Waktu kejadian ini berlangsung, saya masih kecil. Masih duduk di kelas 4 SR (Sekolah Rakyat); dan tinggal bersama orang-tua saya di Kota Jember. Peristiwanya, terjadi pada suatu pagelaran wayang kulit purwa yang dilaksanakan dalam rangka perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, yang oleh masyarakat, lazim disebut dengan istilah 'perayaan tujuh-belasan'. Masa itu, adalah masa saat pemerintah Indonesia sedang berkonfrontasi melawan pemerintah Belanda, di Irian Barat (sekarang disebut Papua). Pada masa itu, Bung Karno mengeluarkan suatu perintah kepada seluruh rakyat Indonesia, yang disebut 'Trikora' (tri komando rakyat). Itu tiga perintah Bung Karno kepada seluruh rakyat Indonesia itu, dicanangkan untuk merebut Irian Barat dengan cara apapun. [1] Tapi..., saya tak hendak bercerita tentang Trikora, melainkan akan bercerita tentang peristiwa yang terjadi saat berlangsungnya pagelaran wayang kulit purwa, yang dilakukan dalam rangka perayaan tujuh-belasan. Hari dan tanggalnya jelaslah saya sudah lupa, tetapi yang jelas hari Sabtu malam Minggu. Terjadinya, menurut ingatan saya, adalah pada bulan Agustus, tahun 1962. Jadi, sekitar 52 tahun yang lampau.
Pagelarannya, dilakukan di bagian depan halaman Kantor Kawedanan Jember, [2] yang lokasinya di tepi alun-alun Kota Jember. Di sekeliling alun-alun itu, pada setiap sisinya, di masa lalu, masing-masing terdapat Kantor Kawedanan Jember, Kantor Kabupaten Jember, Mesjid Agung, dan Kantor Cabang Bank BNI46. Tepat di depan halaman Kantor Kawedanan Jember, terdapat kolam ikan berukuran besar, yang banyak ikan emasnya. Jika kita melihat pertigaan jalan raya (seperti pada foto di bawah), maka sekolah saya, yaitu Sekolah Rakyat Santa Maria, berlokasi agak jauh ke arah kiri, melewati bangunan Masjid Agung Lama Kota Jember. [3] Itu merupakan gambaran umum situasi dan kondisi jalan raya, serta sekeliling alun-alun Kota Jember di masa lampau. Setiap pergi ke sekolah dan pulang sekolah, saya selalu melewati jalan dan bangunan-bangunan di sekitar alun-alun itu. Salah satu kesukaan saya pada masa-masa itu, adalah saat pulang sekolah, saya tak langsung pulang ke rumah. tetapi, saya akan berjalan menyusuri jalan raya, yang pertigaannya terlihat di foto itu. Entah mengapa, saya paling suka menyusuri sisi kanan jalan raya itu. Sekitar satu kilometer dari alun-alun, di sebelah kanan jalan raya, saya akan berhenti di depan sebuah toko, yang menjual piringan hitam. Di depan toko itu, biasanya dipasang dua buah kotak lodspiker besar, dan selama seharian, diperdengarkan berbagai lagu yang pada masa itu sedang top hit. Lagu-lagu yang pada masa itu sedang top hit dan amat sangat banyak peminatnya, adalah lagu Sapu Tangan Warna Merah Jambu, Sebiduk di Sungai Musi, Semalam di Cianjur, Menanti di Bawah Pohon Kamboja, Berpisah di St. Carolus, lalu ada juga lagu Patah Hati-nya Rahmat Kartolo, dan tentu saja Telaga Sunyi-nya Koes Bersaudara. Nah, di depan toko itu, saya suka berdiri berjam-jam bersama beberapa sahabat kecil saya, mendengarkan lagu-lagu dari piringan hitam, yang diputar secara gratis. Mungkin, maksudnya sekalian sebagai iklan penarik supaya orang membeli piringan hitamnya. Di situ, saya biasanya berdiri menikmati lagu-lagu itu sampai agak sore, baru setelah itu pulang ke rumah, kembali melewati jalan raya yang semula kita lewati dan kemudian membelok ke arah kiri, melewati Kantor Kawedanan. Sesekali, juga melihat ikan-ikan emas yang besar-besar, di kolam yang ada di depan lokasi Kantor Kawedanan. Setelah puas, baru masuk ke gang kecil dan pulang ke rumah. Itu kenangan masa kecil yang menyenangkan....
