Halaman

Selasa, 30 September 2014

DISELUNDUPKAN DI DALAM ROK....



Ini merupakan 'true story' yang terjadi pada sekitar tahun 1962 - 1963. Saya dan orang-tua saya, dulu tinggal di Kota Jember. Masa itu, terkenal dengan sebutan 'Jaman Trikora'. Yaitu, jaman terjadinya peristiwa perebutan Irian Barat (sekarang disebut Papua), yang pada waktu itu masih diduduki Belanda. Kehidupan masyarakat pada masa itu, penuh dengan dinamika 'perang'. Berita radio isinya ya berita tentang perang. Film juga kebanyakan berupa film perang. Pada masa itu, televisi belum ada. Jadi, hiburan dan penghubung satu-satunya antara kita dengan dunia luar, adalah pesawat penerima radio gelombang pendek (short wave radio receiver). Hampir setiap hari, entah siang atau malam, sesekali terdengar 'sirene bahaya udara' meraung-raung, memberi tanda kepada masyarakat tentang adanya pesawat terbang musuh. Jika sirene bahaya udara berbunyi meraung-raung pada malam hari, maka seluruh anggauta masyarakat harus cepat-cepat menuju 'bunker' perlindungan yang dulu harus selalu disediakan di halaman setiap rumah. Bunker itu berupa lubang sedalam kira-kira satu meter, panjang dan lebarnya sekitar  2 x 0,75 meter. Ukuran segitu itu, diperuntukkan sebagai perlindungan bagi keluarga kecil; ayah, ibu, dan dua anak. Berlindung di dalam lubang bunker kecil itu, dilakukan dengan cara jongkok di dalamnya, sambil harus menutup kedua telinga, tetapi mulut harus tetap terbuka. SOP (standard operating procedure-nya seperti itu). Karena mulut harus tetap terbuka, makanya biasanya kita diminta menggigit sesuatu. Misalnya, batang kayu kecil atau karet penghapus (setip). Tujuannya, supaya jika terjadi ledakan bom atau ledakan keras di dekat lokasi perlindungan itu, gendang telinga kita tidak pecah. Tapi, karena kita semua akhirnya tahu, bahwa yang lewat di atas angkasa Kota Jember itu sebenarnya hanya pesawat mata-mata, dan sama sekali bukan pesawat tempur atau pesawat pembom milik musuh, maka akhirnya setiap kali terdengar raungan sirene bahaya udara, kita jadi tak pernah lagi berlarian cepat-cepat untuk masuk berlindung ke dalam bunker. Itu berlangsung lama, sampai perebutan Irian Barat dinyatakan sukses (selesai), yaitu menjelang pertengahan tahun 1963. Seingat saya, hampir setiap hari wilayah angkasa Indonesia pada masa itu, selalu dimata-matai oleh pesawat mata-mata U2 milik Amerika. Pesawat mata-mata itu terbangnya tinggi sekali, sehingga tidak terjangkau oleh tembakan meriam anti pesawat udara. Selain itu, pesawat mata-mata itu kan tidak bersenjata. Jadi dipandang sama sekali tidak membahayakan keselamatan penduduk. Oleh karena itu, biasanya hanya dibiarkan saja lewat jauh di atas angkasa Indonesia. Mungkin pesawat mata-mata itu memotret situasi dan kondisi di Indonesia. Pada masa itu, sebagian besar anggauta tentara Indonesia dan sukarelawan berangkat sudah berangkat menuju Irian Barat. Hiruk-pikuk peperangan merebut Irian Barat, sudah menjadi acara rutin sehari-hari hampir seluruh anggauta masyarakat Indonesia....

Nah, itulah latar belakang peristiwa yang akan saya ceritakan. Ada sedikit bernuansa perang. Meskipun sebenarnya, bagi masyarakat kebanyakan, hampir tidak terasa sama sekali dampaknya bagi kita yang tinggal di Pulau Jawa. Kecuali bahwa segala kebutuhan sandang dan pangan sehari-hari sukar didapat, dan semuanya hanya bisa didapat dengan cara antri pas ada pembagian dari negara. Di luar berbagai peristiwa itu, inilah kejadian yang akan saya ceritakan....

