kulit purwa yang dibawakan oleh Ki Narto Sabdho almarhum pada sekitar tahun 1970-an. Permainan iramanya sangat terasa khas 'wayangan'. Misalnya dengan permainan 'kendhang kosek wayangan' yang sangat khas dan sama sekali berbeda dengan kendhangan pengiring klenengan biasa. Gendhing Talu Wayangan memang bisa membuat hati pendengarnya bergetar, karena semuanya mengisahkan kehiduapn kita sebagai manusia, sejak belum ada sampai kita kembali tidak ada....

Gendhing Talu, merupakan suatu rangkaian gendhing yang lazimnya dimainkan sesaat sebelum pagelaran wayang kulit purwa dimulai. Lama permainan Gendhing Talu, biasanya berkisar sekitar duapuluh menit sampai sekitar satu jam. Gendhing Talu, pada dasarnya menceritakan tentang kehidupan manusia, sejak ia belum ada, sampai ia tidak ada. Rangkaian permainan Gendhing Talu, melambangkan seluruh kehidupan manusia, sejak manusia masih dalam bentuk impian dan jauh sebelum lahir, sampai manusia kembali ke haribaan Sang Panguasa Jagat Raya. Sedangkan pagelaran wayang yang dimainkan semalam suntuk, sebenarnya hanyalah sepenggal yang amat sangat kecil, dari seluruh kehidupan manusia. Karenanya, memahami dan mendengarkan permainan rangkaian Gendhing Talu, sama dengan mencoba memahami bagaimana kita sebagai manusia hidup sebelum, selama di alam janaloka, dan sesudahnya. Juga berisi pemahaman tentang hubungan kita dengan orang tua kita (ayah dan ibu), serta hubungan kita dengan Sang Penguasa Jagat Raya.

Permainan Gendhing Talu, merupakan cerita tentang ritual kehidupan manusia yang sakral. Karenanya, tidaklah layak memainkan rangkaian Gendhing Talu dengan disisipi permainan nada atau syair yang mengumbar nafsu dan naluri rendah manusia. Sebaliknya, memainkan rangkaian Gendhing Talu, semestinya dilakukan secara hikmat, penuh hormat, penuh perasaan, emosional, dan mungkin saja juga penuh haru.

Gendhing Talu ini, merupakan hasil suntingan dan potongan dari pagelaran wayang kulit purwa yang dimainkan oleh para pradangga grup kesenian Condong Raos (dari Kota Semarang), yang dipimpin oleh Ki Narto Sabdho almarhum. Pagelaran wayangnya, dilaksanakan pada sekitar tahun 1970-an. Gaya permainan dan garap karawitannya yang sangat tradisional, klasik, dan tidak neko-neko; membuat permainan Gendhing Talu ini menjadi sangat indah dan enak dinikmati. Irama kosek wayangannya, yang relatif agak cepat dan sangat khas, sangat terasa dominan pada seluruh permainan Gendhing Talu ini. Semua hal ini, membuat bentuk rupa garap karawitannya sangat khas wayangan.

Pada saat hendak melakukan pagelaran wayang kulit purwa, Ki Narto Sabdho seringkali menyempatkan diri memainkan ricikan kendhang, pada saat diperdengarkan Gendhing Talu, yakni kira-kira sejam sebelum pagelaran wayang kulit purwa semalam suntuk dimulai. Hal ini, disebabkan beliau selama bertahun-tahun sebelumnya adalah seorang panjak kendhang yang sangat terampil, dan sangat bagus permainan kendhang-nya. Dalam berbagai pagelaran wayang kulit purwa, saat memainkan Gendhing Talu, beliau seringkali juga unjuk kebisaan dan kemampuan, memainkan sembilan macam kendhang sekaligus.

Meskipun Ki Narto Sabdho sudah lama meninggal, namun rekaman berbagai pagelaran wayang kulit purwa dan klenengan Jawa-nya sampai sekarang masih diburu orang, untuk dinikmati, didengarkan, dan dikoleksi. Bahkan, sampai sekarang sekali pun, rekaman berbagai pagelaran wayang kulit purwa dan klenengan yang dibawakannya bersama grup kesenian Condong Raos dari Kota Semarang, tetap bisa didengarkan oleh banyak pecintanya, karena sangat sering disiarkan oleh sejumlah besar stasiun pemancar radio brodkas, yang kebanyakan merupakan stasiun pemancar radio brodkas swasta, yang berasal dari berbagai kota di wilayah Pulau Jawa dan sekitarnya. Ini merupakan suatu indikasi bahwa Ki Narto Sabdho tetap dicintai dan tetap hidup dihati para pecinta dan penggemarnya.

Ki Narto Sabdho dikenal kreatif dalam membuat, mengarang, dan menggubah lagu, tembang, atau gendhing Jawa. Hasil karyanya, bahkan tetap banyak dimainkan oleh banyak pradangga dalam berbagai kesempatan pagelaran. Dalam hal pagelaran wayang kulit purwa, Ki Narto Sabdho dikenal sangat pandai mempermainkan emosi dan perasaan penontonnya. Kecanggihan sastra, pengolahan alur cerita, penokohan, menyusun logika, drama dan suasana yang dihasilkan selama pagelaran berlangsung, biasanya bisa membawa dan memperngaruhi perasaan dan emosi penontonnya.

Kemahirannya mendramatisasi cerita, tokoh, dan suasana; selama pagelaran wayang kupit purwa dilangsungkan, rupanya membuat Ki Narto Sabdho selalu dikenang dan berada di dalam hati sanubari setiap penggemar dan pecintanya sepanjang masa. Hal itulah yang membuat nama Ki Narto Sabdho selalu diingat orang. Rekaman berbagai pagelaran yang pernah dilakukannya dan teknologi masa kini, rupanya telah 'menghidupkan kembali' Ki Narto Sabdho di dunia maya dan di alam khayal para penggemar dan pecintanya....

Untuk mendengarkannya, Anda cukup meng-'klik' judul yang berwarna biru di bawah ini, lalu secara otomatis Gendhing Talu Wayangan yang Anda pilih akan dipagelarkan.

________________________________________________________

Renungan.......

Bayangkan, betapa syahdunya saat malam hari di wilayah pedalaman Pulau Jawa, sang bulan sedang purnama, dengan cahaya keemasan terang benderang di angkasa raya; sementara Anda berada di sana duduk termenung, mendengarkan sayup-sayup alunan permainan Gendhing Talu Wayangan, ditingkah malam purnama yang indah dengan jutaan bintang bertaburan di angkasa raya. Pagelaran wayang belum dimulai, tetapi Anda sudah hadir di alam khalayal itu, menunggu sang dhalang menceritakan kembali seluruh perjalanan hidup Anda. Saat Anda bersedih, gembira, berlinang airmata, jatuh cinta, saat ditinggalkan, saat sendirian, saat menghadapi kegagalan, saat meraih mimpi, saat mengalami kemenangan, saat mendapat keberhasilan, saat jatuh cinta, saat menikah, saat menimang putra-putri yang dimimpikan, saat membesarkan mereka, saat mengalami kekonyolan, atau saat tertawa terbahak-bahak; mentertawakan diri dan kelakuan kita.......