Wilayah Kabupaten Jember, sejak lama terkenal sebagai wilayah lumbung penghasil beras. Di wilayah itu, juga banyak kebun mangga yang luas. Meskipun demikian, pada masa itu, semua potensi pertanian dan kehutanan, seluruhnya digunakan untuk mendukung perang merebut Irian Barat. Jadi, seluruh masyarakat Kota Jember, pada masa itu mengalami banyak kesulitan. Segala kebutuhan hidup, pada masa itu dicatu secara teratur dan semua harus antri secara tertib, untuk mendapatkan pembagian beras, gula, minyak kelapa, susu, dan minyak tanah. Bahkan, juga kain untuk membuat pakaian. Pada masa itu, hanya ada kain 'dril' warna coklat muda (seperti yang digunakan pegawai negeri sipil pada jaman sekarang) dan kain 'belacu' berwarna putih (seperti yang biasa digunakan untuk mengkafani jenazah). Meskipun demikian, karena semua orang, tidak pandang bulu apakah dia pejabat negara, pegawai, buruh, petani, atau penduduk biasa; semuanya mengalami kesulitan hidup yang sama, maka yang terasa oleh semua kalangan masyarakat adalah kebersamaan yang amat sangat luar biasa. Pada masa itu, tidak terlalu terasa adanya 'gap' strata sosial antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok maysrakat lainnya. Jika sore hari, kita bisa dengan mudah menemui Pak Bupati sedang berjalan-jalan memakai sarung atau duduk di sekitar alun-alun Kota Jember. Pakaian, hampir seluruhnya seragam, yakni celana dril berwarna coklat muda, dengan baju berwarna coklat muda atau putih. Pada masa itu, yang saya ingat, kancing baju sukar sekali mendapatkannya. Tidak semua toko menyediakan kancing baju. Jadi, pada masa itu, saya membuat kancing baju dari potongan bambu, yang diikat memakai benang. Celana dalam pria dan wanita, celana kolor, dan kutang, biasanya dibuat sendiri. Di sekolah rakyat, semua murid diajari caranya memotong dan menjahit celana dalam. Juga membuat celana kolor. [4] Memang agak aneh situasinya. Jelas masa itu merupakan masa yang penuh dengan kesulitan hidup. Tetapi, saya kok sama sekali tidak pernah mendengar ada penduduk yang mengeluh atau memaki-maki pemerintah seperti pada jaman sekarang.
Pada suatu sore, sepulang dari kegiatan rutin selepas sekolah, yaitu mendengar lagu-lagu baru di depan toko penjual piringan hitam, saya dan sejumlah sahabat kecil saya, seperti biasa melewati Kantor Kawedanan Jember. Dan..., mata saya tiba-tiba saja tertuju kepada sebuah bangunan 'tarub' besar yang didirikan tepat di bagian depan halaman Kantor Kawedanan, tepat di sisi trotoar. Saat lewat tempat itu, saya melihat panggung gamelan sudah rapi berdiri, lengkap dengan berbagai hiasan, dan seperangkat gamelan perunggu sudah pula ditata rapi di atas panggung. Lalu, di bagian depannya, saya melihat sudah dipasang pula 'kelir wayang'. Saya melihat dua orang sedang sibuk merapikan simpingan wayang kulit. Hari masih terang. Sekitar pukul tiga sore saat itu. Saya dan beberapa sahabat kecil saya, sibuk melihat-lihat dan berkeliling di sekitar panggung gamelan. Deretan simpingan wayang itu terlihat gagah sekali dan mempesona kami semua. Bagian tengah layar wayang, masih kosong. Gunungan belum ditancapkan di sana. Saya dan sahabat-sahabat kecil saya, lalu berunding, dan membuat suatu 'keputusan penting', yaitu nanti malam akan nonton pagelaran wayang kulit bersama-sama. Belum diputuskan, pukul berapa kami akan berangkat nonton. Beramai-ramai, kami semua duduk berderet, mencangkung di atas permukaan dinding kolam ikan di depan halaman Kantor Kawedanan itu, sambil berunding tentang waktu keberangkatan nanti malam. Karena kami semua masih kecil, ujung kaki kami semuanya tak ada yang mencapai permukaan trotoar. Semua ujung kaki kami, menggantung di atas trotoar. Sambil menggoyang-goyangkan ujung kaki, kami semua sibuk berunding, untuk menetapkan pada pukul berapa nanti malam kami semua mau berangkat dari rumah masing-masing. Kami juga berunding dan bersepakat, untuk bertemu di ujung gang, pas pertigaan pertemuan dengan Jalan Arjuna. Tempat itu, disepakati sebagai tempat pertemuan sebelum bersama-sama berangkat. Setelah berdebat agak lama, kami semua akhirnya bersepakat untuk berangkat selewat sholat isya saja. Kami semua bersepakat untuk berangkat sesudah sholat dan sesudah makan malam di rumah masing-masing. Tujuannya, ya.... supaya nanti malam tidak kelaparan dan tidak perlu jajan, saat nonton pagelaran wayang kulit.....