Saat itu, ada empat mahasiswi dan empat mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB Bogor sedang praktik lapangan. Ayah saya, waktu itu administratur PN Perhutani KPH Jember. Sebenarnya, saya tahu dan masih ingat benar, nama setiap mahasiswi dan mahasiswa itu. Tetapi, untuk kebaikan semua pihak yang 'terlibat', nama-namanya akan saya rahasiakan saja, dan tidak akan saya sebut sama sekali.  Nah, pada suatu sore, para mahasiswa dan mahasiswi itu datang ke rumah dan mengajak ayah saya nonton film Indonesia. Filmnya saya masih ingat benar, judulnya 'Antara Timur dan Barat'. Itu film romans perjuangan, dengan latar belakang masa revolusi. Salah satu bintang filmnya Bambang Irawan. Yang membuat orang kepingin sekali nonton, adalah, itu film Indonesia pertama yang menampilkan adegan ciuman. Waaaa.... [1]

Waktu diajak, ayah saya berhalangan, dan menyatakan tidak bisa ikut nonton, karena harus menyelesaikan pekerjaan kantor (nglembur). Mereka lalu mengajak saya. Padahal, saya waktu itu kan masih kecil. Mungkin baru umur sekitar 9 atau 10 tahun. Padahal, pertunjukan film itu bukan lagi untuk 17 tahun ke atas, tapi untuk 21 tahun ke atas. Tapi mereka bilang: "Nggak apa-apa kok dik...." Maka berangkatlah kita ramai-ramai menuju gedung bioskop. Pas sampai di gedung bioskop, ternyata yang menjaga pintu masuk, adalah seorang anggauta PM (Polisi Militer)....! Anggauta Tentara Angkatan Darat....! Lengkap dengan pistol FN-45 tergantung di pinggangnya. Dan memang, ada tulisan di atas pintunya 'Untuk 21 tahun ke atas'. Tiba-tiba saja, para mahasiswa dan mahasiswi itu saling melihat dan saling berbisik. Saya nggak tahu apa yang diomong mereka waktu itu.

Mbak mahasiswi yang menggandeng saya, waktu itu (namanya saya rahasiakan ya) memakai rok panjang, sampai ke bawah lutut. Model rok seperti itu, waktu itu memang beken sekali sejak sekitar jaman revolusi. [2] Dia mengatakan kepada saya: "Diam saja ya dik. Kalau saya bilang apapun nurut saja ya...." Saya masih terbengong-bengong dan nggak terbayang apa yang mau dilakukannya. Saat karcis sudah dibeli, kita bersembilan berjalan berdesak-desak bersama dengan penonton lainnya. Saat itu, didepan pintu masuk penotonnya benar-benar berjubel. Bayangkan, itu merupakan film yang amat sangat luar biasa (untuk ukuran masa itu). Saat sudah sampai sekitar dua meter dari depan pintu masuk, tiba-tiba saja si Mbak mahasiswi itu mengangkat rok panjangnya, dan seluruh kain roknya tiba-tiba dikerukupkan ke atas kepala dan ke seluruh badan saya, sambil dia bilang: "Diam aja ya.... Ikut jalan aja...." Saya, benar-benar tercengang dan terbungkam saat itu. Kita rame-rame berjalan berdesak-desak, sehingga lolos melewati pintu masuk yang dijaga Pak polisi militer itu....

Sampai di dalam, kan ruangan bioskopnya relatif agak gelap (reman-remang). Karena masih dalam kondisi dikerukubi pakai rok panjang itu, saya kan jalannya jadi susah, karena sama sekali nggak bisa lihat jalan. Pundak saya dipegangi erat-erat oleh Mbak mahasiswi itu, sampai akhirnya tiba di tempat duduk, sesuai nomor karcis. Sampai di situ, barulah 'saya dibebaskan dari kerukuban kain rok panjangnya'. Rasanya waktu itu, lega sekali, karena saya lantas bisa bernafas secara bebas. Sewaktu saya berada di dalam rok si Mbak mahasiswi itu, rasanya benar-benar sumpek, karena saya nggak bisa bernafas secara leluasa. Saat itu, saya benar-benar nggak kepikiran apa-apa. Mungkin, karena kain roknya itu 'dibrekep-kan' ke seluruh kepala dan badan saya.... ha ha ha....

Beberapa puluh tahun kemudian, ayah saya sudah pindah, dan tinggal di Kota Semarang. Si Mbak mahasiswi yang sudah lama lulus itu, suatu ketika berkunjung ke rumah kita. Saya sempat bertemu dia. Setelah bersalaman, dan saling berkangen-kangenan, saya lalu menyapa dengan 'nakal' (saya saat itu sudah agak dewasa dan duduk di kelas 2 SMA kalau nggak salah): "Mbak masih ingat enggak?" "Ingat apa dik...," tanya dia. "Itu lo, saat Mbak menyembunyikan saya di dalam rok panjang Mbak, pas mau nonton film 21 tahun ke atas di Jember dulu....?" Sontak Mbak mantan mahasiswi itu berubah air-mukanya menjadi pias merah padam. Mungkin malu. Tapi, semuanya lalu berubah menjadi tertawa ceria terbahak-bahak, setelah semuanya mendengarkan cerita kita berdua. Saat pertemuan itu, selain si Mbak mantan mahasiswi itu, juga ada saya, Ibunda saya, dan tentu saja Ayahanda saya. Semuanya tertawa terbahak-bahak, sampai keluar air-matanya....


_____________________

[1]  Film 'Antara Timur dan Barat'. Sinopsis Singkat: Pada saat masa pertempuran antara Indonesia dengan Belanda, beberapa tentara Indonesia ditawan oleh pasukan Belanda. Letnan Effendi yang terluka dirawat oleh seorang perawat yang masih berdarah Indonesia, Treesje. Sang perawat berusaha untuk menarik Effendi ke pihak Belanda, namun Treesje yang justru berhasil sadar bahwa ia masih berdarah Indonesia. Sinopsis Lengkap: Dalam suatu pertempuran di masa revolusi fisik (1945-1949) sepasukan pejuang RI dibikin berantakan oleh tentara Belanda. Letnan Effendi, sersan Husni dan Kopral Darmo ditawan. Sementara Darmo berkhianat karena tak tahan siksaan, letnan Effendi (yang luka) dirawat oleh Treesje Smit (Suzanna), anak letnan Smit. Perawat Treesje berusaha menarik Effendi (Pitrajaya Burnama) ke pihak Belanda, tapi justru Effendi yang berhasil menimbulkan kesadaran Treesje, bahwa dia pun berdarah Indonesia (dari ibu). Setelah Indonesia berdaulat penuh (1950), hubungan Effendi dan Treesje tersambung dan kian mesra. Hubungan yang didukung ibu, tapi ditentang oleh Smit. Kiranya usaha dagang Smit cuma kedok, sebab diam-diam menyokong gerakan anti RI pimpinan Darmo. Ketika dana dari Smit berkurang, Darmo menculik dan menyandera Treesje. Demi cinta, Effendi turun tangan. Ketika Darmo hendak menembak Effendi dari belakang, Treesje menembak Darmo, namun peluru Darmo juga bersarang di tubuh Treesje.

[2] Ini adalah model rok panjang yang pada sekitar tahun 1960-an sangat populer.  Gayanya sama dengan model tahun 1950-an, cuma kebanyakan bermotif bunga. Kalau yang tahun 1950-an kebanyakan polos. Mode ini, populer sebelum 'boom'-nya mode rok mini, menjelang tahun 1970-an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar