Artikel tulisan Mas Jrink DeMaio
Ditengah-tengah gempuran budaya-budaya Barat yang berpotensi menggerus warisan budaya dan tradisi bangsa kita, dan budaya-budaya Timur Tengah yang muncul di mimbar-mimbar dakwah, menawarkan slogan-slogan kekerasan yang anti pada perbedaan, anti pada budaya dan tradisi negeri sendiri, dimana tradisi-tradisi budaya warisan nenek moyang dianggap (oleh kalangan tertentu) sebagai bid’ah yang harus dimusnahkan (setiap ada perbedaan maka mereka akan turun kejalan sambil membawa pentungan, dst.) maka tak ada salahnya kita mencoba menggunakan kembali tradisi bangsa sendiri yang menawarkan kearifan yang lebih cocok bagi kepribadian bangsa kita. Salah satu budaya yang masih relevan adalah berupa semacam petunjuk maupun rambu-rambu kehidupan yang tersirat dalam tembang Macapat.Macapat merupakan tembang klasik asli Jawa, dan pertama kali muncul adalah pada awal jaman para Wali Songo, dimana para wali pada saat itu mencoba berdakwah dan mengenalkan Islam melalui budaya dan diantaranya adalah tembang-tembang macapatan ini. Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Derajat serta Sunan Kudus adalah kreator awal munculnya tembang-tembang macapat. Apabila diperhatikan dari asal-usul bahasanya(kerata basa), macapat berarti maca papat-papat(membaca empat-empat). Sejarah tembang berdasarkan tinjauan akademis: http://www.macapat.4t.com/sejarah.htm
Kalo berdasarkan jenis dan urutannya tembang macapat ini sebenarnya menggambarkan perjalanan hidup manusia, tahap-tahap kehidupan dari mulai alam ruh sampai dengan manusia menemu ajal. Sebagaimana dalam Al-Qur’an disebutkan: “Latarkabunna Thobaqon An Thobaq”, (Sungguh kamu akan menjalani fase demi fase kehidupan).
Kita jumpai ada beberapa penjabaran yang diungkap oleh pemerhati budaya (misalnya pada laman berikut: http://sabdalangit.wordpress.com/2009/06/01/makna-tembang-macapat/ ), oleh budayawan maupun kalangan akademisi bahkan para ahli mengenai arti maupun makna pada tiap2 jenis tembang Macapat, tetapi esensi dari deskripsi pada masing2 jenis tembang pada dasarnya adalah sama.
[1] MASKUMAMBANG
Adalah gambaran dimana manusia masih di alam ruh, yang kemudian ditanamkan dalam rahim/gua garba ibu kita dan diketahui laki atau perempuan. Mas, artinya belum diketahui laki atau perempuan, sedangkan Kumambang, menggambarkan hidupnya masih di alam kandungan ibunya. Dimana pada waktu di alam ruh ini Allah SWT telah bertanya pada ruh-ruh kita: “Alastu Bi Robbikum”, “Bukankah AKU ini Tuhanmu”, dan pada waktu itu ruh-ruh kita telah menjawabnya: “Qoolu Balaa Sahidna”, “Benar (Yaa Allah Engkau adalah Tuhan kami) dan kami semua menjadi saksinya”.
[2] M I J I L
Tembang mijil mempunyai sifat asih dan berisi doa atau permohonan (jw: pangajab). Mijil artinya lahir, merupakan ilustrasi dari proses kelahiran manusia, mijil/mbrojol dan keluarlah jabang bayi bernama manusia. Hasil dari olah jiwa dan raga laki-laki dan perempuan menghasilkan si jabang bayi. Setelah 9 bulan lamanya berada di rahim sang ibu, sudah menjadi kehendak Hyang Widhi si jabang bayi lahir ke bumi. Disambut tangisan membahana waktu pertama merasakan betapa tidak nyamannya berada di alam mercapadha. Sang bayi terlanjur enak hidup di zaman dwaparayuga, namun harus netepi titah Gusti untuk lahir ke bumi. Sang bayi mengenal bahasa universal pertama kali dengan tangisan memilukan hati. Tangisan yang polos, tulus, dan alamiah bagaikan kekuatan getaran mantra tanpa tinulis. Kini orang tua bergembira hati, setelah sembilan bulan lamanya menjaga sikap dan laku prihatin agar sang rena (ibu) dan si ponang (bayi) lahir dengan selamat. Puja puji selalu dipanjat agar mendapat rahmat Tuhan Yang Maha Pemberi Rahmat atas lahirnya si jabang bayi idaman hati.
[3] KINANTHI
Kinanthi, berasal dari kata kanthi atau menuntun, yang artinya dituntun supaya dapat berjalan didunia ini. Tembang Kinanthi mempunyai sifat senang dan asih. Masa pembentukan jatidiri dan meniti jalan menuju cita-cita. Kinanti berasal dari kata kanthi atau tuntun yang bermakna bahwa kita membutuhkan tuntunan atau jalan yang benar agar cita-cita kita bisa terwujud. Misalnya belajar dan menuntut ilmu secara sungguh-sungguh. Apa yang akan kita petik esok hari adalah apa yang kita tanam hari ini. “In Ahsantum, Ahsantum ILaikum, Walain Asa’tum Falahaa”, (Jika kamu berbuat kebajikan maka kebajikan itu akan kembali padamu, tapi jika kamu berbuat jahat itu akan kembali padamu juga).
[4] S I N O M
Adalah lukisan dari masa muda, masa yang indah, penuh dengan harapan dan angan-angan. Sinom (jw. isih enom = masih muda). Setelah berkembang remaja menjadi pujaan dan dambaan orang tua serta keluarga. Anak yang masih muda usia menjadikan orang tua biasanya gelisah, siang malam selalu berdoa dan menjaga agar pergaulannya tidak salah arah. Walupun badan sudah besar namun remaja belajar hidup masih susah. Pengalamannya belum banyak, batinnya belum matang, masih sering salah menentukan arah dan langkah. Maka segala tindak tanduk menjadi semacam pertanyaan (bahkan kecurigaan) dan itu menjadikan timbulnya perhatian lebih orang tua dan keluarganya.
[5] ASMARANDANA
Menggambarkan masa-masa dirundung asmara, dimabuk cinta, ditenggelamkan dalam lautan kasih. Disamping menggambarkan masa-masa dirundung asmara, bisa juga menggambarkan cinta kasih yang telah diberikan oleh orang tua semenjak kita kecil dulu. Cinta adalah anugerah terindah dari Gusti Allah dan bagian dari tanda-tanda keAgungan-Nya. “...Waja’alna Bainakum Mawwaddah Wa Rahmah, Inna Fi Dzaalika La’aayatil Liqoumi Yatafakkaruun”. (...dan Kujadikan diantara kalian Cinta dan Kasih Sayang, sesungguhnya didalamnya merupakan tanda-tanda Ke-Agungan-Ku bagi kaum yang berfikir).
[6] GAMBUH
Awal kata gambuh adalah jumbuh/bersatu yang artinya komitmen untuk menyatukan cinta dalam satu biduk rumah tangga. Dan inti dari kehidupan berumah tangga itu yaitu: “ Hunna Li Baasulakum, Wa Antum Libaasu Lahun”, (Istri-istrimu itu merupakan pakaian bagimu, dan kamu adalah merupakan pakaian baginya). Lumrahnya fungsi pakaian adalah untuk menutupi aurat, untuk melindungi dari panas dan dingin. Dalam berumah tangga seharusnya saling menjaga, melindungi dan mengayomi satu sama lain, agar biduk rumah tangga menjadi harmonis dan sakinah dalam naungan Ridlo-Nya.
[7] DHANDHANGGULA
Dhandanggula, menggambarkan seseorang yang berbahagia, apa yang dicita-citakan dapat terlaksana. Terlaksana mempunyai pasangan, mempunyai rumah, kehidupan yang kecukupan untuk keluarganya. Gambaran dari kehidupan yang telah mencapai tahap kemapanan sosial, kesejahteraan telah tercapai, cukup sandang, papan dan pangan. Hidup bahagia itu kuncinya adalah rasa syukur, yakni selalu bersyukur (dan 'narima ing pandum') atas rezeki yang di anugerahkan Allah SWT kepada kita.
[8] D U R M A
Durma, berasal dari kata “darma/weweh” (berdarma/memberikan sumbangan). Seseorang yang merasa kecukupan hidupnya kemudian tergugah rasa kasihan kepada sanak saudara yang sedang menderita, makanya tergugah ingin membantu dan memberi pertolongan kepada siapa saja. Semua itu diberikan pertolongan sesuai ajaran agama dan rasa sosialnya kepada sesama. Sebagai wujud dari rasa syukur kita kepada Allah maka kita harus sering berderma. Dengan berderma kita tingkatkan empati sosial kita kepada saudara-saudara kita yang kekurangan, mengulurkan tangan berbagi kebahagiaan, dan meningkatkan kepekaan jiwa dan kepedulian kita terhadap kondisi-kondisi masyarakat disekitar kita. Barangsiapa mau meringankan beban penderitaan saudaranya sewaktu didunia, maka Allah akan meringankan bebannya sewaktu di Akirat kelak.
[9] PANGKUR
Pangkur, Berasal dari kata “mungkur” (mundur) yang berarti telah meninggalkan dan menghindari hawa nafsu yang angkara murka, semua yang dipikirkan senantiasa berkeinginan 'sepi ing pamrih, rame ing gawe'. Bisa juga bermakna menyingkirkan nafsu negatif yang menggerogoti jiwa kita. Dan itu semua memerlukan niat serta usaha yang sungguh-sungguh (dan secara periodik khususnya ketika saat Ramadhan kita beroleh sarana utk menggembleng hati kita) agar bisa meminimalkan serta mereduksi hawa nafsu yang telah mengotori fitrah kita. Meski sesungguhnya puasa dalam arti yang lebih luas (jw: meper hawa nepsu) wajib dilakukan setiap saat bagi orang2 yang berkeinginan untuk meningkatkan kualitas keilahiannya.
[10] MEGATRUH
Megatruh atau megat roh berarti terpisahnya nyawa dari jasad kita, terlepasnya Ruh/Nyawa menuju keabadian.
“ Kullu Nafsin Dzaaiqotul Maut “, (Setiap Jiwa Pasti Akan Mati). “ Kullu Man Alaiha Faan “, (Setiap Manusia Pasti Binasa). Akankah kita akan menjumpai Kematian Yang Indah (Husnul Qootimah) ataukah sebaliknya?. Seperti yang tersirat dalam syair WS Rendra menjelang kematiannya: Aku ingin kembali pada jalan alam, Aku ingin meningkatkan pengabdian pada Allah, Tuhan aku cinta pada-Mu.
[11] POCUNG
Pocong (jasad yg dibungkus kain mori putih = dipocong); ketika yang tertinggal kemudian hanyalah jasad belaka dengan dibungkus dalam balutan kain kafan, lalu diusung dipanggul laksana raja-raja, itulah prosesi penguburan jasad kita menuju liang lahat: rumah terakhir kita didunia. Segala perolehan materi apapun harus tertinggal tanpa kita berkehendak untuk meninggalkannya, yang tersisa hanyalah semacam 'residu' yg melekat di batin: entah baik, entah tidak baik, faktor itulah yang akan mempengaruhi 'nasib' kita di alam sana.
“ Innaka Mayyitun Wainnahum Mayyituuna “, (Sesungguhnya kamu itu akan mati dan mereka juga akan mati).
> dari berbagai sumber >
Tidak ada komentar:
Posting Komentar