Malampun tiba. Saya dan sahabat-sahabat kecil saya, sudah berkumpul di ujung gang, pertigaan dengan Jalan Arjuna (letakknya di sebelah rumah dinas, tempat tinggal orang-tua saya). Semuanya berselimut sarung batik. Kota Jember, bukanlah kota yang udaranya dingin. Meskipun demikian, udara malam tetaplah terasa sejuk, meskipun tak sampai sedingin udara malam di kota pegunungan seperti Malang misalnya. Dengan penuh kegembiraan, kami semua berjalan bersama-sama menuju tempat pagelaran wayang kulit di Kantor Kawedangan itu. Sebelumnya, saya tak pernah berjalan malam hari menyusuri gang yang setiap pagi dan sore hari kami lalui. Gang itu, ternyata gelap sekali saat malam hari. Tidak ada lampu penerangan apapun. Kami semuanya berangkat sekitar pukul setengah sembilan malam. Bergelap-gelap menyusuri gang yang sebenarnya tak terlampau sempit. Tapi karena gelap gulita, beberapa kali saya tersandung batu jalanan. Sambil berceloteh riang, kami semua akhirnya sampai di ujung gang yang gelap itu. Suasana agak terang, karena ada cahaya lampu jalan yang temaram. Pada masa itu, lampu jalan memakai lampu pijar (bukan lampu neon) yang dayanya tidak terlampu besar. Mungkin hanya sekitar 40 watt. Jadi, tak terlampau terang. Meskipun demikian, cukuplah untuk menerangi jalan di sekitarnya.
Saat sampai di ujung gang, begitu kami semua menengok ke arah kanan, dari kejauhan kami semua bisa melihat panggung pagelaran wayang kulit itu penuh dengan cahaya lampu listrik. Gamelan terdengar dari kejauhan sudah dibunyikan bertalu-talu. Suaranya benar-benar menarik perhatian kami semua. Di depan panggung gamelan, sudah berkumpul banyak orang. Agak jauh dari panggung pagelaran itu, beberapa penjual makanan kecil sudah pula berjualan. Beberapa orang terlihat 'ngandhok' [5] dan terlihat sangat menikmati makanan kecil dan minuman hangat. Banyak orang datang berselimut sarung. Saya lalu berteriak: "Waaaaaaa..... sudah main...! Sudah main....! Kita ketinggalan...!" Tapi sahabat-sahabat kecil saya berteriak menimpali: "Beluuuum.... Belum main! Itu baru awal saja. Gunungan-nya saja belum dicabut dan masih ada di tengah layar wayang...! Terus... mana dhalang-nya hayo...? Dia belum ada di tempatnya...! Berarti kita ndak terlambat.... Belum terlambat....! Orang-orang yang nonton juga lagi pada sibuk makan-makan gitu lo. Itu berarti wayangnya belum main....." Begitulah celoteh sahabat-sahabat kecil saya beragumentasi dengan gempar, mempersoalkan pagelaran wayang kulit itu sudah mulai atau belum. Menyenangkan sekali suasananya....
Kami, lalu ikut berdesak-desak di antara penonton, berjalan beramai-ramai, merangsek ke arah depan, sambil memegani kain sarung masing-masing. Takut tersangkut sesuatu. Sarung kami, semuanya dikalungkan di leher masing-masing. Sampai di bagian depan, tepat di sisi panggung gamelan, kami semuanya berhenti. Tak ada jalan lagi ke arah depan. Panggung gamelan itu, sebenarnya dibangun di sisi dalam pagar batas halaman. Tinggi pagar batas halaman itu, sebenarnya tak terlampau tinggi. Hanya sekitar 60 cm barangkali. Jika kami semua duduk bersila tepat di depan pagar batas halaman, tentulah kami semua sama sekali tak akan bisa melihat permainan wayang di layar wayang, karena tubuh kami kecil-kecil. Karena penglihatan kami kan terhalang oleh pagar pendek pembatas halaman Kantor Kawedanan itu. Kami semua lalu ramai-ramai duduk bersila saja di atas trotoar, agak jauh dari pagar pendek pembatas halaman kantor itu. Ya.... jaraknya sekitar dua langkah kurang-lebih. Entah trotoar itu cukup bersih atau tidak. Saya dan sahabat-sahabat kecil saya tak begitu memperdulikan. Gamelan masih berbunyi ramai sekali. Saya tak paham, para nayaga itu memainkan gendhing apa. Saya dan sahabat-sahabat kecil saya, duduk bersila berkeliling, melepaskan sandal masing-masing, dan meletakkannya di samping pantat masing-masing. Beberapa sahabat kecil saya, meletakkan kedua sandal kulitnya di bawah pantat dan mendudukinya. [6]
Tak terasa, malampun semakin larut. Pagelaran wayang kulit sudah beberapa saat dimulai. Tadi, kami memasang wajah cemberut, saat beberapa pejabat berlama-lama saat memberikan sambutan. Menurut pendapat saya dan sahabat-sahabat kecil saya yang masih anak-anak, pidato-pidato para pejabat itu terlalu lama dan membosankan. Mungkin para pejabat negara itu pada berlomba memberikan nasehat penuh slogan perjuangan kepada berbagai lapisan masyarakat yang saat itu sedang nonton wayang. Tapi, untuk kami, anak-anak kecil ini, pidato-pidato itu benar-benar membosankan, dan merusak kenikmatan kami yang ke situ untuk nonton wayang, dan bukan mau mendengarkan nasehat dan slogan perjuangan. Namanya juga anak kecil. Masak disuguhi slogan-slogan perjuangan, yang kami sama sekali tak paham.
Adegan demi adegan sudah berlangsung. Udara malam ternyata cukup dingin. Saya dan sahabat-sahabat kecil saya, sibuk mengerudungkan sarung rapat-rapat ke tubuh, supaya udara dingin tak masuk ke dalam baju kain belacu. Kami duduk melipat kaki, sambil menangkupkan betis, menahan dingin, sambil berselimut sarung batik. Adegan perang sedang berlangsung dengan seru. Gamelan terdengar cepat dan keras bertalu-talu ditabuh para nayaga. Pak dhalang menampilkan adegan perang tanding yang luar biasa. Saya suka sekali menonton adegan itu. Keterampilan pak dhalang memang luar biasa. Dalam hati, saya membatin, canggih sekali Pak Dhalang ini. Gerak wayangnya sedemikian hidup, seakan-akan perang tanding itu seperti benar-benar terjadi di dunia nyata saja. Teriakan penonton, diseling dengan suitan nyaring dan tepuk tangan, berulang kali terdengar, setiap kali tokoh utama dalam adegan perang tanding itu berhasil memukul musuhnya. Seluruh penonton kelihatannya sangat menikmati pagelaran wayang kulit purwa malam itu. Saya dan sahabat-sahabat kecil saya sampai terbengong-bengong melihat betapa terampil Pak Dhalang memainkan anak wayang. Sesekali, anak wayang itu dibuatnya salto beberapa kali di udara. Dan, penontonpun bersorak-sorai gegap gempita, saat melihat anak wayang itu terlempar di udara dan berguling-guling salto beberapa kali. Saya tak sedikitpun bisa memicingkan mata, melihat kecanggihan Pak Dhalang. Seluruh perhatian saya tertuju ke permainan anak wayang, yang benar-benar menakjubkan dan menyita seluruh perhatian saya....
Lalu...., tiba-tiba saja entah apa yang terjadi, saya melihat bagian belakang (punggung) baju beskap yang digunakan Pak Dhalang robek melintang, dari ujung pundak kanan, ke bawah kiri. Robekannya terlihat benar-benar lurus, seperti disobek diagonal dan disabet menggunakan silet saja. Mata saya benar-benar terbelalak tak berkedip, saat melihat bagian belakang baju beskap Pak Dhalang yang robek itu. Semua orang tiba-tiba saja berteriak...! Dan, gamelan berhenti seketika. Pak Dhalang tiba-tiba saja berdiri, membalikkan badan, lalu berteriak amat sangat keras: "Ayo.... jangan lari...! Tunggu saya...! Jangan pergi...!" Belum selesai saya terbengong-bengong, Pak Dhalang sudah melompat ke luar dari panggung dan lari ke dalam kegelapan malam. Entah dia lari ke mana. Semua orang terdiam membisu. Lampu-lampu listrik tiba-tiba diterangkan. Seketika terang benderang di ruang dalam tarub besar itu. Para nayaga masih terdiam di tempat duduk masing-masing. Tak ada yang berkata-kata. Semuanya berdiam diri. Suasananya benar-benar mencekam. Saya dan sahabat-sahabat kecil saya, diam membisu, menunggu dengan tegang, apa yang akan terjadi selanjutnya. Menit-menit berlalu dengan menegangkan. Satu-dua orang berbicara dengan berbisik-bisik saja.