Selamat mendengarkan, semoga Gusti Allah Sang Penguasa Jagat Raya berkenan selalu mengkaruniakan bahagia, sejahtera, dan kemampuan untuk bersyukur; atas segala yang telah dilimpahkan kepada kita. Semoga, setiap kali kita mendengarkan permainan Gendhing Talu Wayangan, kita akan selalu diingatkan kepada kebesaran Sang Penguasa Jagat Raya dan suatu ketika nanti kepada-Nya-lah kita akan kembali......

Dimulai dari alunan Gendhing Laler Mengeng dalam Laras Slendro Pathet Sanga yang sendu dan bernada 'barang miring'. Membawa serta mimpi-mimpi tentang segala peristiwa kehidupan kita ke dalam alam khayal kita. Lalu, diakhiri dengan alunan Srepegan Tlutur yang terasa mengoyak perasaan. Lalu tiba-tiba kita seakan diingatkan kepada siapa kita, mengapa kita ada, dari mana kita, apa yang telah kita lakukan, dan ke mana serta kepada siapa kita akan kembali; saat dialunkan Gendhing Talu Wayangan.......





Alunan Gendhing Talu Wayangan seakan menceritakan segala kebaikan dan keburukan yang telah kita alami sepanjang hayat. Bahkan sejak kita masih dalam bentuk mimpi indah orang tua kita, dan belum ada di dunia; sampai saat kita dipanggil kembali ke pangkuan Sang Penguasa Jagat Raya....

Adegan demi adegan dalam pagelaran wayang yang dilaksanakan selama semalam suntuk itu, sebenarnya hanyalah ibarat petikan kecil seujung hitamnya kuku jari kita. Sedangkan pagelaran sejarah kehidupan kita yang sesungguhnya sebagai manusia, digelar dan ditembangkan dalam alunan Gendhing Talu Wayangan yang hanya sejam.....

Baik dan buruk, selalu mewarnai kehidupan kita sebagai manusia. Menghayati pagelaran wayang, sebenarnya sama dengan menghayati seluruh kehidupan kita di dunia ini.

Kegembiraan dan kesedihan, kemenangan dan kekalahan, kebenaran dan kejahatan, kegagalan dan keberhasilan, atau bahkan kehidupan dan akhirnya juga kematian; seluruhnya mewarnai kehidupan manusia di alam jana-loka. Seluruhnya disampaikan dalam bentuk bayangan kehidupan, berupa permainan wayang (permainan bayang-bayang) yang menyentuh seluruh perasaan dan emosi kita sebagai manusia....

Bayang-bayang..... Alangkah tepatnya nenek-moyang kita dulu memberikan penggambaran kepada kita tentang bayangan khayal kehidupan kita. Bahwa seluruh kehidupan kita itu, seakan seperti alunan nada dan syair Gendhing Talu Wayangan yang sendu dan menghentakkan perasaan dan emosi kita. Setiap kali Gendhing Talu Wayangan terdengar, kita seperti diingatkan kembali kepada jati diri kita dan bahwa kita sama sekali tak ada bandingannya dengan kekuasaan Sang Penguasa Jagat Raya.....


PEMBABAKAN PAGELARAN WAYANG

Pagelaran wayang kulit purwa, adalah suatu pagelaran yang mempertunjukkan secuil kehidupan kita di alam janaloka. Melihat pagelaran wayang, seakan melihat perjalanan hidup kita sebagai manusia, lengkap dengan segala karakter dan peri-lakunya. Nayang-bayang wayang, sebenarnya merupakan bayang-bayang cermin kehidupan kita.


Pagelaran wayang (khususnya pagelaran wayang kulit purwa), seperti yang kita kenal pada masa sekarang, seringkali dipahami secara sepotong-sepotong dan tidak lengkap. Bahkan ada yang berpendapat, bahwa pagelaran wayang selalu dilakukan pada malam hari semata. Ini merupakan pemahaman yang lazim di kalangan masyarakat kita. Tetapi, apakah kita pernah memahami bagaimana sebenarnya pelaksanaan pagelaran wayang secara lengkap?
Pembabakan pagelaran, adalah pembagian pagelaran menjadi penggal-penggal waktu tertentu, yang kemudian disebut ‘babak’. Setiap babak dalam suatu pagelaran, masing-masing pada dasarnya mempunyai dukungan sejumlah unsur pembangun babak; misalnya : adegan, peran, fungsi, sifat, atau suasana tertentu; baik dalam bentuk sendiri-sendiri, maupun dalam bentuk gabungan antar sekurang-kurangnya dua unsur atau lebih.
Pada pagelaran wayang kulît pûrwâ, sebenarnya secara garis besar pembabakannya bisa digolongkan menjadi tiga; yaitu :

  • Babak awal (babak pembuka); biasanya merupakan berbagai permainan awal karawitanatau permainan awal ricikan gamelan yang dilakukan di luar pagelaran wayang kulît pûrwâ.

  • Babak pagelaran wayang kulît pûrwâ; merupakan permainan karawitan atau permainanricikan gamelan, yang mendukung secara langsung pagelaran wayang kulît pûrwâ.

  • Babak akhir (babak penutup); biasanya merupakan berbagai permainan akhir karawitanatau permainan akhir ricikan gamelan yang dilakukan di luar pagelaran wayang kulît pûrwâ.
Pada pagelaran wayang kulît pûrwâ; penggal-penggal waktu yang disebut ‘babak’ itu, lebih lazim disebut ‘pathet’. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa suatu pagelaran wayang kulît pûrwâ, penggal-penggal waktu permainannya, dapat disebut ‘pathet’.[1] Kesulitan yang kemudian segera timbul, adalah bahwa penggunaan istilah pathet, sebenarnya hanya berkenaan secara langsung dengan pembabakan waktu yang digunakan pada pagelaran wayang kulît pûrwâsaja; dan tidak ada hubungan sama sekali dengan babak lainnya, yang berada di luar kegiatanpagelaran wayang kulît pûrwâ. Ini misalnya, bisa dilihat dari penggunaan istilah babak pathet nem,babak pathet sângâ, atau babak pathet manyurâ; yang merupakan istilah baku yang sebenarnya hanya digunakan pada pagelaran wayang kulît pûrwâ.

Dengan demikian, sejumlah babak lainnya yang dilakukan di luar pagelaran wayang kulît pûrwâ,sebenarnya tidak bisa menggunakan istilah pathet. Sedangkan kenyataannya, seluruh kegiatan tersebut (dari sejak babak awal, babak pagelaran, sampai dengan babak akhir), biasanya merupakan satu kesatuan pertunjukan; yang secara umum seluruhnya itu disebut ‘pagelaran’.

Jika dikhususkan pada pagelaran wayang kulît pûrwâ, maka pelaksanaan suatu pagelaran,biasanya pembabakannya dibagi menurut pathet, adegan, atau gabungan keduanya. Disebabkan adanya kelaziman sebagai akibat kebiasaan dan tradisi yang sudah berlangsung selama berabad-abad; pembabakan pagelaran lainnya, seringkali juga mengacu (menggunakan patokan atau referensi) berupa pembabakan yang digunakan pada pagelaran wayang kulît pûrwâ. Sedangkan panjang-pendeknya rentang waktu yang digunakan pada setiap pathet atau setiap babak; biasanya lebih ditentukan oleh panjang-pendeknya adegan. Meskipun demikian, ada juga patokan kasar yang bersifat tidak terlalu mutlak harus dipenuhi atau diikuti; yang berkait langsung dengan penetapan panjang-pendek penggal-penggal waktu pada pembabakan pagelaran; khususnya yang digunakan pada pelaksanaan pagelaran wayang kulît pûrwâ.[2]

Patut dipahami pula, bahwa pada masa yang lampau, pagelaran wayang kulît pûrwâ hanya diiring menggunakan ricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) sléndro saja dan tidak menggunakanricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) pélôg. Disebabkan oleh hal ini, maka penyebutan babak-babak dalam pagelaran wayang, umumnya menggunakan istilah-istilah yang hanya dikenal pada laras (tangga-nada) sléndro.[3] Berdasarkan hasil penelitian para pakar sejarah, penggunaanricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) sléndro dan ricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) pélôg, untuk mengiringi pagelaran wayang kulît pûrwâ, sebenarnya baru dikenal sejak sekitar masa kerajaan Mataram dan sesudahnya; yakni setelah terjadi pengembangan sistem pagelaranwayang kulît pûrwâ dan juga perubahan/pengembangan bentuk/rupa wayang kulît pûrwâ.[4]

Pembabakan pagelaran yang didasarkan kepada  pagelaran wayang kulît purwâ, merupakan suatu pembabakan yang dapat dikatakan paling lengkap susunannya. Meskipun permainan gamelanpada masa sekarang tidaklah selalu digunakan untuk mengiring pertunjukan wayang, tetapi kelaziman itu tetaplah digunakan dengan penyesuaian seperlunya. Sehingga dengan demikian, jika lengkap urutan susunan pembabakannya akan dibagi menjadi sebagai berikut:

  • Babak pambukâ pagelaran
  • Babak talu
  • Babak pathet nem
  • Babak pathet lindûr
  • Babak pathet sângâ
  • Babak pathet nyamat
  • Babak pathet manyurâ
  • Babak panutup pagelaran

Jika pembabakannya dilakukan tidak terlalu lengkap; misalnya, jika babak pathet lindûr dihilangkan atau digabungkan dengan babak pathet nem; sedangkan babak pathet nyamat dihilangkan atau digabungkan dengan babak pathet sângâ; maka urutan susunan pembabakannya akan menjadi sebagai berikut :

  • Babak pambukâ pagelaran
  • Babak talu
  • Babak pathet nem
  • Babak pathet sângâ
  • Babak pathet manyurâ
  • Babak panutup pagelaran

Jika pembabakannya lebih dipersingkat lagi, yaitu misalnya babak pambukâ pagelaran dan babakpanutûp pagelaran dihilangkan; maka urutan susunan pembabakannya akan menjadi sebagai berikut :

  • Babak talu
  • Babak pathet nem
  • Babak pathet sângâ
  • Babak pathet manyurâ

Sedangkan jika pembabakannya digunakan untuk keperluan bukan pagelaran wayang, maka babaktalu akan dihilangkan. Ini merupakan susunan pembabakan yang paling singkat, dan biasanya digunakan untuk berbagai jenis pagelaran; yang bukan merupakan pagelaran wayang; misalnya :pagelaran klenèngan, pagelaran uyôn-uyôn, atau sendra-tari. Dengan demikian, urutan susunan pembabakannya akan menjadi sebagai berikut :

  • Babak pathet nem
  • Babak pathet sângâ
  • Babak pathet manyurâ

Untuk keperluan pagelaran lainnya, tidaklah selalu mutlak harus mengikuti pola urutan susunan pembabakan seperti yang telah dijelaskan. Sebagai contoh, untuk iringan beksan (tarian) yang bersifat pethilan (cuplikan, potongan; Inggris : fragment), hanya digunakan sebagian; atau, salah satu babak saja. Demikian pula suatu konser karawitan yang digunakan untuk mengiring suatu adegan drama (drama radio, televisi, sinetron, atau film), menggunakan pembabakan yang disesuaikan dengan kebutuhan.

Dalam pelaksanaan suatu pagelaran, sangat disarankan (sangat dianjurkan) untuk mengurutkan permainan karawitan sesuai dengan pathet-pathet yang telah ditentukan. Penetapan pathet ini, berkait erat dengan suasana dan acuan nada yang tertentu, sesuai dengan pathet yang bersangkutan. Namun kenyataannya, dalam sejumlah pagelaran, kadang-kadang diketahui ada juga penyimpangan dalam hal pelaksanaannya. Misalnya, permainan karawitan sedang pada saatpathet sângâ; tetapi karena sesuatu hal, para panjak diminta untuk memainkan suatu gendhîngyang menggunakan pathet manyurâ. Meskipun kejadian ini tidak terlalu sering dan bukan merupakan kelaziman, namun sesekali terjadi juga. Kondisi ini, umumnya segera berakibat terjadinya beberapa hal, misalnya: terjadinya perubahan suasana atau terjadinya perubahan acuan nada. Selain itu, kondisi ini juga bisa berakibat terjadinya kekeliruan nada awal suara vokal (Inggris :false) yang fatal, sebagai akibat terjadinya perubahan acuan nada pada saat yang tidak tepat. Misalnya, tinggi-rendah suara/nada awal nyanyian yang dilakukan oleh panjak swârâ, bisa tidak tepat (terlalu tinggi atau terlalu rendah) pada nada yang seharusnya.

Babak pambukâ pagelaran

Sebuah pagelaran tradisional Jawa, biasanya diawali dengan permainan sejumlah gendhîng pambukâ pagelaran. Dalam hal ini, gendhîng pambukâ pagelaran adalah sejumlah gendhîng (lagu) yang dimainkan sebelum pagelaran yang sesungguhnya dimulai. Jika mengacu kepada pagelaran wayang kulît purwâ, semalam suntuk atau sehari suntuk, maka permainan sejumlah gendhîng pambukâ pagelaran lazimnya dilakukan sebelum rangkaian gendhîng talu dimainkan. Permainangendhîng pambukâ pagelaran lazim dilakukan pada pagi hari atau pada sore hari. Tujuan utama dimainkannya sejumlah gendhîng pambukâ pagelaran, adalah untuk menyambut kedatangan para tamu, menyemarakkan dan menghangatkan suasana, sebelum pagelaran yang sesungguhnya dimulai. Selain itu, permainan gendhîng pambukâ pagelaran juga berperan memberikan tanda bahwa pagelaran akan dimulai. Di wilayah pedalaman atau pedesaan, permainan gendhîng pambukâ pagelaran seringkali dimaksudkan untuk memberitahu penduduk desa-desa lain, supaya mengetahui bahwa di desa tempat gamelan tersebut dimainkan, akan diadakan suatu pertunjukan atau pagelaran.[5]

Dari segi waktu memainkannya, gendhîng pambukâ pagelaran dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu klenèngan soré yang dimainkan pada sore hari; dan klenèngan ésûk yang dimainkan pada pagi hari.

  • Klenèngan soré; adalah suatu konser karawitan gendhîng pambukâ pagelaran yang dimainkan pada saat sore hari, menjelang malam hari. Karenanya, kemudian sering disebutklenèngan soré, pagelaran gendhîng soré, atau disingkat menjadi gendhîng soré. Penggunaan istilah klenèngan soré, mempunyai makna bahwa gendhîng-gendhîng-nya dimainkan dengan cara garap yang lebih halus. Pada pagelaran wayang kulît purwâsemalam suntuk, permainan gendhîng pambukâ pagelaran lazimnya dilakukan di antara sekitar pukul lima sore, sampai dengan sekitar pukul delapan malam; yaitu sampai saat sebelum rangkaian gendhîng talu dimainkan.

  • Klenèngan ésûk; adalah suatu konser karawitan gendhîng pambukâ pagelaran yang dimainkan pada saat pagi hari, menjelang siang hari. Karenanya, kemudian sering disebut sering disebut pagelaran gendhîng esûk, klenèngan énjîng, klenèngan ésûk, atau disingkat menjadi gendhîng ésûk. Penggunaan istilah klenèngan ésûk, mempunyai makna bahwagendhîng-gendhîng-nya dimainkan dengan cara garap yang lebih halus. Pada pagelaran wayang kulît purwâ yang dilakukan pada siang hari, permainan gendhîng pambukâ pagelarandilaksanakan di antara sekitar pukul lima pagi, sampai dengan sekitar pukul delapan pagi; yaitu sampai saat sebelum rangkaian gendhîng talu dimainkan.

Beberapa kebiasaan dan adat tradisi yang sangat baik dan seringkali diterapkan di daerah-daerah pedalaman atau pedesaan; adalah adanya berbagai kegiatan gebyakan[6] yang dilaksanakan di dalam waktu yang dialokasikan untuk memainkan gendhîng-gendhîng pambukâ pagelaran.   Misalnya :

  • Kegiatan gebyakan karawitan; yaitu suatu pentas konser karawitan Jâwâ. Dalam kegiatan ini, penabûh atau panjak yang memainkan ricikan gamelan, biasanya diperankan oleh sekelompok atau beberapa kelompok anak-anak, pemuda, pemudi, remaja putra/putri, murid-murid sekolah setempat, ibu-ibu, atau bapak-bapak; yang sedang dalam taraf belajarnabûh gamelan (membunyikan atau menabuh ricikan gamelan) atau belajar olah karawitan.[7] Permainannya, seringkali dilakukan secara bergantian di antara mereka.

  • Kegiatan gebyakan beksâ; yaitu suatu pentas tari tradisional Jawa. Dalam kegiatan ini, biasanya penarinya diperankan oleh sekelompok atau beberapa kelompok anak-anak, pemuda, pemudi, remaja putra/putri, murid-murid sekolah setempat, ibu-ibu, atau bapak-bapak; yang sedang dalam taraf belajar olah beksâ[8] (tari tradisional Jawa). Permainannya, seringkali dilakukan secara bergantian di antara mereka. Karena merupakan hasil latihan dasar, maka biasanya pentas tarinya dilaksanakan dalam bentuk yang sederhana.   Misalnya : berbentuk tari pethilan (Inggris : fragment), yaitu tari yang diambil dari potongan suatu cerita tertentu, atau berbentuk tari lepas.

  • Kegiatan gebyakan panembrâmâ;[9] yaitu pentas menyanyikan lagu atau tembangtradisional Jawa, yang dilakukan secara bersama-sama (koor). Biasanya, kegiatan ini diperankan oleh sekelompok atau beberapa kelompok anak-anak, pemuda, pemudi, remaja putra/putri, murid-murid sekolah setempat, ibu-ibu, atau bapak-bapak; yang sedang dalam taraf belajar olah swara.[10] Permainannya, seringkali dilakukan secara bergantian di antara mereka.
Kegiatan gebyakan semacam ini, biasanya dilaksanakan dengan tujuan memberikan kesempatan kepada kelompok anak-anak, pemuda, pemudi, remaja putra/putri, murid-murid sekolah setempat, ibu-ibu, atau bapak-bapak pengikut kegiatan latian (berlatih) kesenian (misalnya : karawitan atau menabuh gamelan, menari, menyanyi, dan sebagainya) di desa tersebut; untuk menunjukkan dan memamerkan hasil latian (hasil berlatih) atau hasil kegiatan berkesenian di desa tersebut, di hadapan khalayak ramai, para tamu, para pemuka desa, para sesepûh atau tetua adat, atau parapamông prâjâ (para pejabat pemerintah) setempat. Permainan gendhîng pambukâ pagelaran,diakhiri sesaat menjelang pagelaran yang sesungguhnya akan dimulai. Pada pagelaran wayang kulît purwâ, permainan gendhîng pambukâ pagelaran dihentikan pada saat rangkaian gendhîng taluhendak dimainkan; yaitu sekitar pukul delapan malam; atau, pukul delapan pagi.

Sesuai dengan tujuannya, yang diharapkan akan menyemarakkan suasana sebelum pagelaranyang sesungguhnya dimulai, serta untuk menyambut para tamu; maka komposisi gendhîng (lagu) yang dimainkan, biasanya juga dipilih yang bersuasana gembira, ramai, dan berpola permainankarawitan sederhana. Permainan gendhîng pambukâ pagelaran, biasanya juga menampilkan permainan jenis gendhîng sorân atau gendhîng bonangan.

  • Gendhîng sorân; atau, sering juga disebut klenèngan sorân; adalah suatu konserkarawitan, yang bunyi ricikan gamelan-nya dihasilkan dengan cara memukul keras-keras; sehingga suara gendhîng (lagu) yang dihasilkan sangat sorâ (keras, kuat; Inggris : loud).Gendhîng sorân,umumnya sangat menonjolkan suara keras dan nyaring sejumlah ricikan balungan tertentu; yaitu : ricikan sarôn panembûng atau ricikan demûng, ricikan sarôn pambarûng, serta ricikan pekîngGendhîng sorân, biasanya mempunyai rangkaian notasigendhîng (lagu) yang cenderung relatif sederhana, dimainkan dengan moda lâyâ tanggûng(sedang), seseg (cepat), atau lâyâ tamban (lambat); serta moda tabûh sorâ (ricikan gamelan dibunyikan dengan cara dipukul keras-keras, sehingga bunyi yang dihasilkan sangat keras/nyaring). 

  • Gendhîng bonangan; adalah sejenis gendhîng sorân, yang permainan karawitan-nya lebih menonjolkan permainan ricikan bonang pambarûng atau ricikan bonang barûng serta ricikan bonang panerûsGendhîng bonangan, biasanya mempunyai rangkaian notasi gendhîng(lagu) yang cenderung relatif sederhana; dimainkan dalam moda lâyâ tanggûng (sedang) atau lâyâ tamban (lambat); serta moda tabûh sorâ (ricikan gamelan dibunyikan dengan cara dipukul keras-keras, sehingga bunyi yang dihasilkan sangat keras/nyaring). 

Kedua jenis gendhîng di atas, biasanya dimainkan secara ‘instrumental’ (tidak dilengkapi vokal).

Meskipun tidak ada aturan yang secara khusus mengatur atau mengharuskan diurutkannya laras(tangga-nada) dan pathet pada permainan gendhîng pambukâ pagelaran, tetapi sangat dianjurkan untuk mengikuti pola urutan laras (tangga-nada) dan pathet yang baku dan lazim. Sehingga pada saat permainan gendhîng pambukâ pagelaran terakhir dimainkan serta kemudian diakhiri; larasdan pathet diharapkan pada kedudukan laras sléndro pathet manyurâ; atau, pada kedudukan laras pélôg pathet barang.

Dalam pemilihan pola gendhîng (lagu) yang dimainkannya, dianjurkan untuk  memulai permainangendhîng pambukâ pagelaran dengan pola gendhîng (lagu) yang sederhana; misalnya : polalancaran; dan diakhiri dengan pola gendhîng (lagu) yang lebih rumit; misalnya : pola ladrang, polaketawang, atau pola gendhîng kethûk loro (2) kerep. Dengan demikian, hirarki serta urutan pola susunan gendhîng, laras, dan pathet, dapat dicapai secara serasi; dimulai dari susunan gendhîngyang paling sederhana, dan diakhiri dengan gendhîng yang relatif lebih sulit susunannya.

Seperti sudah dijelaskan, pola permainan gendhîng pambukâ pagelaran biasanya sederhana, ramai, dan bersuasana gembira. Namun, pola ini lazimnya diatur sedemikian rupa, sehingga semakin mendekati saat selesai dimainkannya gendhîng pambukâ pagelaran (menjelang dimainkannya rangkaian gendhîng talu), permainan karawitan menjadi semakin tenang. Lazimnya, pemilihan gendhîng (lagu) juga diatur sedemikian rupa, sehingga menjelang usai, gendhîng (lagu) yang dimainkan dipilihkan yang dilengkapi dengan vokal (dilengkapi sindhènan dan gerôngan) dan menggunakan moda garap yang lebih halus; sehingga berkesan lebih anggun.

Pathet Nem

Bagian pertama dari pembabakan waktu pagelaran wayang, lazim disebut pathet nem. Pada awalnya pagelaran wayang kulît pûrwâ hanya menggunakan ricikan gamelan yang ber-laras(bertangga-nada) sléndro. Hal itulah yang menyebabkan berbagai istilah yang digunakan, juga berasal dari istilah-istilah yang digunakan pada laras (tangga-nada) sléndro. Meskipun kemudianpagelaran wayang kulît pûrwâ juga menggunakan laras (tangga-nada) pélôg, namun penyebutan yang menggunakan istilah berasal dari laras (tangga-nada) sléndro ini tetap dipakai; bahkan berlangsung sampai saat ini. Gendhîng-gendhîng (lagu) yang dimainkan pada babak pathet nem,khususnya pada pagelaran wayang kulît pûrwâ, umumnya juga meliputi menggunakan laras(tangga-nada) sléndro pathet nem dan laras (tangga-nada) pélôg pathet limâ.

Kadang-kadang, pada babak pathet nem juga dimainkan gendhîng-gendhîng laras (bertangga-nada) sléndro pathet manyurâ, atau bahkan gendhîng-gendhîng laras (bertangga-nada) pathetpélôg nem; yang ‘dipinjam’ untuk digunakan atau dimainkan pada babak pathet nem. Pola ini disebut ‘pathet silihan’ (pathet yang dipinjam).
Adegan-adegan yang digunakan untuk mendukung pagelaran wayang kulît pûrwâ pada pathet nem, jika dilakukan secara lengkap, terdiri atas :

  • Adegan jejer jangkep pathet nem
  • Adegan miji punggâwâ
  • Adegan tamu rawûh
  • Adegan jengkar kedhatôn/bedhôlan
  • Adegan gapuran
  • Adegan jejer kedhatôn
  • Adegan jejer paséban njawi
  • Adegan budhalan
  • Adegan prampôgan
  • Adegan jejer sabrang
  • Adegan budhalan sabrang
  • Adegan perang gagal
  • Adegan pathet lindûr

Adegan-adegan tersebut di atas, belum tentu seluruhnya ada (digunakan) dalam suatu pagelaran wayang; melainkan disesuaikan dengan keperluan. Setiap adegan pada pathet nem, lazimnya diiring gendhîng-gendhîng tertentu yang sesuai karakternya dengan adegan yang dimaksud. Dalam beberapa hal, gendhîng-gendhîng itu bahkan mempunyai sifat dan cara garap yang juga berbeda.

Pathet Lindûr

Babak pathet lindûr, adalah suatu adegan (bisa juga berbentuk suatu jejer) yang dilaksanakan menjelang akhir seluruh permainan babak pathet nem. Adegan pathet lindûr, biasanya merupakan adegan yang relatif pendek. Selain itu, fungsi adegan ini adalah sebagai ‘babak peralihan’ atau ‘babak transisi’; yakni dari babak pathet nem ke babak pathet sângâ. Secara hirarki pembabakan, sebenarnya babak pathet lindûr masih termasuk ke dalam babak pathet nem (masih menjadi bagian yang tak terpisahkan dari babak pathet nem). Namun jika melihat kepada fungsi dan suasana yang dibangkitkannya; maka sebenarnya babak pathet lindûr merupakan suatu babak tersendiri; yang posisinya berada di antara babak pathet nem dan babak pathet sângâ.

Jika pada adegan sebelumnya (terutama pada pertengahan babak pathet nem), pagelaran wayanglazim diiring menggunakan gendhîng-gendhîng yang umumnya sangat dinamis; maka pada adegan ini iringan menjadi sangat berbeda. Umumnya, iringan gendhîng yang digunakan pada babak pathet lindûr, mempunyai moda garap yang lebih lurûh (lebih tenang). Bahkan, sejak tahun 1970-an sampai sekarang, ada upaya untuk mengubah suasana babak pathet lindûr secara lebih extrim.[11] Sebagai contoh, pada pagelaran wayang kulît pûrwâ gagrak (gaya, corak) Surâkartâmasa sekarang, babak pathet lindûr seringkali diiring menggunakan pola permainan karawitangagrak (gaya, corak) Mataram. Pada masa dahulu, hal ini termasuk salah satu yang ditabukan, karena dianggap ‘nerak pakem’ (melanggar aturan baku); yakni mencampur-adukkan gagrak(corak, gaya).

Istilah lindûr, berasal dari kata ‘nglindûr’; yang artinya : orang yang bermimpi, sambil mengucapkan kalimat atau kata-kata yang tidak begitu jelas. Mimpi seperti ini, biasanya berlangsung pada saat hari belum mencapai tengah malam. Memang babak  pathet lindûr biasanya dimainkan pada waktu yang bersamaan dengan saat orang ‘nglindûr’; yakni menjelang tengah malam. Secara filosofis, hal ini juga berkait erat dengan alur cerita dalam pagelaran wayang, yang pada saat sampai pada babak itu, masih penuh dengan ketidak-jelasan.

Penggarapan vokal pada babak pathet lindûr, umumnya juga agak mengacu kepada kondisi orang yang sedang nglindûr. Misalnya, menggunakan lûk céngkôk atau lekuk-liku alunan suara yangirâmâ-nya relatif sangat lambat, pengucapan kalimat atau kata yang relatif panjang, dan kebanyakan juga menggunakan suara yang bernada tinggi. Kesan nglindûr ini, terasa sangat kuat (dominan), pada saat dhalang melagukan sulukan pathet lindûr; yang biasanya di-tembang-kan pada saat-saat akhir (sebagai penutup) seluruh permainan babak pathet nem; menjelang pergantian ke babak pathet sângâ.

Pathet Sângâ

Babak pathet sângâ, pada pagelaran wayang kulît pûrwâ, merupakan suatu istilah yang lazim digunakan untuk menyebut pembabakan waktu tengah pagelaran; yang menggunakan laras(tangga-nada) sléndro pathet sângâ atau laras (tangga-nada) pélôg  pathet nem. Babak ini, umumnya dimainkan pada sekitar tengah malam (jika pagelaran wayang kulît pûrwâ dilaksanakan malam hari); atau pada sekitar tengah hari (jika pagelaran wayang kulît pûrwâ dilaksanakan pada siang hari).

Pada awalnya, pagelaran wayang kulît pûrwâ hanya menggunakan ricikan gamelan yang ber-laras(bertangga-nada) sléndro. Hal itulah yang menyebabkan berbagai istilah yang digunakan, berasal dari istilah-istilah yang digunakan pada laras (tangga-nada) sléndro. Meskipun kemudian pagelaran wayang kulît pûrwâ juga menggunakan laras (tangga-nada) pélôg, namun penyebutan yang menggunakan istilah berasal dari laras (tangga-nada) sléndro ini tetap dipakai.
Gendhîng-gendhîng yang dimainkan pada babak pathet sângâ, secara umum bersuasana lurûh(tenang), bernada dasar lagu rata-rata relatif agak tinggi; dengan pengecualian yang digunakan untuk mengiring beberapa adegan tertentu, yang menghendaki suasana yang lain. Disebabkan faktor sejarah dan kebiasaan, babak pathet sângâ sebagian besar diiring menggunakan gendhîng-gendhîng laras (bertangga-nada) sléndro pathet sângâ. Sementara gendhîng-gendhîng laras(bertangga-nada) pélôg pathet nem, yang secara umum bersuasana agak sereng (kurang tenang), bernada dasar lagu relatif agak tinggi; agak kurang banyak digunakan; kecuali untuk beberapa adegan tertentu yang memerlukannya.

Adegan-adegan yang digunakan untuk mendukung pagelaran wayang kulît pûrwâ pada pathet sângâ, jika lengkap terdiri dari :

  • Adegan jejer jangkep pathet sângâ
  • Adegan banyôlan
  • Adegan satriyâ lumaksânâ
  • Adegan alas-alasan
  • Adegan gârâ-gârâ
  • Adegan miji punggâwâ
  • Adegan perang kembang
  • Adegan jejer pathet nyamat

Adegan-adegan tersebut di atas, belum tentu seluruhnya ada dalam pagelaran wayang, melainkan disesuaikan dengan keperluan. Setiap adegan pada pathet sângâ, lazim diiring gendhîng-gendhîngtertentu, yang masing-masing mempunyai sifat dan cara garap yang berbeda.

Pathet Nyamat

Babak pathet nyamat, secara hirakis pembabakan, sebenarnya masih merupakan bagian yang tak terpisahkan dari babak pathet sângâ. Namun disebabkan perannya yang berfungsi sebagai transisi; babak ini seringkali dianggap berdiri sendiri di antara babak pathet sângâ dan babak pathet manyurâ.

Babak pathet nyamat, adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu adegan jejeryang dilaksanakan setelah selesainya adegan perang kembang. Adegan pada babak pathet nyamat ini, seringkali digunakan sebagai peralihan (transisi) dari babak pathet sângâ ke babakpathet manyurâ. Karena merupakan babak peralihan (babak transisi), maka gendhîng yang digunakan sebagai pengiring umumnya mempunyai rangkaian notasi yang relatif pendek.
Bahkan ada dhalang yang lebih suka melakukannya dengan pendekatan yang sedikit berbeda. Misalnya, adegan jejernya dilakukan menggunakan iringan gendhîng pathet sângâ. Setelah permainan gendhîng dihentikan dan jejer dilaksanakan secukupnya (masih dalam babak pathet sângâ); kemudian di tengah-tengah ântâwacânâ (dialog) antar tokoh wayangdhalang‘memindahkan’ suasana dan babak secara seketika, menjadi babak pathet manyurâmenggunakan sulukan (nyanyian dhalang).

Gendhîng-gendhîng yang secara khusus digunakan untuk mengiring adegan jejer pada babakpathet nyamat, biasanya mempunyai karakter yang juga bersifat transisional. Dalam hal ini, terjadi sejumlah anomali (kelainan atau ketidak-sesuaian) yang berhubungan dengan kesepakatan/pembakuan aturan penggunaan nada-nada tertentu pada suatu pathet tertentu.

  • Pada sejumlah kasus, gendhîng-gendhîng yang dinyatakan sebagai gendhîng laras sléndro pathet nyamat; ada kecenderungan sudah menggunakan gông bernada nem (6); tetapi suasana gendhîng-nya secara umum masih berkesan mempunyai suasana pathet sângâyang terasa masih sangat dominan. Untuk diketahui, penggunaan gông yang bernada nem (6); biasanya digunakan pada gendhîng-gendhîng laras sléndro pathet manyurâ ataugendhîng-gendhîng laras sléndro pathet nem; dan bukannya pada laras sléndro pathet sângâ.

  • Pada sejumlah kasus, gendhîng-gendhîng yang dinyatakan sebagai gendhîng laras pelôg pathet nyamat; ada kecenderungan sudah menggunakan gông bernada dhadha (3) ataubarang (7); tetapi suasana gendhîng-nya secara umum masih berkesan mempunyai suasana pathet sângâ (laras pelôg pathet nem) yang terasa masih sangat dominan. Untuk diketahui, penggunaan gông yang bernada dhadha (3) atau barang (7); biasanya digunakan pada gendhîng-gendhîng laras pelôg pathet barang; dan bukannya pada laras pelôg pathet nem.

Adegan jejer pada babak pathet nyamat, tidak selalu ada pada setiap pagelaran wayang kulît pûrwâ. Penggunaannya, lebih banyak ditentukan oleh kebutuhan pagelaran dan alur cerita. Secara garis besar, babak pathet nyamat merupakan bagian paling akhir dari seluruh bagian dan adegan dari babak pathet sângâ.
Pathet Manyurâ

Pathet Manyura

Babak pathet manyurâ, pada pagelaran wayang kulît pûrwâ, merupakan suatu istilah yang lazim digunakan untuk menyebut pembabakan waktu akhir pagelaran yang menggunakan laras (tangga-nada) sléndro pathet manyurâ dan laras (tangga-nada) pélôg  pathet barang.

Penggunaan istilah pathet manyurâ, sebenarnya kurang tepat, karena nyatanya pada masa penggunaannya dikenal adanya pemakaian laras (tangga-nada) sléndro pathet manyurâ dan jugalaras (tangga-nada) pélôg pathet barang. Namun harus kita ingat, bahwa pada masa dahulupagelaran wayang kulît pûrwâ hanya menggunakan ricikan gamelan laras (tangga-nada) sléndrosaja. Karenanya, kemudian hanya dikenal istilah ‘pathet manyurâ’, yang sebenarnya  merupakan pemendekan atau berasal dari istilah ‘laras sléndro pathet manyurâ’.

Adegan-adegan yang digunakan untuk mendukung pagelaran wayang kulît pûrwâ, pada babakpathet manyurâ, jika lengkap, terdiri dari :

  • Adegan jejer jangkep pathet manyurâ
  • Adegan jejer pathet manyurâ srambahan
  • Adegan perang brubûh
  • Adegan tayungan
  • Adegan tancep kayôn
  • Adegan golèk

Setiap adegan tersebut di atas, belum tentu seluruhnya ada pada setiap pagelaran wayang kulît pûrwâ. Selain itu, setiap adegan tersebut, umumnya mempunyai gendhîng-gendhîng pengiringnya yang bersifat khas.

Panutup pagelaran

Babak panutup pagelaran, merupakan bagian terakhir dari suatu pagelaran. Babak ini, digunakan untuk menutup sebuah pagelaran. Waktu yang digunakan untuk melakukan babak ini, biasanya sangat pendek. Biasanya, dilakukan para panjak dengan cara memainkan satu buah gendhîngpanutup pagelaran yang bersifat khas. Gendhîng semacam ini, biasanya dirancang dan disesuaikan dengan kelompok, grup, lembaga, instansi, dinas, perusahaan, atau organisasi kesenian para panjak. Namun, kadang-kadang bisa juga ditemukan ada sekelompok panjak yang memainkan suatu konser karawitan secara lengkap sebagai penutup suatu pagelaran, sehingga memakan waktu cukup panjang. Pada penutupan pagelaran wayang kulît pûrwâ, memainkangendhîng panutûp pagelaran secara lengkap dan panjang, umumnya bertujuan menghabiskan waktu; atau, untuk menunggu pagi hari (setelah melakukan pagelaran wayang kulît pûrwâ semalam suntuk).

_________________________________________________________

[1]       Istilah pathet, mempunyai beberapa pengertian yang berlainan makna dan artinya. Penjelasan rinci tentang pathet; dibahas pada bagian lain dari buku ini.

[2]       Tentang hal ini, dibahas secara khusus pada bagian lain dari buku ini.

[3]       Adanya sejumlah istilah atau sebutan pada pembabakan pagelaran, misalnya, sebutan untuk pathet; yang pada dasarnya mengacu kepada berbagai istilah yang hanya terdapat padalaras (tangga-nada) sléndro; sedikit-banyak juga membuktikan bahwa laras (tangga-nada) sléndrokemungkinan besar memang sudah ada lebih dahulu.


[4]       Situasi ini terjadi sebagai akibat masuk dan berkembangnya agama Islam di pulau Jawa. Pengembangan dan perubahan bentuk/rupa wayang kulît pûrwâ oleh para wali pada masa itu, disebabkan agama Islam memerlukan media untuk melakukan penyebaran agama; sedangkan agama Islam tidak memperbolehkan penggunaan bentuk yang menyerupai manusia. Salah satu penyebabnya, adalah untuk menghindari terjadinya proses pemujaan terhadap benda-benda yang mirip manusia, sehingga bisa dianggap setara dengan pemujaan berhala. Dengan alasan itu, bentuk/rupa wayang kulît pûrwâ lalu dikembangkan, diubah, dan disederhanakan (distilasi); sehingga seperti yang kita lihat sekarang. Bentuk/rupa wayang kulît pûrwâ pada masa sebelumnya, lebih realistis, lebih mirip dengan gambar bentuk/rupa manusia dilihat dari arah samping depan.

Bentuk/rupa gambar manusia pada lukisan wayang tradisional Bali (yang sampai sekarang masih banyak dibuat orang), yang menggambarkan tokoh-tokoh atau manusia dari arah samping depan; merupakan cara penggambaran yang berasal dari ratusan tahun yang lampau, dan terbukti tidak mengalami perubahan sama sekali (hanya sarana atau alat gambar dan media gambarnya yang berubah)

Bentuk/rupa wayang kulît pûrwâ versi Jawa pada masa lampau, bisa dilihat pada wayang kulît pûrwâ versi Bali (yang masih dimainkan orang sampai saat ini). Demikian pula bentuk pagelaranwayang kulît pûrwâ versi Jawa pada masa lampau; kira-kira sama dengan bentuk pagelaranwayang kulît pûrwâ versi Bali. Seperti diketahui, bentuk/rupa awal wayang kulît pûrwâ versi Bali, pada dasarnya berasal dari pulau Jawa (khususnya Jawa Timur). Bentuk/rupa asli wayang pûrwâversi Jawa atau versi Bali ini (berbentuk gambar orang/manusia dilihat dari samping depan), bisa dilihat pada gambar-gambar timbul (relief) di dinding candi Penataran (di Jawa Timur). Pagelaranwayang kulît pûrwâ versi Bali, hanya menggunakan ricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada)sléndro, dan tidak menggunakan ricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) pélôg.

Sisa-sisa bentuk/rupa asli wayang pûrwâ, masih bisa kita kenali pada sejumlah tokoh wayang kulît pûrwâ gagrak Mataram (Yogyâkartâ). Ciri-cirinya, digambarkan mempunyai dua buah mata; wajahnya dilihat dari arah samping depan; serta mempunyai bentuk tubuhnya lebih pendek, sehingga lebih mewakili bentuk tubuh manusia dengan proporsi yang lebih realistis. Tokoh-tokohwayang kulît pûrwâ yang bisa dianggap mewakili bentuk/rupa asli ini, misalnya : Anôman, atau tokoh-tokoh yaksâ (raksasa).

[5]       Di wilayah pedalaman, suara gamelan bisa mencapai jarak yang relatif jauh (beberapa kilometer), tanpa bantuan perangkat sistem penguat suara.

[6]       Gebyakan, adalah suatu kegiatan pentas, yang dilaksanakan sebagai salah satu cara untuk mempertunjukkan hasil suatu proses belajar atau berlatih, selama beberapa waktu tertentu; misalnya : pentas tari, pentas karawitan, pentas drama, pentas menyanyi, dan sebagainya.

[7]       Olah karawitan, adalah belajar dan berlatih untuk menguasai berbagai segi yang berhubungan dengan karawitan  atau kemampuan memainkan ricikan gamelan.

[8]       Olah beksâ, adalah belajar dan berlatih untuk menguasai berbagai segi yang berhubungan dengan beksa (tari) atau kemampuan menari.

[9]       Panembrâmâ, setara artinya dengan koor (menyanyi secara bersama-sama). Di Jawa Barat, lazim disebut rampak sekar.

[10]     Olah swârâ, adalah belajar dan berlatih untuk menguasai berbagai segi yang berhubungan dengan seni suara atau kemampuan untuk menyanyi dan menghasilkan mutu suara yang baik.

[11]     Pola mengiringi babak pathet lindûr menggunakan  gendhîng dan pola permainan karawitangagrak (gaya, corak) Mataram ini, dimulai oleh Ki Nartô Sabdô almarhum; sejak sekitar tahun 1970-an. Pada masa itu, cukup banyak kalangan pecinta seni karawitan Jawa, yang menentang upaya Ki Nartô Sabdô ini; karena dianggap ‘nerak pakem’ (melanggar aturan baku). Pada masa itu, Ki Nartô Sabdô, menggunakan dan menggabungkan berbagai pola dan gagrak (corak, gaya, mahzab) permainan karawitan secara bebas. Secara umum, sebenarnya beliau mendasarkan pola permainan karawitan-nya pada gagrak (gaya, corak) Surâkartâ. Tetapi, mungkin karena dinamika dan kreatifitasnya yang sangat tinggi, beliau bisa menggabungkan berbagai gagrak (gaya, corak) ke dalam pola permainan karawitan-nya. Misalnya, gagrak  Semarang, gagrak Surâkartâ, gagrak Mataram, gagrak Jâwâ-Timûr, atau gagrak Banyumas.

 Ki Nartô Sabdô almarhum, tinggal di kota Semarang (rumah beliau, di jalan Anggrek, sedikit di sebelah utara lapang Simpang Lima, yang sangat terkenal di kota Semarang). Ini mungkin juga merupakan salah satu faktor penting. Karena dengan tinggal di kota Semarang yang jauh dari pusat-pusat mahzab lainnya (misalnya : Surâkartâ atau Yogyâkartâ), maka beliau dengan mudah bisa menghindarkan diri dari terjadinya berbagai pengaruh kuat dan benturan kepentingan. Selain itu, pada masa itu tidak ada dhalang lain yang bertindak seberani Ki Nartô Sabdô almarhum, dalam hal melakukan berbagai pengubahan, pengembangan, dan pola garap karawitan. Hal ini, dikerjakan secara sangat intensif bersama kelompok (grup) keseniannya, yang bernama ‘Côndông Raôs’. Berbagai gendhîng (lagu) yang sangat khas, telah dibuat oleh Ki Nartô Sabdô. Jumlahnya, mungkin telah mencapai ratusan; dan sampai saat ini  gendhîng-gendhîng hasil karyanya ternyata masih disukai dan masih digunakan orang; termasuk oleh para dhalang lainnya.

Sejak tahun 1970-an itu, karena pengaruhnya yang sangat kuat, dan karena masyarakat pencinta kesenian Jawa ternyata lebih bisa menerima dan bahkan sama sekali tidak mempersoalkannya; maka pola permainan seperti ini akhirnya diterima juga oleh berbagai kalangan lain, yang semula menentangnya. Perlu diketahui juga, bahwa pada masa itu, melalui angket yang dibuat Radio Republik Indonesia (RRI), Ki Nartô Sabdô bahkan pernah menerima ‘gelar’ sebagai dhalang paling populer (paling disukai) oleh masyarakat. Bahkan di antara dhalang-dhalang  lain, lama sesudah beliau meninggal sekalipun, nama Ki Nartô Sabdô rupanya tidak bisa dihilangkan begitu saja. Ini bisa dibuktikan, dengan masih banyaknya stasiun pemancar radio (terutama stasiun pemancar radio swasta niaga) yang dengan setia menyiarkan berbagai hasil rekaman pagelaran wayang kulît pûrwâ yang dimainkan oleh Ki Nartô Sabdô almarhum; atau menyiarkan rekaman permainankarawitan-nya yang sangat khas. Pada masa ini, bahkan dengan mudah orang  masih bisa membeli rekaman pagelaran wayang atau rekaman  gendhîng uyôn-uyôn (dalam bentuk kaset), yang dimainkan oleh Ki Nartô Sabdô almarhum bersama kelompoknya, duapuluh atau tigapuluh tahun yang lampau.