Sekitar limabelas menit sudah berlalu, saat seluruh penonton dan nayaga menunggu dengan penuh ketegangan. Tiba-tiba, Pak Dhalang datang. Ia berjalan tergopoh-gopoh, dengan baju beskap yang sudah robek-robek di beberapa tempat. Kelihatan compang-camping. Nafasnya terlihat terengah-engah. Blangkon yang semula dipakainya, sekarang tak nampak lagi di kepalanya. Mungkin terlepas dan terjatuh entah di mana. Rambut Pak Dhalang terlihat awut-awutan tak rapi. Beberapa bagian tubuh Pak Dhalang terlihat penuh goresan luka dan terlihat ada sedikit darah, tampak mengucur dari lengannya. Keringat terlihat menetes dari beberapa bagian tubuh Pak Dhalang. Semua mata tertuju kepada Pak Dhalang. Seorang nayaga, tiba-tiba saja datang mendekati Pak Dhalang dan bertanya: "Pak...., sebenarnya apa yang terjadi...?" Ia bertanya sambil membawakan segelas air minum untuk Pak Dhalang. Beberapa saat, Pak Dhalang menyempatkan diri meminum air dari gelas yang disodorkan kepadanya. Tangannya masih terlihat bergetar, saat memegang gelas berisi air minum itu. Setelah agak tenang, masih sambil berdiri, Pak Dhalang lalu bercerita: "Tadi...., diam-diam ada yang mengirim 'teluh' dan kelihatannya mau mencelakakan diriku. [7] Orang yang mengirim 'teluh' itu, tadi berdiri di samping belakang panggung, di tempat gelap itu," begitu Pak Dhalang bercerita sambil menunjuk ke tempat gelap di sebelah kanan panggung gamelan. Seseorang di antara penonton, tiba-tiba saja menarik tangan Pak Dhalang dan memintanya untuk duduk di tepi panggung gamelan. "Orang yang mengirim 'teluh' itu, sekarang dimana Pak...?" tanya orang itu. "Tadi...., orang itu saya kejar dan kita berkelahi di kegelapan sana. Tapi..., orang itu berhasil lolos dan melarikan diri." Para penonton dan beberapa nayaga, segera berlari menuju tempat gelap yang ditunjuk oleh Pak Dhalang, berusaha mencari orang yang dimaksud. Tapi, beberapa menit kemudian orang-orang itu kembali lagi dan menyatakan, bahwa mereka tak menemukan siapa-siapa. Orang-orang mengelilingi Pak Dhalang, sambil tetap berdiam diri, tak tahu apa yang harus dilakukan. Beberapa orang berteriak: "Wis mlayu yake....!" ("Sudah lari barangkali....!")
Beberapa saat kemudian, setelah suasana agak tenang, Pak Dhalang tiba-tiba saja berdiri. Ia, tiba-tiba memegang pundak salah seorang nayaga, dan meminta sang nayaga melepaskan baju beskapnya. Dengan tergagap-gagap, sang nayaga itu melepaskan baju beskapnya. Pak Dhalang juga melepaskan baju beskapnya yang robek-robek. Beberapa orang berusaha mencari kain atau apa saja yang bisa digunakan untuk membersihkan tubuh Pak Dhalang. Orang-orang rupanya baru sadar, bahwa tubuh Pak Dhalang ternyata kotor sekali. Terlihat beberapa bagian pundak, tangan, dan dada Pak Dhalang terlihat lebam-lebam dan ada goresan luka dengan bercak darah di beberapa bagian tubuhnya. Ibu pesindhen yang sejak tadi berdiam diri saja, tiba-tiba berjalan mendatangi Pak Dhalang. Sesampai di depan Pak Dhalang, Ibu pesindhen lalu melepas selendang lurik yang sejak tadi dipakainya, dan meminta seseorang menyiramkan sedikit air minum dari gelas minum ke atas permukaan lembar selendang luriknya. Setelah itu, menggunakan selendang lurik yang basah, ia dengan hati-hati mulai membersihkan tubuh Pak Dhalang, dimulai dari lengan tangan, lalu pundaknya, dan kemudian dada serta punggung Pak Dhalang.
Beberapa saat kemudian, tubuh Pak Dhalang sudah terlihat bersih kembali. Cuma, masih ada bekas-bekas goresan luka. Lalu, dia sambil memegang pundak nayaga yang baju beskapnya dipinjamnya, Pak Dhalang berkata dengan logat setengah Madura setengah Jawa: "Maaf ya Mas...., baju beskapnya saya pinjam pakai. 'Sampeyan' sementara memakai baju biasa saja nggak apa-apa kok....." Sang nayaga yang baju beskapnya dipinjam Pak Dhalang, hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Setelah merapikan baju beskap pinjamannya, Pak Dhalang lalu melangkah kembali ke panggung gamelan dan duduk di tempat dhalang lagi. Beberapa saat kemudian, Pak Dhalang lalu bersiap memainkan wayang kembali. Sebelumnya, Pak Dhalang menyampaikan maaf kepada seluruh penonton. Kalimatnya diucapkan agak keras di depan mikropon besar yang ditancapkan di batang pisang. [8] Saat selesai mendengar penjelasan Pak Dhalang, seluruh penonton berteriak gembira dan bertepuk tangan riuh sekali. Saya dan sahabat-sahabat kecil saya, otomatis juga ikut bertepuk tangan dengan gembira. Pagelaran wayang kulit yang sekitar satu jam lebih terhenti, beberapa saat kemudian dimulai lagi, meneruskan cerita yang tadi sempat terputus. Semuanya lalu berlangsung kembali, seakan-akan seperti tak pernah ada kejadian apa-apa. Tetap semarak, tetap ramai, tetap gemuruh, dan tetap penuh sorak-sorai sepanjang malam....
Tak terasa, malampun berakhir. Menjelang subuh, pagelaran wayang selesai. Gamelan perlahan-lahan akhirnya berhenti. Lampu-lampu penerangan dinyalakan. Suasana menjadi terang-benderang. Semuanya bergegas bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing. Saya dan sahabat-sahabat kecil saya, juga beranjak pulang melewati gang yang sama. Sepanjang perjalanan pulang itu, pikiran saya masih terpusat kepada pertunjukan wayang tadi malam dan peristiwa yang menimpa Pak Dhalang. Masih jelas terbayang di mata saya, bagaimana bagian belakang baju beskap Pak Dhalang tiba-tiba saja robek panjang sekali, dari pundak kanan atas, melintang ke arah bawah kiri. Sobekannya terlihat jelas sangat lurus. Seperti dirobek memakai silet. Saya juga bisa melihat, kaos dalam yang dipakai Pak Dhalang juga sobek, sama lurusnya, sehingga terlihat kulit punggung Pak Dhalang. Tapi...., ada yang terlihat aneh di mata saya. Pada robekan baju beskap Pak Dhalang itu, saya sama sekali tidak melihat ada bercak darah sedikitpun. Jadi, sobekan yang luar biasa itu, ternyata sama sekali tak melukai tubuh Pak Dhalang. Membayangkan hal itu, saya jadi berpikir: "Sakti sekali Pak Dhalang itu...." Hanya itu yang saya bisa katakan. 'Tan tedhas tapak paluning pandhe, sisaning gurinda.' Seperti kesaktian Sang Gathut-Kaca... 'Tak mempan dan sama sekali tak ada bekas apapun, saat dipukul memakai palu milik pande besi, dan tak bisa dilukai memakai gerinda besi.' Sungguh luar biasa....! Berlama-lama saya tetap memikirkan hal itu. Sakti sekali Pak Dhalang itu. Semakin saya pikirkan, semakin kagum saya kepada Pak Dhalang itu..... Bahkan, sampai sekarangpun, saya tetap tak bisa mengerti sepenuhnya, apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu....
____________________________
[1] Trikora, adalah tiga perintah Bung Karno kepada seluruh rakyat Indonesia. Isi perintahnya 1) Gagalkan pembentukan 'Negara Papua' bikinan Belanda kolonial. 2) Kibarkan sang merah putih di Irian Barat tanah air Indonesia. 3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa. Perintah Bung Karno itu, diikuti dengan dilakukannya mobilisasi angkatan bersenjata Indonesia secara besar-besaran. Juga pengiriman pasukan sukarelawan ke wilayah Irian Barat dalam jumlah besar.
[2] Kawedangan, dulu merupakan suatu tingkat pemerintahan di antara kecamatan dan kabupaten. Pada masa lampau, urutan tingkat pemerintahan, jika diurut dari bawah meliputi 1) Dukuh atau kampung (dipimpin seorang 'kepala dukuh' atau 'kepala kampung'; biasanya membawahi sebuah kampung atau dukuh) 2) Desa (dipimpin oleh seorang 'kepala desa'; membawahi sebuah desa, yang biasanya terdiri dari beberapa kampung atau dukuh) 3) Kademangan (dipimpin oleh seorang 'demang', membawahi beberapa desa), 4) Kelurahan (dipimpin oleh seorang lurah; biasanya membawahi sejumlah kademangan) 5) Kecamatan (dipimpin oleh seorang 'camat'; biasanya membawahi sejumlah kelurahan) 6) Kawedanan (dipimpin oleh seorang 'wedana'; biasanya membawahi sejumlah kecamatan) 7) Kabupaten (dipimpin oleh seorang 'bupati'; biasanya membawahi sejumlah kawedanan) 8) Karesidenan (dipimpin oleh seorang 'residen'; biasanya membawahi sejumlah kabupaten) 9) Provinsi (dipimpin oleh seorang 'gubernur'; biasanya membawahi sejumlah kabupaten). Di luar tingkat-tingkat itu, seorang bupati, di masa lalu selalu didampingi oleh seorang 'patih'. Kantornya, lazim disebut 'kepatihan'. Biasanya, lokasi kantor kepatihan selalu berdekatan dengan kantor kabupaten. Kalau di jaman sekarang, peran ini disebut 'Sekwilda' (Sekretaris Wilayah Daerah). Hal lain, yang juga patut diketahui, adalah penyebutan golongan wilayah otonomi. Untuk tingkat provinsi, lazim disebut dengan istilah 'Daerah Swatantra Tingkat I'. Sedangkan untuk tingkat di bawahnya, lazim disebut 'Daerah Swatantra Tingkat II'. Daerah swatantra, adalah suatu wilayah atau daerah, yang diberi wewenang dan kekuasaan untuk mengatur rumah-tangganya sendiri. Istilah ini, pada masa sekarang sudah diganti menjadi 'Daerah Tingkat I' (Dati I) dan 'Daerah Tingkat II' (Dati II). Sedangkan tingkat-tingkat pemerintahan di masa sekarang, juga lebih disederhanakan. Tingkat 'kawedanan', dukuh/kampung, kademangan, kepatihan, dan karesidenan; sekarang sudah dihapus. Jadi, pada masa sekarang, urutannya dari bawah adalah 1) RT (Rukun Tetangga), 2) RW (Rukung Warga) 3) desa atau kelurahan, 4) kecamatan, 5) kabupaten atau kotamadya, 6) provinsi.
[3] Sebelumnya, saya bersekolah di Sekolah Rakyat (SR) Patrang, yang lokasinya di jalan raya, yang menghubungkan Kota Jembar dengan Kota Bondowoso. Tetapi pada saat saya naik kelas empat, saya pindah ke Sekolah Rakyat (SR) Katholik, Santa Maria, yang lokasinya di pusat Kota Jember. Sementara tempat tinggal orang-tua saya, yang semula di Komplex Perumahan Pegawai PN Perhutani KPH Jember, di Jl. Patrang; kemudian pindah ke rumah dinas yang lokasinya di Jl Arjuna, dekat stasiun kereta-api Jember. Rumah dinas ini, jauh lebih dekat dengan lokasi sekolah saya (SR Katholik Santa Maria), dan dengan cara potong kompas, melewati gang di sebelah rumah, bisa langsung menuju ke arah alun-alun Kota Jember. Menyeberang alun-alun itu, dan kemudian menyusuri jalan raya di depan Masjid Agung Lama Kota Jember, menuju ke lokasi SR Katholik Santa Maria.
[4] Soal memotong dan menjahit pakaian, saya masih mengalaminya sampai di SMP, saat orang-tua saya sudah pindah ke Kota Sala-Tiga. Paling sukar (paling tidak menurut saya), adalah membuat dan memasang sambungan bagian bawah celana (panjang atau pendek), serta memasang bagian lengan baju (panjang atau pendek). Selalu saja terjadi kesalahan saat melakukan proses penyambungan. Tidak samalah ukuran kanan dan kiri, kecil sebelahlah, tidak serasi jahitannyalah, miringlah, ukurannya melesetlah, dan sebagainya. Pokoknya, banyak gagalnya. Karena pernah mengalami sendiri, betapa sukarnya proses penyambungan bagian-bagian itu, maka saya sampai sekarang sangat menghormati profesi 'tukang jahit pakaian'.
[5] Istilah 'ngandhok', kalau di masyarakat Jawa Tengah, artinya setara dengan 'jajan' dan makan langsung makanan yang dibelinya, dengan cara duduk di atas tikar di sekeliling penjualnya. Ini merupakan istilah khas masyarakat Jember dan sekitarnya. Istilah 'andhokan' digunakan untuk menyebut fasilitas atau sarana yang digunakan untuk berjualan. Kalau di Jawa Tengah, kira-kira setara dengan istilah 'angkringan'. Penjaja 'andhokan', biasanya menyediakan berbagai jenis makanan kecil. Misalnya, gorengan atau rebusan pisang, ketela, ubi jalar, jagung, gethuk, gethuk lindri, semar mendem, lontong, arem-arem, kadang-kadang juga ketan, tempe, tahu, dan sejumlah makanan kecil tradisional khas setempat. Beberapa 'andhokan' juga menyediakan minuman. Misalnya teh hangat, wedang rondhe, atau kopi. Makanan-makanan ini, umumnya selalu mudah didapatkan saat ada pagelaran wayang kulit semalam suntuk.
[6] Pada masa itu, sandal jepit atau yang lazim disebut 'sandal Jepang' belum banyak dijual di toko-toko. Anak-anak dan orang-tua, biasanya memakai sandal kulit atau sandal yang dibuat dari potongan karet ban mobil. Belakangan, sandal jenis ini, dikenal dengan sebutan 'sandal Vietcong'. Mungkin sebutan ini disebabkan sandal jenis ini banyak digunakan oleh para pejuang Vietcong selama masa Perang Vietnam.
[7] Pada sekitar tahun 1960-an, di wilayah Jember, Bondowoso, Banyu-Wangi, dan sekitarnya, orang mengenal 'teluh' sebagai ilmu hitam yang biasanya digunakan untuk menyerang dan mencelakakan orang lain. Pada masa itu, 'teluh' yang terkenal amat sangat ganas dan mematikan, banyak berasal dari wilayah di sekitar Banyu-Wangi selatan; yakni wilayah Grajagan dan Alas Purwa, yang pada lampau dikenal sebagai wilayah Kadipaten Blambangan. Sedangkan 'santhet', adalah semacam ilmu hitam juga, yang biasanya digunakan untuk menjaga kebun buah-buahan. Kebun yang dipasangi 'santhet', biasanya bertujuan untuk menghindari pencurian. Seseorang yang mencuri buah di kebun yang dipasangi 'santhet', biasanya akan mengalami sakit perut hebat selama beberapa hari. Kalau, orang yang mencuri itu tidak meminta maaf kepada pemilik kebun, biasanya orang tersebut akan mati secara sengsara. Sebaliknya, jika seseorang meminta buah kepada pemilik kebun, maka biasanya pemilik kebun harus mengijinkan permintaan itu. Jika permintaan itu ditolak oleh pemilik kebun, maka 'santhet' itu akan berbalik menyerang pemilik kebun. Orang yang meminta buah kepada pemilik kebun buah-buahan, biasa hanya boleh memakan buah yang dimintanya di tempat itu dan tidak boleh membawa pulang.
[8] Pada masa yang lampau, yang digunakan sebagai 'mikropon' bagi para dhalang, adalah sebuah lodspiker yang berukuran cukup besar, berukuran garis-tengah sekitar 4 - 6 inci. Mikropon lodspiker semacam ini, biasanya dibungkus menggunakan kain atau satu-tangan. Tujuannya, supaya membran lodspikernya yang tipis, tidak tersentuh sesuatu benda keras, yang bisa merobek permukaannya. Kain penutup ini, juga berfungsi mengurangi derau (noise) lingkungan. Mikropon lodspiker itu, biasanya dipasang tepat di depan dhalang, dengan cara diikat dan ditancapkan di batang pisang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar